Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Pemberitaan terkait program pengungkapan sukarela (PPS) atau kerap juga disebut 'program ungkap harta' paling banyak menyita perhatian pembaca sepanjang pekan ini. Kepopuleran PPS sejalan dengan periode pelaksanaannya yang dimulai hari ini, 1 Januari 2022.
Kebijakan yang diatur dalam UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) ini akan berlangsung selama 6 bulan ke depan, hingga 30 Juni 2022. Pada awal pekan ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani menerbitkan aturan teknis terkait pelaksanaan PPS yakni PMK 196/2021.
Kemenkeu mendefinisikan PPS sebagai kesempatan yang diberikan kepada wajib pajak untuk mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela melalui pembayaran pajak penghasilan (PPh) berdasarkan pengungkapan harta.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Neilmaldrin Noor menyampaikan ada sejumlah manfaat yang bisa didapat peserta program ungkap harta.
Pertama, wajib pajak terbebas dari sanksi administratif dan perlindungan data. Kedua, data harta yang diungkapkan lewat surat pemberitahuan harta bersih (SPPH) tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau pununtutan pidana terhadap wajib pajak.
PPS dijalankan melalui 2 skema kebijakan. Kebijakan I, peserta adalah wajib pajak orang pribadi dan badan peserta tax amnesty. Basis pengungkapannya adalah harta per 31 Desember 2015 yang belum diungkapkan saat mengikuti tax amnesty.
Besaran tarifnya, 11% untuk harta yang deklarasi luar negeri, 8% untuk harta luar negeri repatriasi dan harta deklarasi dalam negeri, dan 6% untuk harta luar negeri repatriasi dan harta deklarasi dalam negeri yang diinvestasikan dalam SBN/hilirisasi SDA/energi baru terbarukan.
Kebijakan II, peserta wajib pajak orang pribadi. basis pengungkapannya adalah harta perolehan 2016 sampai dengan 2020 yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan 2020.
Besaran tarifnya, 18% untuk harta deklarasi luar negeri, 14% untuk harta luar negeri repatriasi dan harta deklarasi dalam negeri, dan 12% untuk harta luar negeri repatriasi dan harta deklarasi dalam negeri yang diinvestasikan dalam SBN/hilirisasi SDA/energi baru terbarukan.
Sebagai catatan, wajib pajak yang ikut kebijakan II harus memenuhi 2 syarat. Pertama, tidak sedang diperiksa atau dilakukan pemeriksaan bukti permulaan untuk tahun pajak 2016, 2017, 2018, 2019, dan 2020. Kedua, tidak sedang dilakukan penyidikan, dalam proses peradilan, atau sedang menjalani tindak pidana di bidang perpajakan.
Artikel lengkap mengenai perincian teknis PPS baca PMK Baru Soal PPS Terbit, Ini Keterangan Resmi Ditjen Pajak.
Topik selain PPS yang juga populer adalah kabar mengenai realisasi penerimaan pajak kembali melampaui target 100%.
DJP mencatatkan neto penerimaan pajak sampai dengan 26 Desember 2021 sejumlah Rp1.231,87 triliun. Angka ini setara dengan 100,19% dari target yang diamanatkan dalam APBN Tahun Anggaran 2021 sebesar Rp1.229,6 triliun.
Prestasi ini menjadi yang pertama kali dalam 12 tahun terakhir. Pencapaian penerimaan pajak yang tembus target 100% terakhir kali terjadi pada 2008 di bawah pemerintahan Presiden SBY. Saat itu, posisi Menteri Keuangan juga dijabat Sri Mulyani.
Pada 2008, pemerintah berhasil mencatatkan penerimaan pajak Rp571 triliun, atau 106,7% dari target APBN sejumlah Rp535 triliun. Sejak saat itu, selama 12 tahun anggaran pemerintah tak berhasil mencatatkan penerimaan melampaui target yang dituangkan dalam APBN.
Berita lengkapnya, baca Penerimaan Pajak Tembus 100%, Pertama Kali Setelah 12 Tahun.
Tidak cuma 2 artikel di atas yang menarik untuk dibaca. Di bawah ini adalah 5 artikel lainnya dari DDTCNews yang paling banyak dibaca netizen. Sebagian besar membahas tentang program ungkap sukarela (PPS).
1. Data dari SPPH Tak Bisa Dijadikan Dasar Pemidanaan Wajib Pajak, Tapi..
Pasal 22 ayat (2) PMK 196/2021 menyebutkan data dan informasi yang bersumber dari SPPH tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk memidanakan wajib pajak.
Ketentuan sejenis sesungguhnya sudah tertuang pada Pasal 6 ayat (6) dan Pasal 11 ayat (1) huruf c UU HPP. Pada ayat penjelas dari kedua ayat pada UU HPP tersebut, ditegaskan tindak pidana yang dimaksud adalah tindak pidana perpajakan dan tindak pidana lainnya.
Meski demikian, data dan informasi masih dapat dikelola oleh otoritas lain yang berwenang untuk melakukan penanganan atas tindak pidana.
Melalui Pasal 22 ayat (2) PMK 196/2021, Kementerian Keuangan memerinci ketentuan bila otoritas yang berwenang melakukan penanganan tindak pidana memiliki data dan informasi yang diungkapkan wajib pajak pada SPPH.
