MULAI 1 Januari 2001, sistem desentralisasi fiskal di Indonesia resmi berjalan. Dalam 2 dekade terakhir ini, tak sedikit capaian positif yang diambil dari pelaksanaan sistem tersebut. Meski begitu, pelaksanaan desentralisasi fiskal ternyata masih dihadapkan dengan berbagai tantangan.
Mulai dari pemanfaatan transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) yang belum optimal, local tax ratio yang masih rendah, struktur belanja daerah yang belum memuaskan, sinergi fiskal pusat dan daerah yang belum optimal, hingga belum meratanya layanan publik antar daerah.
Untuk menjawab berbagai tantangan itu, pemerintah menerbitkan UU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD). Harapannya, desentralisasi fiskal yang adil, akuntabel, dan transparan bisa terwujud.
Guna memperkuat desentralisasi fiskal, terdapat 4 pilar yang disasar dari UU HKPD, yaitu penguatan local taxing power, peningkatan kualitas belanja daerah, ketimpangan vertikal dan horisontal yang menurun, serta harmonisasi belanja pusat dan daerah.
Meski begitu, progres implementasi dari UU HKPD agaknya belum berjalan optimal dalam 1 tahun terakhir ini atau sejak diundangkan pada 5 Januari 2022. Salah satunya, perihal progres penyusunan perda pajak dan retribusi daerah berdasarkan UU HKPD.
Rancangan Perda Pajak dan Retribusi Daerah
UU HKPD mengatur hal-hal penting dalam memperkuat desentralisasi fiskal, antara lain perihal pajak daerah dan retribusi daerah; pembiayaan utang daerah, sinergi pendanaan, pengelolaan belanja daerah, sinergi kebijakan fiskal nasional, dana abadi daerah, hingga transfer daerah.
Meski demikian, isu terkait dengan pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD) menjadi yang paling menjadi perhatian. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bahkan memprediksi UU HKPD dapat mengerek penerimaan daerah secara signifikan.
Berdasarkan hasil simulasi pemerintah, penerimaan PDRD bagi kabupaten/kota diperkirakan dapat meningkat hingga 50%, dari Rp61,2 triliun menjadi Rp91,3 triliun meski pada saat yang sama UU HKPD turut menyederhanakan jenis PDRD.
“Perubahan pengaturan pajak daerah, termasuk tarif, justru akan dapat meningkatkan pendapatan asli daerah secara terukur," katanya.
Dalam UU HKPD, terdapat objek pajak daerah baru yang diatur antara lain seperti pajak alat berat, opsen pajak mineral bukan logam dan batuan (MBLB), opsen pajak kendaraan bermotor (PKB), dan opsen bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB).
Selain itu, UU HKPD juga mengatur pajak barang dan jasa tertentu (PBJT). Meski demikian, jenis pajak daerah itu sesungguhnya bukan pajak baru, tetapi hanya sekadar penyederhanaan dari beberapa jenis pajak daerah pada undang-undang sebelumnya.
Dalam UU HKPD, objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu yang meliputi makanan dan/atau minuman; tenaga listrik; jasa perhotelan; jasa parkir; dan jasa kesenian dan hiburan.
Selain penambahan objek pajak daerah baru, UU HKPD juga mengubah ketentuan tarif pajak daerah. Contoh, tarif maksimal pajak bumi dan bangunan perdesaan perkotaan (PBB-P2) dinaikkan menjadi 0,5% dari sebelumnya 0,1%-0,3%.
Untuk menerapkan ketentuan PDRD dalam UU HKPD, pemda diwajibkan menyusun perda PDRD terbaru berdasarkan UU HKPD terlebih dahulu. Pemda mendapatkan waktu selama 2 tahun untuk menyelesaikan perda PDRD terbarunya atau paling telat 5 Januari 2024.
Khusus ketentuan mengenai PKB, BBNKB, pajak MBLB, opsen PKB, opsen BBNKB, dan opsen pajak MBLB dalam perda yang disusun berdasarkan UU PDRD masih tetap berlaku sampai dengan 3 tahun atau paling lambat 5 Januari 2025.
