RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa atas Koreksi DPP PPN yang Kurang Dibayar

Abiyoga Sidhi Wiyanto | Jumat, 20 Desember 2024 | 19:00 WIB
Sengketa atas Koreksi DPP PPN yang Kurang Dibayar

Ilustrasi.

RESUME Putusan Peninjauan Kembali ini merangkum sengketa terkait dengan koreksi positif dasar pengenaan pajak (DPP) PPN atas penyerahan BKP yang belum dilaporkan.

Otoritas pajak berpendapat bahwa terdapat PPN yang masih kurang dibayar atas peredaran usaha wajib pajak. Hal tersebut berawal dari adanya ekualisasi peredaran usaha dari PPh badan dan PPN. Oleh karena itu, otoritas pajak melakukan koreksi terhadap DPP PPN wajib pajak.

Sebaliknya, wajib pajak berpendapat bahwa pihaknya telah melaporkan seluruh PPN untuk masa Januari hingga Desember 2008 dengan benar. Dalam hal ini, wajib pajak juga telah menyampaikan seluruh bukti dan fakta yang ada. Dengan demikian, koreksi yang dilakukan otoritas pajak tidak dapat dibenarkan.

Baca Juga:
Sempat Menolak, PDIP Kini Berbalik Dukung PPN 12 Persen

Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Kemudian, pada tingkat PK, Mahkamah Agung menolak Permohonan PK yang diajukan oleh otoritas pajak.

Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan DDTC.

Kronologi

Wajib pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis hakim Pengadilan Pajak berpendapat atas koreksi DPP PPN yang ditetapkan oleh otoritas pajak tidak tepat.

Baca Juga:
Hingga November, Kanwil DJP Jakbar Kumpulkan Pajak Rp57,67 Triliun

Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Selanjutnya, dengan diterbitkannya Putusan Pengadilan Pajak No. Put. 54014/PP/M.VIB/16/2014 tanggal 11 Juli 2014, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak Pada 21 Oktober 2014.

Pokok sengketa dalam perkara ini adalah koreksi dasar pengenaan pajak (DPP) PPN Masa Pajak Januari hingga Desember 2008 sebesar Rp1.097.768.351 yang harus dipungut sendiri oleh wajib pajak yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Pendapat Pihak Yang Bersengketa

PEMOHON PK selaku otoritas pajak menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Dalam perkara ini, koreksi DPP PPN dilakukan karena adanya ekualisasi antara peredaran usaha pada PPh Badan dan PPN Termohon PK.

Baca Juga:
Banyak Sengketa Pilkada, Uji Materiil UU KUP-Pengadilan Pajak Tertunda

Hal tersebut menjadi dasar bagi Pemohon PK melakukan koreksi DPP PPN yang harus dipungut sendiri oleh Termohon PK. Kemudian, Pemohon PK melakukan penelitian kembali dengan metode pengujian arus piutang dengan mutasi kredit rekening koran milik Termohon PK.

Pemohon PK melakukan pengujian tersebut dengan membandingkan data dan informasi berupa faktur pajak, rekening koran, bukti penerimaan dan pengeluaran bank, kuitansi, dan memo bagian keuangan. Berdasarkan pengujian tersebut, Pemohon PK menemukan adanya DPP PPN yang belum dilaporkan dan terutang PPN.

Atas pengujian yang dilakukan, Pemohon PK memperoleh beberapa informasi dan fakta sebagai berikut. Pertama, diketahui terdapat aliran uang berupa kelebihan pembayaran yang hanya didukung oleh bukti internal berbentuk memo bagian keuangan, dan tidak didukung dengan bukti eksternal. Kedua, adanya arus kas masuk dari PT B yang dianggap sebagai pinjaman oleh Termohon PK, tetapi tidak ditemukan bukti perjanjian sebagaimana umumnya utang piutang.

Baca Juga:
Catat! Hari Ini Batas Permohonan SKB PPN yang Dimanfaatkan untuk 2024

Ketiga, Pemohon PK menemukan bahwa bukti yang disampaikan oleh Termohon PK pada saat persidangan tidak pernah disampaikan pada proses pemeriksaan maupun keberatan. Oleh karena itu, bukti berupa data, informasi, atau keterangan lain seharusnya tidak dipertimbangkan dalam proses persidangan banding.

Hal itu sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 26A ayat (4) UU KUP yang menyatakan bahwa wajib pajak yang mengungkapkan pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dalam proses keberatan yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan, tidak dipertimbangkan dalam keberatannya. Namun demikian, hal tersebut tidak berlaku apabila data dan informasi pada saat pemeriksaan belum diperoleh wajib pajak dari pihak ketiga.

Pemohon PK berpendapat, putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak dibuat tanpa pertimbangan yang cukup dan bertentangan dengan fakta yang ada. Dengan demikian, Putusan Pengadilan Pajak No. Put. 54014/PP/M.VIB/16/2014 tanggal 11 Juli 2014 harus dibatalkan.

Baca Juga:
Coretax Berlaku 2025, DJP Online Tetap Bisa Digunakan Sementara

Sebaliknya, Termohon PK menyatakan tidak setuju atas koreksi DPP PPN yang dilakukan oleh Pemohon PK. Pertama, terkait koreksi peredaran usaha, Termohon PK menilai bahwa selisih tersebut berasal dari penerimaan bonus penjualan bagi pelanggan Termohon PK.

Untuk diketahui, Termohon PK selaku distributor dari PT A melakukan penjualan kepada penjual (selanjutnya disebut Pihak X). Kemudian, Pihak X akan menjual barang yang dimaksud kepada konsumen akhir.

