Ketua DPD AA Lanyalla Mahmud Mattalitti.
JAKARTA, DDTCNews – Ketua DPD AA Lanyalla Mahmud Mattalitti menilai upaya pemerintah untuk mengurangi kesenjangan pembangunan infrastruktur antara Jawa dan luar Jawa masih belum menjawab persoalan fundamental yang dirasakan oleh masyarakat.
Lanyalla mengatakan dirinya telah melakukan kunjungan kerja ke 34 provinsi dan 300 kabupaten/kota di Indonesia. Hal itu dilakukan agar DPD dapat melihat dan merasakan, serta mendengar langsung, apa yang disuarakan masyarakat di daerah.
“Tapi kami masih menemukan fakta, isu fundamental yang dirasakan masyarakat, yaitu ketidakadilan yang dirasakan masyarakat dan kemiskinan struktural yang sulit dientaskan oleh pemerintah daerah,” katanya dalam sidang bersama DPD/DPR, Rabu (16/8/2023).
Lanyalla mengapresiasi upaya-upaya pemerintah yang menempuh jalan dengan pemberian bermacam bantuan, seperti bantalan sosial, dalam upaya pengentasan kemiskinan, termasuk melalui puluhan program kementerian dan badan.
Namun, program yang bersifat karitatif dan kuratif tersebut hanya mengobati gejala dari suatu penyakit yang sesungguhnya. Menurutnya, isu paling mendasar Indonesia saat ini ialah kita telah kehilangan saluran dan sarana untuk membangun cita-cita bersama sebagai sebuah bangsa.
Berikut teks lengkap pidato Ketua DPD, Rabu (16/8/2023):
Saudara Presiden, Saudara Wakil Presiden, dan Sidang Dewan yang kami muliakan,
Sebagai wakil daerah, kami di DPD RI masa bakti 2019 – 2024, selama empat tahun ini, 136 anggota DPD RI dari 34 Provinsi telah mengunjungi hampir semua Kabupaten/Kota di Provinsi masing masing.
Sementara saya sendiri, selaku Ketua DPD RI, juga telah mengunjungi 34 Provinsi dan sekitar 300 Kabupaten/Kota di Indonesia. Untuk melihat dan merasakan, serta mendengar langsung, apa yang disuarakan masyarakat di daerah.
Tentu kami juga melihat dan merasakan langsung, pembangunan yang telah diupayakan secara cepat oleh pemerintah pusat, khususnya pembangunan infrastruktur, untuk menjawab kesenjangan pembangunan antara Jawa dan Luar Jawa.
Tetapi kami masih menemukan fakta, persoalan fundamental yang dirasakan oleh masyarakat. Yang bermuara kepada dua persoalan mendasar. Yaitu ketidakadilan yang dirasakan masyarakat, dan kemiskinan struktural yang sulit dientaskan oleh pemerintah daerah.
Kami tentu memberi apresiasi, atas upaya pemerintah pusat, yang menempuh jalan dengan pemberian bermacam bantuan, sebagai bantalan sosial, dalam upaya pengentasan kemiskinan, melalui puluhan program kementerian dan badan.
Tetapi sekali lagi, program yang bersifat karitatif dan kuratif tersebut, hanya mengobati gejala dari suatu penyakit yang sesungguhnya. Karena persoalan yang sesungguhnya, dan paling mendasar adalah, kita sebagai bangsa telah kehilangan saluran dan sarana untuk membangun cita-cita bersama kita sebagai sebuah bangsa.
Cita-cita bersama yang melahirkan tekad bersama, seperti yang pernah kita rasakan ketika bangsa ini mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan kita. Sehingga negara ini, saat itu mampu melewati masa sulit dan ujian demi ujian dalam mempertahankan kemerdekaan.
Tekad bersama memang hanya bisa dirajut melalui saluran dan sarana yang memberikan ruang kedaulatan kepada rakyat, sebagai pemilik negara ini. Dalam sebuah ikatan yang mampu menyatukan. Mampu memberikan rasa keadilan. Dan mampu menjawab tantangan masa depan melalui jati diri bangsa ini.
