BERITA PAJAK SEPEKAN

Isu Terpopuler: Integrasi NIK-NPWP dan Disepakatinya RUU HPP

Redaksi DDTCNews | Sabtu, 02 Oktober 2021 | 08:00 WIB
Isu Terpopuler: Integrasi NIK-NPWP dan Disepakatinya RUU HPP

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews - Indonesia semakin dekat dengan implementasi single identity number melalui integrasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Teranyar, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan peraturan baru mengenai pencantuman dan pemanfaatan NIK dan/atau NPWP dalam pelayanan publik.

Topik tersebut menjadi yang terpopuler dalam sepekan terakhir, periode 27 September--1 Oktober 2021.

Peraturan yang dimaksud adalah Peraturan Presiden (Perpres) No. 83/2021. Pengaturan dalam perpres ini meliputi pertama, pensyaratan penambahan NIK dan/atau NPWP penerima layanan. Kedua, pencantuman NIK dan/atau NPWP penerima layanan.

Baca Juga:
Rata-Rata Waktu Penyelesaian Pengaduan Perpajakan di DJP Capai 9 Hari

Ketiga, validasi atas pencantuman NIK dan/atau NPWP. Keempat, pemadanan serta pemutakhiran data kependudukan dan basis data perpajakan. Kelima, pengawasan.

Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri Zudan Arif Fakrulloh mengatakan pengintegrasian NPWP dengan NIK akan dilakukan secara bertahap sesuai dengan Perpres 83/2021.

"Tidak perlu ada nomor-nomor yang lain, ini bertahap seperti itu sehingga semua penduduk itu nanti langsung bisa mendapatkan status sebagai wajib pajak semuanya. Namun, tentunya tidak semua langsung membayar pajak karena kan ada kategorinya dan ketentuannya," ujar Zudan.

Baca Juga:
Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Penggunaan NIK untuk pelayanan publik dan integrasi NIK dengan NPWP adalah upaya pemerintah untuk mewujudkan NIK sebagai single identity number yang bersifat unik, dibuat hanya satu kali, dan berlaku seumur hidup.

Dengan demikian, setiap layanan publik termasuk layanan perpajakan ke depan hanya membutuhkan NIK. Dari sisi pelayanan pajak, diharapkan pemanfaatan NIK dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya masing-masing.

Artikel lengkap mengenai integrasi NIK-NPWP, baca Jokowi Rilis Peraturan Pencantuman NIK dan NPWP dalam Pelayanan Publik.

Baca Juga:
WP Bisa Akses Aplikasi Coretax Mulai Hari Ini, Fiturnya Masih Terbatas

Topik lain yang menyita perhatian publik adalah bergantinya nama RUU Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan (KUP) menjadi RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Selanjutnya, RUU HPP ini dibawa ke rapat paripurna.

Usulan perubahan nama lebih dulu diajukan oleh sejumlah fraksi melalui Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Alasannya, RUU KUP bersifat omnibus. RUU ini mengubah ketentuan di UU KUP, UU PPh, UU PPN, hingga UU Cukai.

Beberapa ketentuan yang disepakati untuk dibahas lebih lanjut melalui RUU HPP antara lain pengenaan pajak atas natura, pengaturan mengenai tindak lanjut atas putusan mutual agreement procedure (MAP), pengaturan kembali besaran sanksi administratif dalam proses keberatan dan banding, serta penyempurnaan beberapa ketentuan di bidang penegakan hukum perpajakan.

Baca Juga:
Bikin Faktur Pajak Fiktif, Dua Bos Perusahaan Diserahkan ke Kejaksaan

RUU ini juga akan memperkuat reformasi administrasi perpajakan yang saat ini dilakukan oleh pemerintah melalui implementasi NIK sebagai NPWP untuk wajib pajak orang pribadi.

RUU HPP juga memperkuat posisi Indonesia dalam kerjasama internasional dan memperkenalkan ketentuan mengenai tarif pajak pertambahan nilai (PPN) final.

Ada pula ketentuan yang difokuskan pada perluasan basis pajak sebagai faktor kunci dalam mengoptimalkan penerimaan pajak. Ketentuan ini menyangkut pengaturan kembali tarif PPh orang pribadi dan badan.