Bila data dan informasi yang diungkapkan pada SPPH ternyata juga dimiliki dan digunakan oleh otoritas yang berwenang untuk melakukan tindak pidana, maka otoritas yang berwenang tersebut tetap dapat melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Wajib Pajak Cabut Surat Pemberitahuan Ungkap Harta, Ini Implikasinya
Wajib pajak dapat mencabut SPPH yang telah disampaikan kepada DJP pada periode pelaksanaan PPS.
Pencabutan SPPH dapat dilakukan dengan menyampaikan SPPH kembali dan mengisi nilai harta, utang, dan harta bersih sebesar 0. Bila wajib pajak melakukan hal tersebut, terdapat implikasi yang timbul seperti tertuang dalam PMK 196/2021.
"Surat keterangan yang telah diterbitkan ... atas SPPH yang disampaikan sebelum penyampaian pencabutan SPPH ..., batal demi hukum," bunyi Pasal 24 ayat (1) huruf a PMK 196/2021.
Dengan melakukan pecabutan SPPH, wajib pajak dianggap tidak melakukan pengungkapan harta bersih. Lalu, segala ketentuan yang memudahkan wajib pajak pada Pasal 4, Pasal 8, dan Pasal 22 ayat (1) PMK 196/2021 menjadi tidak berlaku.
3. Peserta PPS Bisa Sampaikan SPPH Lebih dari Sekali, Begini Ketentuannya
Wajib pajak peserta PPS dapat menyampaikan SPPH kedua, ketiga, dan seterusnya. Artinya, pengungkapan harta melalui PPS bisa dilakukan lebih dari sekali.
Pasal 11 ayat (2) PMK 196/2021 menjelaskan penyampaian SPPH dapat dilakukan jika terdapat alasan seperti perubahan harta bersih atau kesalahan tulis, hitung, atau perubahan tarif. Penyampaian SPPH kedua, ketiga, dan seterusnya juga harus dilakukan selama periode PPS masih berlangsung.
Beleid itu menjelaskan SPPH kedua, ketiga, dan seterusnya dapat dilakukan jika terdapat kesalahan penulisan nama atau kesalahan penghitungan wajib pajak dalam pengisian SPPH; penambahan harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam SPPH; pengurangan harta bersih yang telah diungkapkan dalam SPPH; perubahan penggunaan tarif pajak penghasilan (PPh) final atas pengungkapan harta bersih; dan/atau keadaan lain yang mengakibatkan ketidakbenaran SPPH sebelumnya.
4. Kewajiban Ini Harus Dipenuhi Wajib Pajak Setelah Ungkap Harta Sukarela
Wajib pajak yang sudah mengikuti PPS masih memiliki sejumlah kewajiban pajak yang harus dipenuhi. Kewajiban tersebut diatur dalam BAB VII PMK 196/2021.
Salah satu kewajiban pajak yang harus dipenuhi adalah membukukan nilai harta bersih yang disampaikan dalam SPPH sebagai tambahan atas saldo laba ditahan dalam neraca.
Kewajiban ini berlaku bagi wajib pajak yang telah memperoleh surat keterangan bukti keikutsertaan PPS dan diwajibkan menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan aturan dalam ketentuan umum dan tata cara perpajakan (KUP).
Selain itu, atas tambahan harta dan utang dalam SPPH yang belum diungkap dalam Surat Pernyataan Harta dalam pengampunan pajak (tax amnesty) diperlakukan sebagai perolehan harta dan utang baru sesuai tanggal Surat Keterangan.
5. Catat! WP Ikut PPS Dapat Surat Keterangan Pengungkapan Harta Bersih
Wajib pajak yang telah menyampaikan SPPH akan mendapatkan surat keterangan pengungkapan harta bersih dari DJP.
Didefinisikan pada Pasal 1 angka 18 PMK 196/2021, surat keterangan pengungkapan harta bersih adalah bukti keikutsertaan wajib pajak dalam PPS.
Surat keterangan pengungkapan harta bersih yang diterbitkan oleh DJP mulai dari nama dan alamat wajib pajak peserta PPS serta nilai harta bersih yang diungkapkan dan PPh final yang dikenakan atas harta bersih tersebut.
Bila wajib pajak menyampaikan SPPH sebanyak 2 kali atau lebih, maka surat keterangan pengungkapan harta bersih yang kedua dan seterusnya akan membatalkan surat keterangan yang telah diterbitkan sebelumnya.
Bila wajib pajak melalukan pencabutan SPPH, wajib pajak juga akan mendapatkan surat keterangan yang membuktikan wajib pajak telah tidak ikut serta dalam PPS.
6. Debat Pajak:
Setuju Sidang Online Pengadilan Pajak? Tulis Komentar, Rebut Hadiahnya
DDTCNews kembali mengadakan debat pajak bagi pembaca. Anda bisa memberikan pendapat dan raih hadiahnya.
Sebanyak 2 pembaca DDTCNews yang memberikan pendapat pada kolom komentar artikel ini dan telah menjawab beberapa pertanyaan dalam survei akan berkesempatan terpilih untuk mendapatkan uang tunai senilai total Rp1 juta (masing-masing pemenang Rp500.000).
Penilaian akan diberikan atas komentar dan jawaban yang masuk sampai dengan Rabu, 19 Januari 2022 pukul 15.00 WIB. Pengumuman pemenang akan disampaikan pada Jumat, 21 Januari 2022. Untuk informasi dan ikut serta, klik tautan di atas. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.