Para pendiri bangsa kita, dengan menyadari berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, melalui pikiran jernih, dan niat luhur, telah merumuskan Asas dan Sistem Bernegara yang dilandasi oleh sebuah nilai yang digali dari bumi Nusantara ini.
Nilai yang sudah ada sebelum Indonesia merdeka. Yaitu; Pancasila. Sehingga Azas dan Sistem Bernegara yang dirancang oleh para pendiri bangsa, jelas dan terang benderang berdasarkan Pancasila. Yakni sistem yang mendasarkan kepada spirit Ketuhanan.
Sistem yang memanusiakan manusia. Sistem yang merajut persatuan. Sistem yang mengutamakan musyawarah perwakilan. Dan sistem yang berorientasi kepada keadilan sosial. Inilah sistem yang sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia, bangsa yang lahir dari sejarah panjang bumi Nusantara ini.
Sayangnya, sistem tersebut belum pernah secara benar kita terapkan. Baik di era Orde Lama maupun Orde Baru. Dan lebih celaka, kita hapus dan kita kubur di era Reformasi, melalui Amandemen Konstitusi pada tahun 1999 hingga 2002 silam. Sehingga kita meninggalkan Pancasila.
Karena faktanya, berdasarkan kajian akademik yang dilakukan beberapa Profesor di sejumlah Perguruan Tinggi, ditemukan kesimpulan bahwa Undang-Undang Dasar hasil perubahan pada tahun 1999 hingga 2002 yang sekarang kita gunakan, telah meninggalkan Pancasila sebagai Norma Hukum Tertinggi.
Perubahan isi dari Pasal-Pasal dalam Konstitusi tersebut membuat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 justru menjabarkan semangat Individualisme dan Liberalisme.
Bahkan Komisi Konstitusi yang dibentuk melalui Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2002 yang bertugas melakukan kajian atas Amandemen di tahun 1999 hingga 2002 telah menyatakan; Akibat tiadanya Kerangka Acuan atau Naskah Akademik dalam melakukan perubahan Undang-Undang Dasar 1945, merupakan salah satu sebab timbulnya inkonsistensi Teoritis dan Konsep, dalam mengatur materi muatan Undang-Undang Dasar.
Ini artinya perubahan tersebut tidak dilengkapi dengan pendekatan yang menyeluruh dari sisi Filosofis, Historis, Sosiologis, Politis, Yuridis, dan Komparatif.
Oleh karena itu, kami di DPD RI menyambut baik kehendak MPR RI untuk melakukan perbaikan dan penyempurnaan sistem bernegara kita, sebagai sebuah jalan keluar untuk memberikan ruang bagi bangsa dan negara ini untuk merajut mimpi bersama, guna melahirkan tekad bersama, untuk mempercepat terwujudnya cita-cita lahirnya negara ini.
Karena bagi kami, perubahan global akan memaksa semua negara untuk semakin memperkokoh kedaulatannya sebagai sebuah negara. Terutama dalam menghadapi tantangan masa depan yang semakin kompleks dan tidak pasti serta dipenuhi dengan suasana turbulensi.
Dan untuk memperkokoh kedaulatan sebuah negara, memerlukan tekad bersama, membutuhkan kerjasama, semangat kejuangan, dan sumbangsih positif, serta keterlibatan semua elemen bangsa tanpa kecuali dan tanpa syarat.
Untuk itu, diperlukan Sistem Ketatanegaraan dan Sistem Bernegara yang lebih sempurna. Yang mampu memberi jawaban atas tantangan dan ancaman masa depan. Sebuah Sistem yang mampu mewadahi atau menjadi wadah yang utuh bagi semua elemen bangsa.
Sehingga benar-benar terwujud menjadi Penjelmaan Seluruh Rakyat. Maka, hakikat Kedaulatan Rakyat benar-benar memiliki tolok ukur yang jelas di dalam ketatanegaraan kita. Dimana pada akhirnya, bangsa ini akan semakin kuat.
