Peresmian LARAS: Layanan Ramah Disabilitas, oleh Kanwil DJP Jakarta Selatan II.
JARI jemari itu bergoyang-goyang di udara. Belasan pasang tangan terangkat menyangganya. Walau tak terdengar suara sama sekali, gerakan itu menggaungkan riuh tepuk tangan yang lebih kencang dari tawa. Ekspresi bahagia tergambar hangat di tiap wajah mereka.
Seakan tak terusik keterbatasan, tangan mereka lihai melakukan gerakan-gerakan bahasa isyarat. Dengan tegas, sesekali bibir mereka mencoba mengecap kata demi kata. Tanpa suara, tetapi lafalnya seolah bisa terdengar dengan lugas. Percakapannya boleh saja sunyi. Namun, pesannya tersampaikan tanpa bunyi.
Di hadapan mereka, melatari panggung sederhana yang tersedia di ruangan berkapasitas puluhan orang itu, terpasang banner bertuliskan Peresmian LARAS: Layanan Ramah Disabilitas. Hari itu cukup spesial bagi warga penyandang disabilitas yang diundang oleh Kantor Wilayah Ditjen Pajak (Kanwil DJP) Jakarta Selatan II.
Pagi itu, otoritas pajak meresmikan sejumlah fasilitas yang secara khusus disediakan untuk wajib pajak penyandang disabilitas. Misalnya, penyediaan kursi roda, pembangunan jalan masuk yang landai, hingga pemasangan pemandu jalan nagi tuna netra (guiding block).
Loket prioritas pun disediakan dengan memperhatikan kebutuhan para penyandang disabilitas. Petugas telah dibekali kemampuan bahasa isyarat agar mampu berkomunikasi dengan wajib pajak yang membutuhkan.
Tidak hanya itu, fasilitas ruang tenang bisa menjadi oasis bagi penyandang 'disabilitas tak terlihat' atau invisible disability. Pasalnya, penyandang disabilitas tak terlihat seperti gangguan spektrum autisme, depresi, ADHD, dan disleksia terkadang memerlukan ketenangan ketika bertemu dengan banyak orang.
Kepala Kanwil DJP Jakarta Selatan II Neilmaldrin Noor mengatakan layanan ini diwujudkan untuk menghilangkan diskriminasi terhadap disabilitas. Selain itu, dengan adanya LARAS, diharapkan jumlah wajib pajak penyandang disabilitas dapat terdata sehingga pelayanan perpajakan akan lebih optimal.
“Selama ini, terus terang kami belum terlalu bagus komunikasinya dengan mereka, karena mereka ada keterbatasan untuk datang ke kantor pajak. Dengan LARAS ini kami harapkan kami akan memiliki data dan dapat memilah rekan-rekan disabilitas yang memberikan kontribusi,” katanya.
Perlu dipahami, tidak terdapat aturan yang membebaskan penyandang disabilitas dari pemenuhan kewajiban pajaknya. Artinya, difabel atau tidak, wajib pajak dipandang setara.
Komisioner Komisi Nasional Disabilitas (KND) Fatimah Asri Mutmainah menganggap tersedianya fasilitas khusus bisa menciptakan ruang partisipasi teman disabilitas terhadap penerimaan negara. Hal tersebut akan mengevaluasi stigma negatif yang melekat pada diri penyandang disabilitas.
“Oh, berarti teman disabilitas bayar pajak ya, ini akan mengevaluasi stigma miring terhadap teman disabilitas. Tidak lagi dianggap lemah. Ini menciptakan ruang partisipasi karena saat dia bisa berkontribusi, menunjukan kesetaraan. Saya bisa, kok, berkontribusi kepada pembangunan,” katanya.
Meskipun begitu, berbicara mengenai fasilitas, diksi ‘sama’ tidak menandakan setara. Kesamaan fasilitas yang didapat wajib pajak pada umumnya dengan wajib pajak penyandang disabilitas belum mencerminkan kesetaraan.
Fatimah beranggapan, kesetaraan semestinya tidak hanya mencakup pemenuhan kewajiban pajak saja. Dalam hal membayar pajak, wajib pajak pada umumnya dan penyandang disabilitas sama-sama harus patuh. Namun, menurutnya, sayangnya fasilitas yang diberikan belum mencerminkan kesetaraan.
Stella Young, seorang komedian, aktivis disabilitas, dan juga jurnalis, pernah mengatakan, "My disability exists not because I use a wheelchair, but because the broader environment isn’t accessible". Terjemahannya, kurang lebih, "Disabilitas ini terjadi bukan karena saya memakai kursi roda, tetapi karena lingkungan (pemerintah, ekosistem sosial) tidak memberikan akses yang setara kepada saya".
Hingga saat ini, belum semua kantor pelayanan publik menyediakan fasilitas yang memadai dan setara bagi penyandang disabilitas. Tidak cuma perkara fasilitas, sensitivitas petugas terhadap difabel juga masih perlu diasah.
Bukankah sudah sepantasnya, kesetaraan itu berlaku seimbang? Jika pemerintah memberlakukan prinsip setara dalam pemenuhan kewajiban, apakah sudah setara dalam aspek pemenuhan hak masyarakat?
Toh, penyediaan fasilitas bagi penyandang disabilitas juga akan memberikan keuntungan bagi pemerintah. Tidak hanya dari segi penerimaan (dilihat dari aspek pajak), citra pemerintah juga makin baik. Pada akhirnya, kepercayaan publik akan naik.
Langkah otoritas pajak dalam menyediakan layanan setara bagi penyandang disabilitas perlu diapresiasi. Harapannya, kebijakan ini akan meluas ke berbagai layanan publik lainnya. (Syallom Aprinta Cahya Prasdani/sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.