Foto udara suasana destinasi wisata Tegalan di Kampung Karang Tengah, Plawad, Karawang, Jawa Barat, Sabtu (28/8/2021). Destinasi wisata hasil swadaya masyarakat dan Karang Taruna tersebut menyajikan pemandangan lahan persawahan yang sekaligus menjadi tempat promosi dan dan penjualan produk UMKM sebagai upaya pengembangan desa wisata. ANTARA FOTO/M Ibnu Chazar/aww.
UMKM tahan banting. Pernyataan itu tidak asal bunyi. Kementerian Keuangan merekam sektor UMKM ampuh bertahan hidup melewati krisis ekonomi skala besar pada 1998 dan 2008.
Pada 1998, di tengah krisis moneter dahsyat, hanya 34% pelaku UMKM yang omzetnya anjlok. Pada 2008, buntut dari kredit macet perumahan di Amerika Serikat, UMKM mampu menjaga pertumbuhan ekonomi sebesar 5,8%. Ada andil konsumsi rumah tangga yang masih tinggi pada saat itu.
Namun, kondisinya berbeda ketika pandemi Covid-19 melanda Indonesia kini. Kemenkeu menyebut 90% pelaku UMKM mengalami penurunan penjualan akibat pembatasan aktivitas masyarakat. Sepinya kegiatan masyarakat dan terhambatnya ekspor-impor praktis membuat UMKM ikut terpukul.
Demi membantu tulang punggung ekonomi ini, pemerintah pun langsung menyiapkan beragam stimulus mulai dari subsidi bunga, restrukturisasi kredit, hingga bantuan sosial produktif. Pemerintah terlihat jorjoran membantu UMKM bangkit.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun tercatat beberapa kali menyerahkan bantuan secara langsung kepada pelaku UMKM yang terdampak pandemi Covid-19. Pemerintah menyiapkan dana Rp186,81 triliun untuk membantu UMKM dan korporasi melalui program pemulihan ekonomi nasional (PEN) 2021.
Secara spesifik, anggaran bantuan subsidi bunga UMKM disiapkan senilai Rp31,95 triliun dan bantuan produktif usaha mikro (BPUM) senilai Rp17,34 triliun. Jenis bantuan yang terakhir berupa penyaluran bantuan langsung senilai Rp1,2 juta untuk setiap pelaku UMKM yang terdampak pandemi.
Totalitas pemerintah dalam mengentas UMKM dari kubangan pandemi ini bukan tanpa sebab. UMKM punya andil besar terhadap perekonomian nasional. Kontribusi sektor UMKM terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 61,07% atau senilai Rp8.573,89 triliun. Bukan angka kecil.
Mengacu data Kementerian Koperasi dan UKM, jumlah UMKM per Juli 2021 mencapai 64,2 juta pelaku. Tingkat serapan tenaga kerja pun tinggi, yakni 97% dari total tenaga kerja yang ada. Dengan deretan angka ini, tak heran jika pemerintah sekuat tenaga menyelamatkan para pelaku UMKM dari jurang pandemi.
Sayangnya, deret angka mengenai kontribusi UMKM terhadap perekonomian Indonesia justru memunculkan negasi atas fakta yang ada. Ditjen Pajak (DJP) dalam laporan tahunan 2018 menyebut pemenuhan kewajiban perpajakan pelaku UMKM justru tak sesuai dengan jumbonya jumlah mereka.
Jumlah wajib pajak terdaftar dalam sistem administrasi perpajakan dan angka penerimaan pajak yang berasal dari UMKM terbilang jauh dari kondisi yang seharusnya.
Data DJP menunjukkan hingga 2019, baru 5 juta wajib pajak UMKM yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Dari angka itu, hanya separuhnya yang aktif membayar pajak. Angka ini tentu jauh dibandingkan dengan jumlah keseluruhan UMKM yang tembus 64,2 juta.
Kontradiksi yang terjadi menunjukkan UMKM masih tergolong sebagai shadow economy di Indonesia. Shadow economy, atau kerap juga disebut underground economy, merupakan sektor ekonomi yang selama ini tak tersentuh sistem perpajakan.
Belum cakapnya pelaku usaha dalam menjalankan pembukuan menjadi salah satu faktor yang membuat UMKM masuk hard-to-tax sector. Pengenaan pajak bagi pelaku UMKM pun belum bisa diperlakukan dengan ketentuan umum atau normal seperti sektor formal.
Pendekatan Kelompok Shadow Economy
MERESPONS fakta basis pajak pada sektor UMKM yang belum terpetakan dengan baik, pemerintah pun melakukan modifikasi pendekatan. Konsep presumptive tax digunakan untuk meningkatkan kepatuhan pajak para pelaku UMKM.