Jika jangka waktu tersebut tak terpenuhi maka ketentuan pajak dan retribusi mengikuti ketentuan berdasarkan UU HKPD. Untuk itu, pemerintah, baik pusat dan daerah, dan para stakeholder harus bergegas menyusun perda PDRD dengan waktu tersisa.
Sayang, dalam setahun terakhir ini, progres penyusunan perda belum terlalu mulus. Terdapat beberapa tantangan yang dihadapi pemerintah, baik dari pusat maupun daerah, saat menyusun perda PDRD tersebut.
Salah satunya, proses penyelesaian rancangan peraturan pemerintah tentang ketentuan umum pajak daerah dan retribusi daerah (RPP KUPDRD) yang belum rampung. Sebagai informasi, PP KUPDRD ini dibutuhkan pemda sebagai rujukan dalam menyiapkan perda PDRD.
Direktur Kapasitas dan Pelaksanaan Transfer Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Bhimantara Widyajala mengatakan RPP KUPDRD sudah dibahas antaranggota Panitia Antar-Kementerian (PAK) pada Oktober 2022.
“Draf RPP atas hasil PAK juga telah dilakukan konsultasi publik pada 8-22 November 2022. Proses pengharmonisasian RPP KUPDRD oleh Kemenkumham berdasarkan permohonan menteri keuangan juga sudah dimulai,” tuturnya.
Bhimantara juga memastikan pemerintah pusat akan terus mengakselerasi penyusunan atau pembahasan RPP KUPDRD sehingga dapat ditetapkan menjadi PP dalam waktu dekat ini.
Pemda sebetulnya tidak perlu khawatir mengenai PP KUPDRD. Sebab, Kemendagri dan Kementerian Keuangan juga sudah membuat template perda PDRD yang bisa diadopsi pemda dalam menyusun draf, tanpa perlu menunggu PP KUPDRD terbit.
"Template sudah mengacu pada draf RPP yang saat ini sedang dalam pembahasan. Kalau ada bedanya, saya yakin tidak terlalu jauh bedanya," kata Sekretaris Ditjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri Komaedi.
Pemerintah juga menyatakan kesiapannya untuk mendorong dan mengawal pemda mempercepat penyusunan perda melalui upaya percepatan evaluasi rancangan perda PDRD berdasarkan UU HKPD.
Selain itu, diseminasi PP KUPDRD dan asistensi kepada pemda juga akan dilaksanakan sehingga perda PDRD yang disusun dapat selaras dengan pengaturan yang dimuat dalam UU HKPD dan RPP KUPDRD serta dapat ditetapkan secara tepat waktu.
Satu Perda
KENDALA lainnya dalam penyusunan perda PDRD berdasarkan UU HKPD ialah menggabungkan perda-perda terkait dengan PDRD dalam satu perda. Dalam UU 28/2009 tentang PDRD, batasan mengenai jumlah perda tentang PDRD di daerah memang tidak diatur.
Akibatnya, setiap jenis pajak daerah bisa memiliki perda tersendiri. Bila pemerintah kabupaten/kota memungut 11 jenis pajak daerah maka pemeritnah kabupaten/kota tersebut bisa memiliki 11 perda yang mengatur tentang pajak daerah.
Kewajiban bagi pemda untuk memiliki 1 perda tentang PDRD disebutkan dalam Pasal 94 UU HKPD. Jadi, dalam 1 perda, akan memuat ketentuan jenis pajak dan retribusi; subjek pajak dan wajib pajak; subjek retribusi dan wajib retribusi; objek pajak dan retribusi.
Kemudian, dasar pengenaan pajak; tingkat penggunaan jasa retribusi; saat terutang pajak, wilayah pemungutan pajak; serta tarif pajak dan retribusi. Nanti, perda tersebut menjadi dasar pemungutan pajak dan retribusi di daerah.
