Rinasih
,PANDEMI Covid-19 memaksa pemerintah di banyak negara, termasuk Indonesia, menjalankan kebijakan countercyclical.
Melalui UU No. 2/2020, pemerintah telah menetapkan kebijakan pelebaran defisit anggaran yang melebihi 3% dari produk domestik bruto (PDB) hingga 2022. Pemerintah berkomitmen untuk kembali menerapkan defisit maksimal 3% PDB sesuai amanat UU Nomor 17 Tahun 2003 mulai 2023.
Namun, melihat kondisi pandemi Covid-19 yang masih melanda hingga saat ini dan belum diketahui ujungnya, apakah target konsolidasi fiscal pada 2023 tetap harus dijalankan?
Ada 2 hal yang dipertaruhkan jika pemerintah tidak bisa malaksanakan konsolidasi fiskal 2023, yaitu kredibilitas fiskal dan kesinambungan fiskal. Turunnya kredibilitas fiskal akan berdampak negatif terhadap perekonomian dan dunia usaha, terutama terkait dengan kepercayaan.
Selanjutnya, kesinambungan fiskal tentu sangat krusial. Jika defisit terus melebar, penambahan utang tidak akan terhindarkan. Pembayaran pokok serta bunga utang juga akan membebani APBN. Apalagi, realisasi pembayaran bunga utang pada 2020 telah mencapai Rp314,1 triliun atau sekitar 12,13% dari total realisasi belanja dalam APBN 2020 (Kementerian Keuangan, 2021).
Porsi tersebut sudah cukup tinggi. Kita semua tentunya tidak ingin berlama-lama menambah utang. Kita juga tidak ingin kebangkrutan atau risiko gagal bayar utang terjadi seperti yang pernah dialami Yunani, Argentina, Zimbabwe, Venezuela, dan Ekuador.
Untuk mencapai konsolidasi fiskal tersebut, pemerintah bisa memilih antara pengurangan belanja dan penambahan pendapatan negara. Pengurangan belanja tentu bukan sebuah opsi yang patut diambil pada masa seperti ini.
Saat ini, hanya pemerintah yang memiliki sumber daya untuk menggerakkan perekonomian. Ketakpastian ekonomi telah memaksa pihak swasta untuk menahan diri. Selain itu, belanja untuk penanganan pandemi dan perlindungan sosial mutlak harus dilaksanakan dan diutamakan.
Oleh sebab itu, satu-satunya jalan yang harus ditempuh pemerintah adalah memenuhi komitmen konsolidasi fiskal 2023 dengan meningkatkan pendapatan negara, terutama pajak. Apalagi, pendapatan negara kita bertumpu kepada penerimaan pajak.
Namun demikian, upaya untuk menggenjot pajak pada masa pandemi bukanlah hal yang mudah. Jika kurang berhati-hati, pemerintah akan dituding tidak berempati kepada rakyat, bahkan menindas rakyat yang sedang terimpit kesulitan.
RUU KUP
KABAR baiknya, pemerintah sudah mengajukan proposal perubahan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) kepada DPR. Pada mulanya, revisi UU KUP ini tidak dimaksudkan untuk mengatasi pandemi Covid-19, tetapi bagian dari Reformasi Perpajakan Jilid III yang telah digulirkan sejak 2017.
Namun demikian, urgensi untuk menerapkan kebijakan-kebijakan baru dalam UU KUP saat ini makin meningkat. Bisa dikatakan pula revisi UU KUP akan menjadi pijakan agar pemerintah bisa mewujudkan konsolidasi fiskal pada 2023.
Ibarat menaiki anak tangga, ada dua cara untuk mencapai titik yang dituju, yaitu dengan menaiki anak tangga satu per satu atau melompat dan melewati beberapa anak tangga sekaligus. Penerapan revisi UU KUP untuk mencapai konsolidasi fiskal tepat waktu juga dapat dilakukan dengan dua skema.
Pertama, segera disahkan dan segera diterapkan sehingga peningkatan penerimaan pajak untuk mengurangi defisit dapat dilakukan bertahap sebelum 2023. Kedua, penerapan revisi UU KUP menunggu kondisi ekonomi menguat dan lebih stabil untuk menghindari gejolak penolakan dari masyarakat.
Pada skema pertama, ada risiko resistensi dari masyarakat. Pada skema kedua, terdapat risiko ketakpastian menunggu waktu kondisi ekonomi akan membaik dan belum tentu penerimaan pajak dapat ditingkatkan dengan seketika untuk mengembalikan defisit maksimal 3%.
Dengan analogi sebelumnya, untuk melompat, dibutuhkan pijakan dan lompatan yang kuat. Jika tidak, kita akan terjatuh sebelum mendarat di tujuan. Dari risiko-risiko tersebut, resistensi masyarakat sepertinya lebih dapat dimitigasi daripada mempertaruhkan kegagalan menjaga kredibilitas dan sustainabilitas fiskal.
Oleh karena itu, pemerintah menjalankan skema yang pertama untuk mencapai konsolidasi fiskal 2023. Selain melakukan percepatan pembahasan, langkah yang harus dilaksanakan adalah membangun narasi positif pentingnya kebijakan untuk menyelamatkan keuangan negara.
Pertama, masyarakat harus tahu pentingnya konsolidasi fiskal 2023 untuk menghindari risiko kredibilitas dan kesinambungan APBN. Jika konsolidasi fiskal tidak segera dilaksanakan, dampak jangka menengah dan panjang akan makin berat.
Kedua, pemerintah harus menjabarkan manfaat yang dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat atas peningkatan penerimaan pajak. Misalnya, pemerintah akan memiliki ruang fiskal yang lebih luas untuk membantu masyarakat miskin dan rentan.
Ketiga, pemerintah perlu meyakinkan masyarakat bahwa peningkatan pajak akan dibebankan kepada mereka yang memang pantas untuk membayar pajak lebih tinggi dari sebelumnya. Sebagai contoh, pokok-pokok yang diatur dalam revisi UU KUP terkait dengan pajak penghasilan (PPh) antara lain pengaturan fringe benefit, penambahan lapisan tarif tertinggi PPh wajib pajak orang pribadi, dan penerapan alternative minimum tax (AMT).
Kebijakan-kebijakan tersebut adalah untuk menagih pajak kepada pihak dengan kapasitas ekonomi dan kemampuan untuk membayar pajak lebih dari nilai yang selama ini dibayarkan.
Menggenjot penerimaan pajak pada saat ekonomi sedang sulit seperti ini memang seperti menelan pil pahit. Akan tetapi, langkah ini harus dilakukan dan tidak boleh ditunda-tunda agar APBN dapat kembali sehat pada 2023.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Keren, tulisannya bernas dan berbobot