Simplifikasi perhitungan pajak dikenalkan melalui konsep pajak penghasilan (PPh) final. Rezim ini sekaligus menjadi jembatan bagi sektor informal untuk beralih ke sektor formal agar mulai masuk sistem administrasi perpajakan.
Jurus pendekatan pertama diluncurkan pada 2013 melalui Peraturan Pemerintah (PP) 46/2013. Pemerintah menawarkan perhitungan pajak secara sederhana dengan tarif PPh final 1% dari omzet. Beleid ini menyasar wajib pajak yang menjalankan usahanya dengan peredaran bruto di bawah Rp4,8 miliar.
Namun, keringanan yang ditawarkan melalui PP 46/2013 masih memunculkan celah penghindaran pajak. Salah satunya dikarenakan tidak adanya batas waktu penggunaan rezim PPh final. Selama wajib pajak memiliki bisnis dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar per tahun, mereka bisa menggunakan tarif PPh final.
Skema tersebut lantas memungkinkan pelaku usaha untuk dengan sengaja tidak melakukan ekspansi bisnisnya menjadi lebih besar. Bisa saja mereka menjaga omzet di bawah Rp4,8 miliar agar tetap bisa menikmati PPh final 1%. Artinya, PPh final 1% yang disodorkan melalui PP 46/2013 bersifat abadi.
Perubahan kemudian dilakukan pemerintah melalui PP No. 23/2018 yang mencabut PP 46/2013. Tarif PPh final dipangkas dari 1% menjadi 0,5%. Menyikapi munculnya 'PPh final abadi' maka PP 23/2018 memberlakukan batas waktu pemanfaatan.
Batas waktu 7 tahun untuk wajib pajak orang pribadi; 4 tahun untuk wajib pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer (CV), atau firma; dan 3 tahun untuk wajib pajak badan berbentuk perseroan terbatas (PT).
Selepas jangka waktu pemanfaatan PP 23/2018 habis, wajib pajak harus menghitung PPh-nya berdasarkan pada tarif normal sesuai Pasal 17 UU PPh. Artinya, wajib pajak perlu melakukan pembukuan dan menghitung pajak sesuai dengan tarif normal.
Hal ini sejalan dengan hasil kajian yang disampaikan dalam DDTC Working Paper bertajuk Meninjau Konsep dan Relevansi PPh Final di Indonesia. Pengenaan PPh final secara terus-menerus bisa berisiko menimbulkan suatu perencanaan pajak.
Bagi otoritas pajak, pemberlakuan jangka waktu atas pemanfaatan PPh final 0,5% merupakan pendorong bagi UMKM agar bisa naik kelas. UMKM diharapkan bisa berkembang dengan menaikkan omzet serta skala usahanya menjadi lebih besar.
Hal ini memang selaras dengan tujuan pemerintah memberlakukan PPh final terhadap entitas usaha beromzet kurang dari Rp4,8 miliar per tahun. Kelompok usaha UMKM diharapkan secara bertahap bisa masuk ke dalam sistem perpajakan dan memberikan kontribusinya terhadap penerimaan.
"Kalau batas waktu sudah selesai maka harus kembali menggunakan tarif Pasal 17 UU PPh dan membuat laporan keuangan. Jangan khawatir, sudah ada Standar Akuntansi Keuangan Entitas Mikro Kecil Menengah (SAK EMKM) yang lebih sederhana ketimbang SAK lainnya,” ujar Kasubdit Penyuluhan Perpajakan DJP Inge Diana Rismawanti.
Sebenarnya, selepas pemanfaatan tarif PPh final 0,5% melalui PP 23/2018, pelaku UMKM masih berpeluang mendapat keringanan melalui Pasal 31E UU PPh. Beleid itu menyebutkan bahwa wajib pajak dalam negeri beromzet sampai dengan Rp50 miliar mendapat fasilitas pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif umum (Pasal 17) yang dikenakan atas penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp4,8 miliar.
Namun, skema itu rencananya bakal dihapus melalui RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang saat ini sedang digodok pemerintah dan parlemen. Penghapusan fasilitas ini dilandasi keinginan pemerintah untuk menyederhanakan struktur tarif PPh badan. Selain itu, tarif PPh badan juga akan turun menjadi 20% pada tahun depan.
Buntut dari rencana kebijakan tersebut, jika disetujui parlemen, akan membuat wajib pajak UMKM yang sudah tidak lagi bisa menggunakan tarif PPh final dipastikan menerapkan rezim umum PPh. Tidak ada lagi perlakuan khusus.
