REVISI UU KUP

Ini Risiko yang Perlu Diwaspadai dari Pengenaan Pajak Karbon

Redaksi DDTCNews | Sabtu, 17 Juli 2021 | 15:05 WIB
Ini Risiko yang Perlu Diwaspadai dari Pengenaan Pajak Karbon

Partner of Tax Research and Training Services DDTC B. Bawono Kristiaji memaparkan materi dalam National Tax Summit bertajuk Optimalisasi Kebijakan dan Perluasan Basis Pajak dalam Rangka Meningkatkan Penerimaan Negara yang digelar PKN STAN, Sabtu (17/7/2021). (tangkapan layar Youtube)

JAKARTA, DDTCNews – Risiko mobilitas investasi dan faktor produksi menjadi aspek yang perlu diwaspadai dari penerapan pajak karbon.

Partner of Tax Research and Training Services DDTC B. Bawono Kristiaji mengatakan tidak adanya keseragaman penerapan atau koordinasi antarnegara dalam penerapan pajak karbon menjadi pemicunya. Selain itu, setiap negara juga memiliki kedaulatan fiskalnya masing-masing.

Kondisi tersebut pada gilirannya memunculkan risiko carbon leakage. Apalagi, pajak karbon akan berpengaruh pada struktur biaya suatu perusahaan karena emisi karbon berkaitan dengan bahan baku atau energi yang digunakan.

Baca Juga:
Perdana Menteri Kanada Serukan Pengenaan Pajak Karbon Global

“Inilah yang bisa saja membuat pemikiran-pemikiran adanya perpindahan investasi dan sebagainya,” ujar Bawono dalam National Tax Summit bertajuk Optimalisasi Kebijakan dan Perluasan Basis Pajak dalam Rangka Meningkatkan Penerimaan Negara yang digelar PKN STAN, Sabtu (17/7/2021).

Bawono mengatakan risiko perpindahan investasi juga masih ada meskipun semua negara sudah sepakat mengenakan pajak karbon. Risiko ini muncul ketika ada negara yang mengenakan pajak karbon dengan tarif yang lebih rendah.

Terkait dengan risiko ini, menurutnya, isu ketersediaan energi terbarukan harus diperhatikan. Dengan demikian, pengenaan pajak karbon juga dibarengi dengan penyediaan energi penggantinya yang lebih ramah lingkungan. Kebijakan insentif pajak, seperti tax allowance, juga dapat dimanfaatkan.

Baca Juga:
Rencana Pengenaan PPh Minimum Perusahaan Rugi Dibatalkan dalam RUU HPP

Selain isu ketersediaan energi, Bawono juga menekankan perlunya harmonisasi dengan pajak daerah, khususnya pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB). Apalagi, pemerintah dan DPR juga sedang membahas RUU Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD).

Dari aspek internasional, ada isu mengenai carbon trade dan multilateral carbon tax. Selain itu, karena karbon sebagai barang tidak berwujud, pengawasannya juga tidak mudah.

“Untuk mencegah carbon leakage, beberapa literatur terkini sudah membicarakan bagaimana multilateral carbon tax dan tax treaty untuk karbon. Mungkin kita akan menyaksikan sejarah. Ini menjadi starting point pembahasan di tingkat internasional,” jelasnya.

Baca Juga:
Urgensi Revisi UU KUP dalam Upaya Konsolidasi Fiskal 2023

Dalam kesempatan tersebut, Bawono juga menjabarkan 7 justifikasi pengenaan pajak karbon, khususnya di Indonesia. Pertama, pengenaan pajak karbon sebagai solusi mitigasi iklim sekaligus penerimaan baru pascapandemi Covid-19.

Kedua, berdasarkan pada BP Statistical Review of World Energy (2019), Indonesia sebagai salah satu dari 20 negara penghasil emisi karbon terbesar di dunia. Ketiga, gap pembiayaan perubahan iklim yang membutuhkan Rp266,2 triliun per tahun

Keempat, selaras dengan tren Internasional. Setidaknya ada 25 negara yang telah menerapkan pajak karbon. Pengenaan pajak karbon juga untuk mewujudkan komitmen dari Paris Agreement. Kelima, komitmen menurunkan gas rumah kaca (GRK) hingga 29% sesuai dengan UU No 16 Tahun 2016.