Baca Juga:
DJP Sebut Top-up e-Money Juga Bakal Kena PPN 12 Persen Tahun Depan

Kemudian, masih terkait dengan perluasan basis pajak, ada penunjukan pihak lain untuk melakukan pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan pajak.

RUU ini juga mencakup pengaturan kembali fasilitas PPN, kenaikan tarif PPN, implementasi pajak karbon, dan perubahan mekanisme penambahan atau pengurangan jenis barang kena cukai (BKC).

Artikel lengkap mengenai lahirnya RUU HPP baca RUU KUP Jadi RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan, Ini yang Disepakati.

Baca Juga:
Begini Penjelasan DJP terkait Pembayaran via QRIS dan Aturan PPN-nya

Selain 2 topik di atas, berikut adalah isu terpopuler lain dalam sepekan terakhir yang sayang untuk dilewatkan:

1. Dapat SP2DK dari Kantor Pajak? DJP: Jangan Khawatir
Ditjen Pajak (DJP) meminta wajib pajak tidak khawatir bila mendapatkan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK).

DJP mengatakan SP2DK diterbitkan karena ada dugaan belum terpenuhinya kewajiban pajak. Dengan demikian, wajib pajak bisa melakukan pembetulan data sesuai dengan undang-undang perpajakan yang berlaku.

Baca Juga:
Coretax Diterapkan 2025, DJP Online akan secara Bertahap Digantikan

"#KawanPajak pernah mendapatkan SP2DK dari kantor pajak? Jika sudah, jangan khawatir, #KawanPajak bisa langsung menghubungi kantor pajak penerbit SP2DK untuk mengonfirmasi surat tersebut ya,” tulis DJP.

Kantor pelayanan pajak (KPP) mengirimkan SP2DK melalui pos, jasa ekspedisi, atau faksimile kepada wajib pajak. KPP juga dapat menyampaikan SP2DK secara langsung melalui kunjungan (visit) atau melalui daring (video conference).

Setelah menerima SP2DK, wajib pajak diminta untuk mengecek kesesuaian data atau keterangan yang diberikan dengan kondisi sebenarnya. Jika memerlukan informasi lebih lanjut, wajib pajak dapat menghubungi kontak account representative (AR) yang disediakan.

Baca Juga:
Keterangan Tertulis DJP soal Penyesuaian Tarif PPN, Unduh di Sini

Setelah itu, wajib pajak diminta untuk menyampaikan tanggapan atas SP2DK yang telah diterbitkan. Wajib pajak diberikan 2 pilihan untuk memberikan tanggapan tersebut, yakni secara langsung atau tertulis.

Jika membutuhkan pelayanan perpajakan dari KPP, wajib pajak dapat mendapatkannya melalui telepon dan/atau surat elektronik (email) KPP. Daftarnya dapat dilihat langsung pada laman www.pajak.go.id/unit-kerja.

2. Ditjen Pajak Terbitkan Surat Edaran Soal Prosedur Persetujuan Bersama
DJP menerbitkan ketentuan baru mengenai petunjuk teknis pelaksanaan prosedur persetujuan bersama melalui Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-49/PJ/2021.

Baca Juga:
Tunjuk Kuasa WP, Konsultan Pajak Harus Terdaftar di DJP dan SIKOP

Beleid baru tersebut diterbitkan untuk mengefektifkan dan mengefisiensikan penerapan Peraturan Menteri Keuangan No. 49/2021 dan Peraturan Dirjen Pajak No. 16/2020 yang mengatur tata cara persetujuan bersama serta tindak lanjut penyelesaian persetujuan bersama.

"Surat edaran ini bertujuan untuk mewujudkan tata kelola yang baik dalam penanganan permintaan MAP agar ditindaklanjuti dengan tepat dan dalam jangka waktu yang telah ditentukan," bunyi bagian tujuan SE-49/PJ/2021.

Pada huruf E, dijelaskan prosedur persetujuan bersama (mutual agreement procedure/MAP) adalah prosedur administrasi yang diatur dalam persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B) untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan P3B.

