Director of Fiscal Research & Advisory DDTC Bawono Kristiaji dalam capacity building bertajuk Empowering Civil Society: Mengawal Pajak Menuju Keadilan yang diselenggarakan oleh Forum Pajak Berkeadilan Indonesia (FPBI), Kamis (30/1/2025).
JAKARTA, DDTCNews - Praktik penghindaran pajak memberikan dampak penggerusan basis pajak yang lebih besar bagi negara berkembang ketimbang bagi negara maju.
Director of Fiscal Research & Advisory DDTC Bawono Kristiaji mengatakan hal ini terjadi mengingat PPh badan memiliki kontribusi yang besar bagi penerimaan pajak negara berkembang. Berbeda dengan negara berkembang, penerimaan pajak negara maju lebih banyak disokong oleh PPh orang pribadi.
"Di Indonesia, sekitar seperlima dari penerimaan pajak berasal dari PPh badan, di Malaysia bisa lebih dari 30%, di negara-negara Afrika bisa hampir 50%. Jadi ketika ada gangguan sedikit terhadap PPh badan, mereka terpukul lebih besar," ujar Bawono dalam capacity building bertajuk Empowering Civil Society: Mengawal Pajak Menuju Keadilan yang diselenggarakan oleh Forum Pajak Berkeadilan Indonesia (FPBI), Kamis (30/1/2025).
Menurut Bawono, setidaknya terdapat 5 faktor yang mendorong ketidakpatuhan pajak dan membuka peluang praktik penghindaran pajak. Lima faktor dimaksud antara lain, pertama, masalah pembagian hak pemajakan atau jurisdiction to tax berdasarkan persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B).
Bawono menerangkan sistem perpajakan global yang berlaku saat ini baru bisa membagi hak pemajakan secara bilateral melalui P3B yang dijalin oleh 2 yurisdiksi.
Adapun mayoritas P3B yang telah disepakati oleh yurisdiksi-yurisdiksi disusun berdasarkan model yang dirancang oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), organisasi multilateral yang lebih banyak didominasi oleh negara maju.
Dengan demikian, tidak mengherankan bila hak pemajakan dalam P3B lebih banyak diberikan ke capital exporting countries yang notabene adalah negara-negara maju.
Dalam P3B, suatu yurisdiksi memperoleh hak pemajakan berdasarkan kehadiran permanent establishment atau bentuk usaha tetap (BUT). Sayangnya, BUT yang diakui dalam P3B adalah BUT yang memiliki kehadiran fisik di yurisdiksi sumber.
"Battle terakhir dari suatu negara sumber untuk memajaki adalah ketika ada BUT. Sayangnya itu masih harus berbasis kehadiran fisik. Oleh karena berbasis kehadiran fisik, negara sumber dan market seperti Indonesia tidak mungkin bisa collect revenue dari perusahaan raksasa digital," ujar Bawono.
Kedua, separate entity approach. Akibat adanya pendekatan ini, entitas yang merupakan bagian dari grup perusahaan multinasional tidaklah dilihat sebagai satu kesatuan, melainkan sebagai entitas yang terpisah antara satu dengan yang lain.
Implikasinya, otoritas pajak suatu yurisdiksi tidak mampu mengawasi suatu grup perusahaan multinasional secara utuh.
Ketiga, deductibility of interest payment. Dalam ketentuan pajak yang berlaku pada mayoritas yurisdiksi, pembiayaan dalam bentuk utang memperoleh perlakuan pajak yang lebih menguntungkan ketimbang pembiayaan dalam bentuk ekuitas.
Keberpihakan terhadap pembiayaan melalui utang timbul mengingat pembayaran bunga diperlakukan sebagai pengurang penghasilan kena pajak, sedangkan pembayaran dividen bukanlah pengurang penghasilan kena pajak.
"Kalau Anda bayar dividen, itu tidak menjadi pengurang penghasilan. Sebaliknya, pembayaran utang kepada parent itu bisa menjadi pengurang. Perbedaan treatment ini mendorong perusahaan multinasional untuk melakukan pembiayaan melalui utang," ujar Bawono.
Keempat, disparitas tarif PPh badan antaryurisdiksi. Bawono menerangkan setiap yurisdiksi memiliki kedaulatan fiskal untuk menetapkan tarif pajaknya masing-masing.
Implikasinya, timbul persaingan pajak antaryurisdiksi baik secara penuh dengan menurunkan tarif ataupun secara parsial dengan memberikan insentif pajak. Penurunan tarif atau insentif diberikan dengan asumsi penurunan tarif pajak mampu menarik penanaman modal asing ke dalam negeri.
Meski pajak bukan menjadi faktor yang menentukan keputusan grup perusahaan multinasional dalam menanamkan modalnya di suatu negara, faktanya masih banyak negara yang mengandalkan instrumen pajak untuk menarik investasi.
"Ada anggapan bahwa insentif ini masih dibutuhkan untuk mengompensasi faktor-faktor lain yang belum sempurna, contohnya stabilitas politik, pangsa pasar, kepastian hukum, dan sebagainya," ujar Bawono.
Kelima, jaringan dengan yurisdiksi suaka pajak atau tax haven. Secara umum, suaka pajak adalah yurisdiksi yang memiliki tarif pajak rendah atau tidak memiliki pajak sama sekali, tidak memiliki skema pertukaran informasi perpajakan, tidak memiliki transparansi dalam proses legislasi, dan tidak memiliki aturan yang mensyaratkan substansi ekonomi dalam hal mendirikan suatu kegiatan usaha.
Selain keempat karakteristik di atas, yurisdiksi suaka pajak memiliki regulasi yang secara khusus bertujuan untuk memudahkan transaksi oleh nonresiden dalam rangka menghindar dari kewajiban membayar pajak. Hal ini difasilitasi dengan cara merahasiakan informasi terkait penerima manfaat dari transaksi tersebut.
"Orientasi dari tax haven adalah lebih banyak melayani bisnis dari nonresiden, artinya aktivitas ekonomi dari nonpenduduknya," ujar Bawono.
Menurut Bawono, organisasi masyarakat sipil memiliki peran yang besar dalam menurunkan praktik penghindaran pajak. Contoh, penerapan country by country reporting (CbCR) yang mendobrak separate entity approach tidaklah terlepas dari konsep yang dikembangkan oleh seorang akuntan dan pendiri Tax Justice Network bernama Richard Murphy.
Tak hanya itu, pajak minimum global yang bakal diterapkan berdasarkan Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE) juga lahir berkat upaya dan kampanye dari organisasi masyarakat sipil.
Sebagai informasi, FPBI adalah koalisi organisasi masyarakat sipil yang memiliki perhatian khusus pada bidang perpajakan. FPBI adalah koalisi yang cair dan terbuka bagi organisasi masyarakat sipil yang memiliki kepentingan untuk menciptakan sistem pajak berkeadilan di Indonesia.
Organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam FPBI antara lain The Prakarsa, PWYP, Transparency International Indonesia, Lokataru Foundation, Seknas Fitra, Celios, Puskaha, Aksi!, Indonesia for Global Justice, dan Trend Asia. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.