EFEK PANDEMI COVID-19

Risiko Ketimpangan Pascapandemi Mengintai, Pajak Bisa Apa?

Redaksi DDTCNews | Selasa, 29 Juni 2021 | 15:46 WIB
Risiko Ketimpangan Pascapandemi Mengintai, Pajak Bisa Apa?

Ilustrasi. Pekerja menata hasil cetakan kerupuk putih di Pabrik Kerupuk Melati, Jakarta, Sabtu (26/6/2021). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/rwa.

FAIR shot. Dua kata yang dipilih International Monetary Fund (IMF) dalam laporan Fiscal Monitor edisi April 2021 ini memberikan penekanan krusialnya akses atau kesempatan yang adil pada saat pandemi. Tidak hanya pada vaksinasi, tetapi juga keberlanjutan atau kesuksesan hidup setiap orang.

Ya, IMF menyoroti risiko ketimpangan pascapandemi Covid-19. Ketimpangan yang sudah ada sebelumnya telah memperburuk Covid-19, misalnya karena masalah akses layanan kesehatan. Di sisi lain, Covid-19 juga memperburuk ketimpangan itu sendiri, misalnya dampak terhadap pendapatan.

“Lingkaran setan seperti itu berisiko membuka celah seismik di tatanan sosial,” ujar Director Fiscal Affairs Department IMF Vitor Gaspar.

Baca Juga:
Pencantuman NITKU Bakal Bersifat Mandatory saat Pembuatan Bukti Potong

Dari pengalaman pandemi SARS (2003), H1N1 (2009), MERS (2012), Ebola (2014), dan Zika (2016), rata-rata ketimpangan pendapatan di negara-negara terdampak akan naik selama 5 tahun setelah peristiwa. Efeknya akan lebih parah ketika ada kontraksi ekonomi (Furceri, Loungani, Ostry, dan Pizzuto, 2020).

Proyeksi jangka pendek World Bank dan IMF pun menunjukkan kemiskinan ekstrem di seluruh dunia serta ketimpangan pendapatan negara berpenghasilan rendah dan negara berkembang kemungkinan akan meningkat pada 2020.

Pasalnya, pandemi Covid-19 berdampak besar pada pasar tenaga kerja. Apalagi, ada juga pengaruh digitalisasi. Fenomena kehilangan pekerjaan dan pendapatan kemungkinan besar akan paling parah menimpa pekerja berketerampilan rendah dan tidak berpendidikan.

Baca Juga:
Rezim Baru, WP Perlu Memitigasi Efek Politik terhadap Kebijakan Pajak

Pasar modal juga punya andil terhadap ketimpangan. Intervensi kebijakan moneter pada masa pandemi bertujuan baik. Kemungkinan besar telah membantu mencegah kebangkrutan dan mempertahankan pekerjaan. Namun, ada efek kenaikan nilai aset yang dipegang orang kaya (Ferreira, 2021).

Gambaran singkat itu setidaknya menjelaskan ada risiko peningkatan ketimpangan. Apalagi, pada masa pemulihan, pertumbuhan pendapatan rumah tangga miskin sering kali lebih lambat. Kondisi itu dipengaruhi hilangnya sumber daya manusia dan aset selama krisis. (Ruth dan Narayan, 2021).

Redistribusi
RISIKO pelebaran ketimpangan jelas membutuhkan intervensi dari pemerintah, termasuk menggunakan kebijakan pajak. Arahnya jelas, kebijakan pajak digunakan untuk melakukan intervensi terkait dengan redistribusi pendapatan.

Baca Juga:
Dibagikan Gratis, 2 Buku DDTC ITM 2024 Dwibahasa Telah Diluncurkan

Sejumlah rekomendasi yang diberikan lembaga internasional, seperti IMF, World Bank, dan OECD mengarah pada progresivitas pajak penghasilan (PPh), pajak warisan, hingga pajak kekayaan. Spiritnya sama, yakni agar wajib pajak kaya berkontribusi lebih banyak dalam pendapatan negara.

Maklum, meningkatnya konsentrasi kekayaan telah mendorong seruan pajak berbasis kekayaan. Namun, tantangan ada pada tahap implementasi. Menurut IMF, negara-negara perlu terlebih dahulu fokus pada penutupan celah, progresivitas PPh, serta optimalisasi pajak properti dan warisan.

Bagaimana dengan Indonesia? Sebagai gambaran awal, berdasarkan pada data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Agustus 2020 sebesar 7,07%, naik dibandingkan posisi Agustus 2019 sebesar 5,23%. BPS melaporkan sebanyak 29,12 juta penduduk usia kerja (14,28%) terdampak Covid-19 pada Agustus 2020.