Masih Dibutuhkannya Fasilitas
MERESPONS kondisi tersebut, Sekjen Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Edy Misero memandang pemberian perlakuan pajak khusus bagi UMKM melalui PPh final PP 23/2018 dan Pasal 31E UU PPh masih perlu dilanjutkan. UMKM masih butuh stimulus, terutama pada masa pandemi.
Mengenai fasilitas Pasal 31E UU Pajak Penghasilan (PPh) yang akan dihapus melalui RUU KUP, Edy berharap pemerintah dan anggota dewan bisa menimbang ulang rencana tersebut. Menurutnya, fasilitas ini masih diperlukan mengingat UMKM adalah sektor yang memiliki peran besar terhadap perekonomian dan penyerapan tenaga kerja.
Deputi Bidang UKM Kementerian Koperasi dan UKM Hanung Harimba Rachman mengatakan berbagai insentif dari sisi pajak memang masih diperlukan pelaku UMKM. Apalagi, kondisi saat ini berbeda dengan momentum peluncuran PP 23/2018. Saat itu, pandemi Covid-19 belum melanda sehingga proyeksi mengenai pengembangan bisnis UMKM tentu berbeda realisasinya.
Hanya saja, menurut Hanung, ada aspek lain yang perlu diperhatikan ketimbang semata-mata berbicara soal tarif pajak. Menurutnya, aspek krusial yang justru paling dibutuhkan UMKM adalah kepastian berusaha dan kemudahan perizinan. Pelaku UMKM juga membutuhkan jaminan rasa aman saat menjalankan usaha.
“Jadi, self-assessment terkait pajak ini bisa berjalan dengan baik saat wajib pajak UKM ini merasa dijamin,” katanya.
Di sisi lain, Hanung juga berharap agar sosialisasi terkait pelaksanaan pembukuan bagi pelaku UMKM makin digencarkan. DJP, menurutnya, sebagai otoritas yang punya gawe terkait perluasan basis pajak dari sektor UMKM perlu menggenjot lagi pelaksanaan pendampingan pembukuan dan menyederhanakan administrasi perpajakan.
Project Leader UKM Indonesia LPEM FEB Universitas Indonesia (UI) Dewi Meisari Haryanti mengatakan sudut pandang pemberdayaan perlu diarahkan untuk pengembangan kapasitas pelaku usaha. Pendampingan terhadap pelaku UMKM memang tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada DJP melalui program Business Development Services (BDS).
Dari sisi urusan pajak, menurutnya, perlu sosialisasi yang lebih masif. Sosialisasi terutama dari sisi teknis pajak. Pasalnya, dari pengalaman pendampingan yang dilakukan Dewi, masih banyak yang mengalami kebingungan dalam pelaporan dan pembayaran pajak.
Menurut dia, persoalan administrasi pajak akan lebih efektif jika tidak melakukan pendekatan langsung kepada pelaku UMKM. Pelaku UMKM bisa mendapatkan bantuan dari konsultan pajak. Oleh karena itu, rasio konsultan pajak terhadap jumlah UMKM perlu ditingkatkan.
“Mereka pusing diajarin pajak. Bagaimana caranya agar jasa pendampingan pajak bisa dibuat lebih available sehingga nilai jasanya bisa turun juga. Dengan demikian, affordable bagi UMKM. Bisa juga melalui skema konsultan bisa reimburse subsidinya ke pemerintah. Detailnya perlu dipikirkan,” jelasnya.
Ketua Komunitas UMKM Sahabat Pajak (USP) Shodiqin berharap pemerintah ‘turun gunung’ untuk melihat keadaan yang sebenarnya dari UMKM.
“Sebenarnya UMKM inginnya bagaimana usahanya bisa jalan dan omzetnya naik. Itu saja. Pemerintah bisa lakukan kalau setiap lembaga pemerintahan benar-benar mau menggunakan atau membeli produk UMKM secara kontinu dan memberikan pembinaan secara menyeluruh,” ujarnya.
Alur kebijakan pemerintah untuk mendorong pelaku UMKM masuk ke sektor formal memang menarik untuk ditinjau. Perluasan basis pajak memang mutlak diperlukan oleh negara ini demi menarik penerimaan yang lebih optimal.
Hanya saja, bukan perkara mudah untuk 'memaksa' pelaku UMKM menjalankan kewajiban perpajakannya secara normal dengan optimal. Pemerintah perlu memastikan pelaku UMKM memang siap menuju ketentuan pajak normal. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.