Apabila Pihak X dapat menjual barang melebihi target maka Pihak X akan mendapatkan bonus dari PT A. Alur pemberian bonusnya ialah dari PT A diberikan ke Termohon PK selaku perantara. Kemudian, Termohon PK menyalurkannya ke Pihak X.

Baca Juga:
DJP Sebut Top-up e-Money Juga Bakal Kena PPN 12 Persen Tahun Depan

Kedua, berkaitan dengan temuan Pemohon PK mengenai adanya kas masuk berupa kelebihan pembayaran dari CV B, Termohon PK menyatakan bahwa belum terjadi pengiriman barang hingga akhir 2008. Menurut Termohon PK, barang tersebut baru akan dikirim pada masa pajak Januari 2009.

Oleh sebab itu, kelebihan pembayaran tersebut seharusnya diperhitungkan sebagai DPP PPN untuk masa pajak Januari 2009. Atas kelebihan pembayaran tersebut, Termohon PK telah melampirkan bukti pendukung berupa informasi pengiriman barang yang akan dilakukan.

Ketiga, atas arus kas masuk yang dianggap sebagai pinjaman dari PT C, Termohon PK menilai bahwa hal tersebut timbul karena adanya mis-match cash flow. Situasi tersebut menyebabkan seakan-akan terjadi pinjaman oleh Termohon PK.

Baca Juga:
Ada Kenaikan Tarif PPN, DJP Tetap Optimalkan Penerimaan Tahun Depan

Selain itu, Termohon PK menganggap bahwa kas masuk tersebut tidak dapat dianggap sebagai DPP PPN karena bukan merupakan hasil peredaran usaha, melainkan kondisi sementara akibat ketidaksesuaian cash flow.

Lebih lanjut, Termohon PK menyatakan bahwa pengujian arus piutang dengan mutasi kredit dari rekening koran yang dilakukan oleh Pemohon PK terdapat kesalahan input sehingga tidak valid. Berdasarkan uraian di atas, koreksi yang dilakukan oleh Pemohon PK untuk masa pajak Januari hingga Desember 2008 tidak dapat dipertahankan.

Pertimbangan Mahkamah Agung

Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan-alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan. Adapun putusan Pengadilan Pajak No. Put 54014/PP/M.VIB/16/2014 yang menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan banding sudah benar. Terdapat 3 pertimbangan hukum Mahkamah Agung sebagai berikut.

Baca Juga:
Pelayanan Kesehatan Medis Bebas PPN Indonesia, Bagaimana di Asean?

Pertama, alasan-alasan permohonan Pemohon PK tentang koreksi DPP atas penyerahan BKP yang PPN nya harus dipungut sendiri sebesar Rp1.097.768.351 tidak dapat dibenarkan. Dalam kasus ini, dalil yang diajukan oleh Pemohon PK tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan bukti yang terungkap dalam persidangan.

Kedua, Mahkamah Agung menilai bahwa penggunaan metode uji arus piutang dengan memanfaatkan mutasi kredit dari rekening koran tidak dapat dinyatakan valid. Dalam hal ini, Pemohon PK terbukti telah melakukan kesalahan input baik dalam pencatatan maupun penyalinan angka general ledger dalam menggunakan metode tersebut.

Ketiga, tidak terdapat putusan Pengadilan Pajak yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 91 huruf e UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.

Berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan PK yang diajukan oleh Pemohon PK tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan demikian, Pemohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara. (sap)

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Selasa, 24 Desember 2024 | 19:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Sempat Menolak, PDIP Kini Berbalik Dukung PPN 12 Persen

Selasa, 24 Desember 2024 | 18:00 WIB KANWIL DJP JAKARTA BARAT

Hingga November, Kanwil DJP Jakbar Kumpulkan Pajak Rp57,67 Triliun

Selasa, 24 Desember 2024 | 11:30 WIB MAHKAMAH KONSTITUSI

Banyak Sengketa Pilkada, Uji Materiil UU KUP-Pengadilan Pajak Tertunda

Selasa, 24 Desember 2024 | 10:43 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Catat! Hari Ini Batas Permohonan SKB PPN yang Dimanfaatkan untuk 2024

BERITA PILIHAN
Selasa, 24 Desember 2024 | 21:30 WIB CORETAX SYSTEM

Simak! Keterangan Resmi DJP Soal Tahapan Praimplementasi Coretax

Selasa, 24 Desember 2024 | 19:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Sempat Menolak, PDIP Kini Berbalik Dukung PPN 12 Persen

Selasa, 24 Desember 2024 | 18:00 WIB KANWIL DJP JAKARTA BARAT

Hingga November, Kanwil DJP Jakbar Kumpulkan Pajak Rp57,67 Triliun

Selasa, 24 Desember 2024 | 17:27 WIB CORETAX SYSTEM

WP Bisa Akses Aplikasi Coretax Mulai Hari Ini, Fiturnya Masih Terbatas

Selasa, 24 Desember 2024 | 17:00 WIB PMK 81/2024

Ini Aturan Terbaru Pengkreditan Pajak Masukan Sebelum Pengukuhan PKP

Selasa, 24 Desember 2024 | 16:30 WIB PROVINSI SUMATERA SELATAN

Realisasi Pajak Rokok di Sumsel Tak Capai Target, Ini Penyebabnya

Selasa, 24 Desember 2024 | 16:00 WIB CORETAX SYSTEM

Nanti Ada Coretax, Masih Perlu Ajukan Sertifikat Elektronik?

Selasa, 24 Desember 2024 | 15:00 WIB KPP PRATAMA KOSAMBI

Utang Pajak Rp632 Juta Tak Dilunasi, Mobil WP Akhirnya Disita KPP