Baca Juga:
Satu Dekade Kebijakan Perpajakan Jokowi

Kondisi itu memengaruhi tingkat kemiskinan dan ketimpangan. Tingkat kemiskinan pada September 2020 sebesar 10,19% atau naik dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya 9,22%. Kemudian, gini ratio tercatat naik dari 0,391 menjadi 0,399 pada September 2020.

Bersamaan dengan momentum konsolidasi fiskal – dengan fokus mengembalikan defisit anggaran di bawah 3% terhadap produk domestik bruto (PDB) –, pemerintah berencana menyodorkan sejumlah usulan kebijakan pajak melalui revisi Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Untuk merespons isu keadilan dan kesetaraan, pemerintah berencana menerapkan alternative minimum tax (AMT) serta perubahan tarif dan bracket PPh orang pribadi. Pemerintah juga berencana menerapkan skema PPN multitarif.

Baca Juga:
Tren Penerapan Presumptive Tax untuk UMKM di Berbagai Negara

“Asas keadilan dalam perpajakan, di mana yang lemah dibantu dan dikuatkan dan yang kuat membantu dan berkontribusi,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Untuk menjamin perbaikan pelayanan dan pengawasan terhadap wajib pajak kaya (high wealth individual/HWI) pemerintah juga melakukan reorganisasi instansi vertikal DJP. Salah satunya melalui penambahan 18 KPP Madya baru yang beroperasi mulai 24 Mei 2021.

Manager DDTC Fiscal Research Denny Vissaro berpendapat penambahan tax bracket memang tidak bisa menjadi satu-satunya instrumen yang menjadi andalan pemerintah untuk mereformasi pajak orang kaya. Apalagi, jumlah wajib pajak yang akan tercakup dalam tax bracket baru masih sedikit.

Baca Juga:
Ingin Masuk OECD, RI Targetkan Initial Memorandum Selesai Akhir 2024

Berbagai rekomendasi lembaga internasional, sambungnya, layak dipertimbangkan. Salah satunya pajak berbasis kekayaan. Kebijakan tidak hanya menyasar pada penghasilan, tetapi juga dari segi kepemilikan aset atau modal yang merupakan sumber kekayaan terbesar wajib pajak kaya.

Bersamaan dengan hal tersebut peninjauan skema PPh final atas bunga, dividen, royalti, dan penghasilan pasif lainnya juga bisa dilakukan. Progresivitas dan penutupan celah penghindaran pajak terkait dengan penghasilan modal (passive income) selama ini juga menjadi sorotan beberapa lembaga internasional.

“Jika ingin menyasar kepada wajib pajak berpenghasilan tinggi, perlu juga ditinjau skema PPh final di Indonesia karena tarifnya secara umum masih di bawah 30% sehingga dapat menurunkan progresivitas pajak bagi orang kaya,” ujar Denny.

Baca Juga:
Buku DDTC ITM 2024 Versi Bahasa Indonesia Ada PDF-nya, Unduh di Sini!

Terkait dengan PPh final, DDTC pada tahun lalu telah merilis DDTC Working Paper bertajuk Meninjau Konsep dan Relevansi PPh Final di Indonesia. Download DDTC Working Paper tersebut di sini. Penjelasan Denny mengenai PPh orang pribadi juga anda simak dalam DDTC Podtax.

Pajak Solidaritas
MASIH terkait dengan kekayaan, salah satu rekomendasi skema kebijakan yang layak dipertimbangkan adalah pajak solidaritas (solidarity tax). Skema pajak ini bisa menjadi alternatif kebijakan dalam rencana revisi UU KUP.

Pajak solidaritas umumnya merupakan pungutan tambahan, baik subjek, objek, maupun tarif, di luar hukum pajak yang sudah ada. Konteks pungutan tersebut juga umumnya berorientasi secara spesifik untuk tujuan suatu hal. Dalam konteks saat ini, pengadaan vaksin dan bantuan sosial bisa menjadi tujuan. Simak Kamus ‘Apa Itu Pajak Solidaritas?’.

Baca Juga:
Pasca-Pandemi, Negara-negara Mulai Perketat Pemberian Insentif Pajak

Managing Partner DDTC Darussalam mengatakan setidaknya terdapat tiga argumen yang relevan mengenai perlunya kehadiran pajak solidaritas. Pertama, adanya kebutuhan yang tinggi untuk membiayai penanganan pandemi Covid-19 sehingga membutuhkan gotong royong dari masyarakat.