Karena pemilik kedaulatan, yaitu rakyat, berhak untuk ikut menentukan Arah Perjalanan Bangsa. Sehingga pembentukan jiwa Nasionalisme dan Patriotisme seluruh rakyat akan terbangun dengan sendirinya, untuk bersama mewujudkan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Itulah Sistem Bernegara yang dirumuskan para pendiri bangsa ini. Yang kita kenal dengan nama Sistem Demokrasi Pancasila dan Sistem Ekonomi Pancasila. Sebuah sistem tersendiri. Sistem asli Indonesia. Yang tidak mengadopsi Sistem Negara manapun.
Saudara Presiden, Saudara Wakil Presiden, dan Sidang Dewan yang kami muliakan,
Perlu saya sampaikan dalam kesempatan ini, bahwa kami di DPD RI telah menerima secara langsung aspirasi terkait perlunya bangsa ini melakukan kaji ulang atas sistem bernegara yang kita terapkan saat ini.
Aspirasi tersebut datang dari sejumlah elemen bangsa. Baik dari kalangan tokoh organisasi masyarakat dan keagamaan. Para purnawirawan TNI dan Polri. Raja dan Sultan Nusantara, hingga akademisi dan mahasiswa. Semua aspirasi tersebut terdokumentasikan dengan baik di DPD RI.
Oleh karena itu, setelah menelaah dengan jernih, kami di DPD RI melalui Sidang Paripurna DPD RI pada tanggal 14 Juli 2023, DPD RI secara kelembagaan memutuskan mengambil inisiatif kenegaraan untuk membangun kesadaran kolektif kepada seluruh elemen bangsa dan negara ini, agar kita kembali menjalankan dan menerapkan Azas dan Sistem Bernegara Pancasila Sesuai Rumusan Para Pendiri Bangsa, yang disempurnakan dan diperkuat.
Penyempurnaan dan penguatan perlu dilakukan, untuk menjawab adanya anggapan bahwa sistem rumusan para pendiri bangsa kita identik dengan sistem era Orde Baru. Padahal faktanya, sistem tersebut belum pernah kita terapkan secara benar, baik di era Orde Lama maupun Orde Baru.
Sehingga penyempurnaan dan penguatan tersebut perlu dilakukan sebagai sebuah ikhtiar untuk mencegah terulangnya praktek yang tidak sempurna di masa lalu.
Berikut saya bacakan petikan keputusan Sidang Paripurna DPD RI tanggal 14 Juli 2023 terkait hal tersebut secara utuh, sebagai berikut:
“Dengan menyadari adanya studi dan kajian akademik yang menyatakan bahwa perubahan konstitusi di tahun 1999 hingga 2002, telah menghasilkan Konstitusi yang telah meninggalkan Pancasila sebagai Norma Hukum Tertinggi.
Untuk itu, sebagai kewajiban kewarganegaraan dan kewajiban kenegaraan untuk senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila, maka DPD RI berpandangan untuk mengembalikan Pancasila sebagai Norma Hukum Tertinggi Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan kembali kepada Sistem Bernegara sesuai Rumusan Pendiri Bangsa seperti termaktub di dalam Undang Undang Dasar 1945 tanggal 18 Agustus 1945, yang kemudian harus dilakukan penyempurnaan dan penguatan melalui Teknik Adendum Konstitusi.
Dimana materi Adendum dimaksud akan disiapkan secara lebih mendalam, sehingga menjadi proposal kenegaraan DPD RI demi kedaulatan rakyat yang hakiki dan percepatan terwujudnya cita cita dan tujuan lahirnya NKRI.” Demikian bunyi keputusan tersebut.
DPD RI secara khusus akan menawarkan proposal kenegaraan dengan naskah akademik penyempurnaan dan penguatan sistem tersebut, yang meliputi 5 hal pokok. Yang secara garis besar adalah:
Pertama, mengembalikan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara, sebagai sebuah sistem demokrasi yang berkecukupan. Yang menampung semua elemen bangsa. Yang menjadi penjelmaan rakyat sebagai pemilik dan pelaksana kedaulatan.