Tantangan untuk menggabungkan seluruh perda PDRD dalam satu perda juga diakui oleh Kepala Bapenda Surabaya Musdiq Ali Suhudi. Menurutnya, Bapenda tengah berkoordinasi dengan organisasi perangkat daerah (OPD) terkait satu perda itu.
“Ini masih dalam proses pembahasan karena ini banyak sekali. Di Surabaya saja, ada 16 OPD yang menangani retribusi dan masing-masing punya perda retribusi sendiri-sendiri. Ini kami kumpulkan untuk dijadikan satu,” tuturnya.
Belum lagi, penyusunan perda juga harus melibatkan pemangku kepentingan lainnya seperti DPRD, menteri dalam negeri dan menteri keuangan. Khusus perda kabupaten/kota, gubernur juga ikut serta dalam evaluasi rancangan perda tersebut.
Berdasarkan UU HKPD, mendagri dan gubernur akan bertugas menguji kesesuaian rancangan perda dengan ketentuan UU HKPD, kepentingan umum, dan/atau peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi.
Dalam pelaksanaan evaluasi rancangan perda tersebut, mendagri dan gubernur akan berkoordinasi dengan menteri keuangan. Adapun menteri keuangan akan melakukan evaluasi dari sisi kebijakan fiskal nasional.
Senada, Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Samarinda Hermanus Barus menuturkan Pemkot Samarinda sudah mulai melakukan pembahasan atas rancangan perda PDRD tersebut.
Pemkot, lanjutnya, juga masih menunggu peraturan pemerintah (PP) terkait dengan KUPDRD. "RPP-nya itu baru disosialisasikan kepada kami bulan-bulan lalu. Maka kami tunggu dulu," ujarnya.
Dalam setahun terakhir ini, beberapa pemda memang sudah memulai membahas rancangan perda PDRD bersama pemangku kepentingan. Pemkot Kendari misalnya, sudah mengadakan konsultasi publik dengan mengundang para stakeholder.
Pemda lainnya yang sudah mulai merancang perda PDRD seperti Pemprov Sumatera Barat, Pemkab Gresik, Pemkot Pekalongan, Pemkot Malang, Pemkab Batang, dan Pemkot Bogor. Rancangan perda PDRD dari Pemkab Bojonegoro bahkan sudah disetujui oleh DPRD.
Penetapan Target Penerimaan Pajak dalam APBD
SELAIN perancangan perda PDRD, isu yang tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan pemda ialah menetapkan target penerimaan PDRD secara lebih presisi. Selama ini, ternyata tidak sedikit pemda yang menetapkan target pajak di bawah potensi.
Researcher DDTC Fiscal Research & Advisory (FRA) Lenida Ayumi menuturkan Pasal 102 UU HKPD mengamanatkan pemda menyusun target penerimaan pajak daerah dengan mempertimbangkan kebijakan ekonomi daerah dan potensi pajak.
“Untuk mengukur potensi pajak secara lebih akurat, pemda perlu melakukan analisis tax gap guna mengetahui besaran potensi pajak yang belum tergali selama ini,” tuturnya.
Setelah itu, lanjut Ayumi, pemda juga bisa mengukur kinerja pajak daerah melalui indikator tax effort. Menurutnya, tax effort mampu mengevaluasi sejauh mana upaya yang dilakukan tiap daerah dalam memungut potensi pajak.
Selain itu, tax effort dapat mengidentifikasi variasi persoalan serta respons kebijakan yang tepat sesuai dengan kondisi aktual di daerah.
Dalam menganalisis tax effort, DDTC FRA telah mengambil studi kasus terhadap 113 kabupaten/kota di Pulau Jawa selama periode 2014-2019. Hasil estimasi dan analisis itu di antaranya menunjukan sebagian besar daerah belum mengumpulkan potensi pajak secara optimal.
Melihat banyaknya pekerjaan rumah pada tahun ini, pemda dan DPRD tentu harus bergegas menyusun perda PDRD agar dapat terealisasi sesuai dengan jadwal. Ini juga berlaku bagi pemerintah pusat agar terus memberikan dukungan terhadap pemda.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.