Baca Juga:
Asosiasi Pengapalan Usulkan Skema Pengenaan Pajak Karbon Global ke PBB

Keenam, pajak karbon pro terhadap kesejahteraan masyarakat miskin yang relatif rawan terdampak perubahan iklim. Ketujuh, sumber investasi energi ramah lingkungan dan terbarukan diperlukan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan.

Terkait dengan desain pajak karbon, Bawono memaparkan ada beberapa aspek yang diperlu diperhatikan. Pertama, polluters pays principle. Kedua, ruang lingkup yang selaras dengan ruang lingkup kerusakan lingkungan.

Ketiga, tarif sepadan dengan kerusakan lingkungan. Keempat, berkepastian dan dapat diprediksi sehingga memotivasi perbaikan lingkungan. Kelima, peran dalam konsolidasi fiskal atau mengurangi ketergantungan pos pajak lainnya. Keenam, distributional impact.

Baca Juga:
Kurangi Tax Gap PPN, Begini Saran Pakar Pajak

Bawono menjelaskan pula adanya tantangan dalam pengenaan pajak karbon. Salah satunya adalah tidak ada batasan tertinggi emisi yang bisa dihasilkan. Artinya, selama yang dikenai pajak karbon masih bisa membayar, emisi berapapun tidak masalah.

“Ini menimbulkan pertanyaan tentang efektivitasnya dalam mencegah kerusakan lingkungan,” katanya.

Dalam acara tersebut, Bawono juga menjabarkan materi mengenai rencana perluasan objek cukai yang masuk dalam rancangan revisi UU KUP. Bagaimanapun, Indonesia merupakan negara dengan objek cukai yang sangat terbatas dan berada di bawah rata-rata global.

Bawono mengatakan pada dasarnya pajak berbasis konsumsi relatif stabil di saat krisis dan cepat pulih pada pascakrisis. Pajak ini juga relatif tidak mendistorsi ekonomi. Sejumlah ulasan mengenai materi perubahan dalam revisi UU KUP dapat disimak di sini. (kaw)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Kamis, 28 November 2024 | 16:00 WIB PAJAK KARBON

OECD Dorong Indonesia Segera Terapkan Pajak Karbon

Sabtu, 23 November 2024 | 09:30 WIB THAILAND

Thailand Minta Pengusaha Siap-Siap, Pajak Karbon segera Berlaku

Kamis, 21 November 2024 | 11:47 WIB KTT G-20 BRASIL

Prabowo Tagih Kredit Karbon Negara Maju, Tawarkan Carbon Storage

BERITA PILIHAN
Kamis, 26 Desember 2024 | 14:30 WIB KPP PRATAMA BENGKULU SATU

Mobil Rp200 Juta Disita KPP, Bakal Dilelang Kalau Utang Tak Dilunasi

Kamis, 26 Desember 2024 | 14:00 WIB KILAS BALIK 2024

Februari 2024: Wajib Pajak Bereaksi karena Potongan PPh 21 Lebih Besar

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:30 WIB CORETAX SYSTEM

Jelang Coretax Diterapkan, PKP Bakal Perlu Bikin Sertel Baru

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:00 WIB PROVINSI JAWA TIMUR

Opsen Berlaku 2025, Pemprov Turunkan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan

Kamis, 26 Desember 2024 | 12:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

PKP Risiko Rendah Diterbitkan SKPKB, Kena Sanksi Kenaikan atau Bunga?

Kamis, 26 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK DAERAH

9 Jenis Pajak Daerah Terbaru yang Ditetapkan Pemkot Sibolga

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:30 WIB KILAS BALIK 2024

Januari 2024: Ketentuan Tarif Efektif PPh Pasal 21 Mulai Berlaku

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Kredit Investasi Padat Karya Diluncurkan, Plafonnya Capai Rp10 Miliar

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:30 WIB PENGAWASAN BEA CUKAI

Libur Natal dan Tahun Baru, Bea Cukai Perketat Pengawasan di Perairan

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:00 WIB CORETAX SYSTEM

Fitur Coretax yang Tersedia selama Praimplementasi Terbatas, Apa Saja?