Kedua, membuka peluang adanya anggota DPR RI yang berasal dari peserta pemilu unsur perseorangan atau non-partisan. Selain dari anggota partai politik.
Sebagai bagian dari upaya untuk memastikan bahwa proses pembentukan Undang-Undang yang dilakukan DPR bersama Presiden, tidak didominasi oleh keterwakilan kelompok partai politik saja. Tetapi juga secara utuh dibahas oleh keterwakilan masyarakat non partai.
Ketiga, memastikan Utusan Daerah dan Utusan Golongan diisi melalui mekanisme pengisian dari bawah. Bukan penunjukan oleh Presiden seperti yang terjadi pada era Orde Baru. Dengan komposisi Utusan Daerah yang mengacu kepada kesejarahan wilayah yang berbasis kepada negara-negara lama dan bangsa-bangsa lama yang ada di Nusantara, yaitu para Raja dan Sultan Nusantara, serta suku dan penduduk asli Nusantara.
Sedangkan Utusan Golongan diisi oleh Organisasi Sosial Masyarakat dan Organisasi Profesi yang memiliki kesejarahan dan bobot kontribusi bagi kemajuan Ekonomi, Sosial, Budaya, Pertahanan Keamanan dan Agama bagi Indonesia.
Keempat, memberikan kewenangan kepada Utusan Daerah dan Utusan Golongan untuk memberikan pendapat terhadap materi Rancangan Undang-Undang yang dibentuk oleh DPR bersama Presiden sebagai bagian dari keterlibatan publik yang utuh.
Kelima, menempatkan secara tepat, tugas, peran dan fungsi Lembaga Negara yang sudah dibentuk di era Reformasi, sebagai bagian dari kebutuhan sistem dan struktur ketatanegaraan. Dengan demikian, kita sebagai bangsa telah kembali kepada Pancasila secara utuh. Sekaligus kita sebagai bangsa akan kembali terajut dalam tekad bersama di dalam semangat Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Musyawarah dan Keadilan Sosial.
Karena pada hakikatnya, kemajuan atau kemunduran suatu negara, ditentukan oleh desain institusi politik, ekonomi dan hukum. Suatu negara dapat terus berjalan dan mencapai titik kemakmuran, bila dikelola dengan cara yang tepat. Sehingga menghasilkan stabilitas politik dan stabilitas harga.
Indonesia sebagai negara kepulauan dengan keunggulan Komparatif yang telah diberikan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, sudah seharusnya menjadi Negara yang mampu mewujudkan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Sehingga mampu melahirkan Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Mari kita hentikan kontestasi politik yang semata-mata ingin sukses meraih kekuasaan dengan cara Liberal. Karena telah menjadikan kehidupan bangsa kita kehilangan kehormatan, etika, rasa dan jiwa nasionalisme serta patriotisme.
Pemilihan Presiden secara langsung yang kita adopsi begitu saja, telah terbukti melahirkan politik kosmetik yang mahal dan merusak kohesi bangsa. Karena batu uji yang kita jalankan dalam mencari pemimpin nasional adalah popularitas yang bisa di-fabrikasi.
Begitu pula dengan elektabilitas yang bisa digiring melalui angka-angka. Lalu disebarluaskan oleh para buzzer di media sosial dengan narasi-narasi saling hujat atau puja-puji buta. Dan pada akhirnya, rakyat pemilih disodori oleh realita yang dibentuk sedemikian rupa.
Indonesia punya pekerjaan yang lebih besar, lebih penting dan lebih mendesak, daripada kita disibukkan oleh hiruk-pikuk dan biaya mahal demokrasi ala Barat. Indonesia harus menyiapkan diri menyongsong Indonesia Emas, dalam menghadapi ledakan demografi penduduk usia produktif.
Presiden harus mendapat dukungan penuh dari semua elemen bangsa. Sehingga percepatan terwujudnya cita-cita negara ini menjadi tekad bersama, seperti yang pernah kita nyatakan dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa.
Karena itu, semoga momentum Peringatan Kemerdekaan Indonesia kali ini, dapat membangun kesadaran kolektif bangsa Indonesia, untuk kembali kepada Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa secara utuh. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.