Baca Juga:
Jelang Peluncuran, Sri Mulyani Cek Staf yang Lembur Selesaikan Coretax

Untuk diketahui, wajib pajak dalam negeri (WPDN), WNI, dan otoritas pajak mitra P3B dapat mengajukan permintaan MAP ke DJP apabila terjadi perlakuan perpajakan oleh otoritas pajak mitra P3B yang tidak sesuai ketentuan P3B.

3. UMKM Tidak Lagi Pakai PPh Final, Tantangan Ini Perlu Diatasi Bersama
Kewajiban penyelenggaraan pembukuan menjadi salah satu tantangan yang perlu diantisipasi wajib pajak usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) saat beralih menggunakan ketentuan umum pajak penghasilan penghasilan (PPh).

Researcher DDTC Fiscal Research Hamida Amri Safarina mengatakan selama ini, sebagian besar pelaku UMKM di Tanah Air masih mengalami masalah dalam penyusunan akuntansi dan laporan keuangan. Kerja sama antarpihak dibutuhkan untuk mengatasi tantangan agar UMKM bisa berkembang atau naik kelas.

Baca Juga:
DJP Tegaskan Threshold PPh Final UMKM dan PKP Tetap Rp4,8 Miliar

"Kolaborasi antarpihak menjadi krusial agar UMKM mendapatkan kepastian, kemudahan, dan kesederhanaan dalam administrasi pajak. Dengan demikian, cost of compliance yang dikeluarkan tetap rendah," ujarnya.

Dalam upaya ini, Ditjen Pajak (DJP), Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), serta Kementerian Koperasi dan UKM telah berkolaborasi dan merilis beberapa program yang mempermudah UMKM. Kemudahan mulai dari penyusunan laporan keuangan hingga pemenuhan kewajiban perpajakan.

Kolaborasi itu menghasilkan adanya Standar Akuntansi Keuangan Entitas Mikro Kecil Menengah (SAK EMKM) dan aplikasi Lamikro. Melalui SAK EMKM, penyusunan laporan keuangan dilakukan menggunakan dasar akrual yang dirancang dengan sangat sederhana sehingga memudahkan UMKM untuk menghitung pajaknya.

Baca Juga:
Lengkap, 17 Poin Keterangan Tertulis DJP Hari Ini Soal PPN 12%

4. Pegawai Kantor Pajak Terjun Lapangan, Ini yang Masyarakat Perlu Tahu
DJP mengimbau masyarakat tak khawatir terkait mulai intensnya petugas yang turun ke lapangan. Ditjen Pajak, melalui seluruh KPP, memang mengutus pegawainya untuk melakukan kunjungan langsung atau visit kepada wajib pajak di daerah.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Neilmadrin Noor menyampaikan kunjungan langsung atau visit bukan proses bisnis baru yang dilakukan DJP. Dia menyampaikan makin seringnya petugas terjun ke lapangan merupakan bagian dari perubahan cara kerja pada level KPP Pratama dengan pengawasan berbasis kewilayahan.

Neilmaldrin menyampaikan kunjungan langsung petugas kantor pajak tidak hanya sebatas pada tempat tinggal atau lokasi usaha wajib pajak. Kunjungan juga bisa dilakukan pada tempat lain yang dianggap memiliki kaitan dengan aktivitas usaha wajib pajak.

Baca Juga:
PPN Tetap Naik Jadi 12% Per Januari 2025, PPh Final UMKM Diperpanjang

Dia memastikan proses bisnis pegawai yang terjun ke lapangan dilakukan dalam koridor aturan yang berlaku. Wajib pajak dapat meminta surat tugas jika mendapatkan kunjungan dari pegawai pajak sebagai bukti pelaksanaan tugas dalam lingkup pekerjaan.

"Setiap kegiatan visit, tim visit yang ditugaskan harus dibekali surat tugas dari unit kerja asalnya," terangnya.

5. NIK dan NPWP Penerima Layanan Bakal Dipakai untuk Kepentingan Pajak
Data NIK dan NPWP akan dimanfaatkan untuk berbagai tujuan seperti kepentingan perpajakan dan pencegahan tindak pidana pencucian uang.