Kedua, pajak solidaritas bermaksud untuk menjamin pemulihan ekonomi yang inklusif dan menjadi cermin fungsi pajak yang bersifat redistributif. Ketiga, pajak solidaritas dapat mendorong ketersediaan penerimaan jangka pendek.

“Kelebihannya, pajak solidaritas tidak akan menciptakan distorsi bagi perilaku kepatuhan pajak jangka panjang,” ujar Darussalam.

Baca Juga:
Dongkrak Lifting, SKK Migas Sebut Rezim Pajak Terus Disempurnakan

Program pajak solidaritas harus mencerminkan semangat sharing burden yang lebih adil. Oleh karena itu, akan lebih baik jika dikenakan kepada kelompok kaya dan/atau yang masih mempunyai tambahan kemampuan ekonomis yang tinggi di saat pandemi

Namun, perlu dipertimbangkan pula sifat filantropi dan kepedulian manusia Indonesia. Oleh karena itu program pajak solidaritas dapat bersifat terbuka untuk siapapun. Simak Perspektif ‘Saatnya Saling Menopang, Saatnya Pajak Solidaritas’.

Harus diakui, risiko makin buruknya kondisi ketimpangan di dunia, termasuk Indonesia, di depan mata. Tentu saja, risiko ini perlu dimitigasi sejak awal melalui berbagai skema kebijakan yang memang diarahkan untuk pemulihan ekonomi pascapandemi.

Jangan sampai pemulihan ekonomi yang terjadi tidak inklusif, bahkan memperlebar ketimpangan. Perlu juga dicatat, pajak merupakan salah satu instrumen kebijakan. Bukan panasea. Kebijakan fiskal lainnya, terutama yang berkaitan langsung dengan masyarakat terdampak, juga dibutuhkan. (kaw)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Jumat, 18 Oktober 2024 | 09:14 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Pencantuman NITKU Bakal Bersifat Mandatory saat Pembuatan Bukti Potong

Kamis, 17 Oktober 2024 | 13:35 WIB DDTC EXCLUSIVE GATHERING 2024

Rezim Baru, WP Perlu Memitigasi Efek Politik terhadap Kebijakan Pajak

Kamis, 17 Oktober 2024 | 10:30 WIB DDTC EXCLUSIVE GATHERING 2024

Dibagikan Gratis, 2 Buku DDTC ITM 2024 Dwibahasa Telah Diluncurkan

Rabu, 16 Oktober 2024 | 12:00 WIB KILAS BALIK PERPAJAKAN 2014-2024

Satu Dekade Kebijakan Perpajakan Jokowi

BERITA PILIHAN
Jumat, 25 Oktober 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK DAERAH

Kriteria Alat Berat yang Dikecualikan sebagai Objek Pajak Daerah

Jumat, 25 Oktober 2024 | 10:30 WIB CORETAX SYSTEM

Coretax DJP: NSFP Bakal Diberikan Otomatis Setelah PKP Submit Faktur

Jumat, 25 Oktober 2024 | 10:00 WIB PROVINSI BENGKULU

Ada Opsen Pajak, Pemprov Minta Kabupaten/Kota Ikut Dorong Kepatuhan WP

Jumat, 25 Oktober 2024 | 09:30 WIB NIGERIA

Nigeria Bakal Kenakan PPN 15 Persen untuk Barang Mewah

Jumat, 25 Oktober 2024 | 09:00 WIB BERITA PAJAK HARI INI

PKP Bakal Wajib Memerinci Data Penyerahan terkait Faktur Pajak Eceran

Jumat, 25 Oktober 2024 | 08:33 WIB KABINET MERAH PUTIH

Penataan Organisasi Kementerian Prabowo Ditarget Selesai Akhir Tahun

Kamis, 24 Oktober 2024 | 18:30 WIB TIPS PAJAK DAERAH

Cara Laporkan SPT Pajak Daerah atas Jasa Kesenian dan Hiburan di DKI

Kamis, 24 Oktober 2024 | 18:00 WIB KOTA PALU

Ada 9 Jenis Pajak Daerah di Kota Palu, Simak Daftar Lengkapnya

Kamis, 24 Oktober 2024 | 17:30 WIB PROVINSI GORONTALO

Mulai 2025, Provinsi-Kabupaten/Kota Tagih Pajak Kendaraan Bersama-sama

Kamis, 24 Oktober 2024 | 17:00 WIB CORETAX SYSTEM

Coretax DJP Mungkinkan Cabang untuk Bikin Bukti Potong PPh