Baca Juga:
World Bank: Pemeriksaan DJP Belum Efektif dalam Lacak Pengelakan Pajak

Merujuk pada Pasal 10 ayat (1) Perpres 83/2021, data penerima layanan yang telah dilengkapi NIK dan NPWP dan telah tervalidasi juga bisa digunakan untuk pencegahan korupsi, pemutakhiran data identitas dalam data kependudukan, dan tujuan-tujuan lainnya.

"Pembagipakaian dan pemanfaatan data penerima layanan ... dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," bunyi Pasal 10 ayat (2) Perpres 83/2021, dikutip pada Kamis (30/9/2021).

6. Setuju dengan Pajak Karbon? Sampaikan Pendapat Anda, Rebut Hadiahnya!
DDTCNews kembali menggelar Debat Pajak. Topik yang diangkat kali ini berkaitan dengan pajak karbon.

Baca Juga:
Ibu-Ibu Ramai Daftar NPWP, Ternyata Syarat Tender Makan Siang Gratis

Anda bisa berpartisipasi dengan klik judul di atas. Sebanyak 2 pembaca DDTCNews yang memberikan komentar terbaik dan telah menjawab beberapa pertanyaan survei akan berkesempatan terpilih untuk mendapatkan uang tunai senilai total Rp1 juta (masing-masing pemenang Rp500.000).

Tenang, pajak hadiah ditanggung penyelenggara. Penilaian akan diberikan atas komentar dan jawaban yang masuk sampai dengan Senin, 11 Oktober 2021 pukul 15.00 WIB. Pengumuman pemenang akan disampaikan pada Kamis, 14 Oktober 2021. (sap)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

07 Oktober 2021 | 09:50 WIB

Pemanfaatan NIK sbagai dokumen untuk memenuhi kewajiban pajak sangat diperlukan, karena tidak semua orang mau mendaftarkan serta membuat NPWP. Hal ini akan mempermudah penjaringan data WP oleh DJP

ARTIKEL TERKAIT
Jumat, 27 Desember 2024 | 15:30 WIB LAPORAN TAHUNAN DJP 2023

Rata-Rata Waktu Penyelesaian Pengaduan Perpajakan di DJP Capai 9 Hari

Jumat, 27 Desember 2024 | 09:07 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Coretax Diterapkan 1 Januari 2025, PKP Perlu Ajukan Sertel Baru

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:30 WIB CORETAX SYSTEM

Jelang Coretax Diterapkan, PKP Bakal Perlu Bikin Sertel Baru

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

BERITA PILIHAN
Sabtu, 28 Desember 2024 | 09:30 WIB KILAS BALIK 2024

Mei 2024: Fitur e-Bupot Diperbarui, Insentif Perpajakan di IKN Dirilis

Sabtu, 28 Desember 2024 | 09:00 WIB LAPORAN TAHUNAN DJP 2023

DJP Sampaikan 491 Laporan Gratifikasi di 2023, Nilainya Rp691,8 Miliar

Sabtu, 28 Desember 2024 | 08:00 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN

DJBC Kembangkan Aplikasi CEISALite, Hanya Aktif Jika Hal Ini Terjadi

Sabtu, 28 Desember 2024 | 07:30 WIB TIPS PAJAK

Cara Login Aplikasi Coretax DJP

Jumat, 27 Desember 2024 | 19:00 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN

NIB Pelaku Usaha Bisa Berlaku Jadi ‘Kunci’ Akses Kepabeanan, Apa Itu?

Jumat, 27 Desember 2024 | 17:30 WIB KANWIL DJP JAKARTA SELATAN I

Tak Setor PPN Rp679 Juta, Direktur Perusahaan Dijemput Paksa

Jumat, 27 Desember 2024 | 17:00 WIB KILAS BALIK 2024

April 2024: WP Terpilih Ikut Uji Coba Coretax, Bonus Pegawai Kena TER

Jumat, 27 Desember 2024 | 16:45 WIB KEBIJAKAN MONETER

2025, BI Beli SBN di Pasar Sekunder dan Debt Switch dengan Pemerintah

Jumat, 27 Desember 2024 | 16:30 WIB KABUPATEN KUDUS

Ditopang Pajak Penerangan Jalan dan PBB-P2, Pajak Daerah Tembus Target