Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Baru-baru ini publik ramai memperbincangkan mengenai pengenaan PPh Pasal 21 dengan tarif 5% pascaberlakunya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Lantas, bagaimana sebenarnya detail ketentuan tersebut?
Secara ringkas, PPh Pasal 21 adalah pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau, kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri.
Hal ini berarti pajak atas penghasilan pegawai tercakup dalam pengenaan PPh Pasal 21. Adapun untuk menghitung besaran PPh Pasal 21 digunakan tarif berlapis yang diatur dalam Pasal 17 ayat (1) a UU PPh s.t.d.t.d UU HPP.
Tarif dikenakan atas penghasilan kena pajak (PKP) dari pegawai tetap dan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang dibayarkan secara bulanan. Adapun PKP bukanlah penghasilan bruto setahun yang diterima pegawai.
PKP merupakan penghasilan yang dijadikan dasar perhitungan PPh Pasal 21. Untuk memperoleh PKP, perlu menghitung dulu penghasilan neto yang didapat dari pengurangan antara penghasilan bruto dengan biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (biaya 3M).
Biaya 3M tersebut di antaranya seperti biaya jabatan, iuran pensiun yang dibayar pegawai, dan iuran jaminan hari tua (JHT) yang dibayar pegawai. Hasil pengurangan antara penghasilan bruto dengan biaya 3M akan menghasilkan penghasilan neto.
Penghasilan neto tersebut kemudian dikurangkan dengan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) untuk kemudian mengetahui besarnya PKP. Adapun PTKP merupakan jumlah penghasilan tertentu yang tidak dikenakan pajak.
Besaran PTKP diberikan senilai Rp54 juta untuk diri wajib pajak orang pribadi. Selain untuk diri sendiri, pemerintah memberikan tambahan PTKP bagi wajib pajak yang sudah menikah senilai Rp4,5 juta. Apabila istri wajib pajak menerima penghasilan yang digabungkan juga akan ada tambahan PTKP senilai Rp54 juta.
Tidak hanya itu, wajib pajak yang mempunyai anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus juga diberikan tambahan PKP senilai Rp4,5 juta untuk paling banyak 3 orang. Simak Lagi, Cara Menghitung Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Berdasarkan pada pengurangan penghasilan bruto dengan biaya 3M dan PTKP barulah diperoleh PKP yang menjadi dasar pengenaan PPh Pasal 21. Adapun UU HPP merevisi tarif dan lapisan PKP dalam UU PPh menjadi sebagai berikut:
Berdasarkan pada tabel perbandingan tersebut terlihat UU HPP menaikan batas PKP untuk lapisan PKP terbawah yang dikenai tarif 5%. Dengan demikian, PKP (bukan penghasilan bruto) sampai dengan Rp60 juta kini dikenai tarif 5%. Sebelumnya, pengenaan tarif 5% hanya untuk PKP sampai dengan Rp50 juta.
Adapun ketentuan tarif dan lapisan PKP tersebut berlaku mulai tahun pajak 2022. Hal ini berarti wajib pajak perlu memperhatikan ketentuan ini dalam pelaporan SPT Tahunan PPh orang pribadi yang harus disampaikan paling lambat 3 bulan setelah berakhirnya tahun pajak atau 31 Maret 2023.
Apabila menelisik bab pendelegasian kewenangan ketentuan PPh dalam UU HPP maka ketentuan mengenai tarif dan lapisan PKP baru tidak didelegasikan untuk diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Untuk itu, PP 55/2022 yang mengatur aturan turunan UU HPP kluster PPh tak lagi menyinggung perihal tarif dan lapisan PKP yang baru.
Berdasarkan pada penjelasan yang telah diuraikan tersebut berarti pegawai dengan penghasilan Rp5 juta tidak serta merta kena pajak. Sebab, penghasilan tersebut perlu dikurangkan terlebih dahulu dengan biaya pengurang yang diperkenankan (3M) dan PTKP.
Misal, Tuan A merupakan pegawai tetap pada PT X yang memperoleh gaji sebulan Rp5 juta. Tuan A membayar iuran JHT sebesar Rp100.000. Tuan A sudah menikah tetapi tidak memiliki anak dan tanggungan. Istri Tuan A tidak bekerja.
Maka, Gaji Tuan A setahun Rp60 juta dikurangkan dengan biaya jabatan Rp3 juta (5% X Rp60 juta) dan iuran JHT Rp100.000. Hasilnya, penghasilan neto Rp56,9 juta.
Penghasilan neto setahun senilai Rp56,9 juta itu dikurangkan PTKP senilai Rp58,5 juta (Rp54 juta + Rp4,5 juta) untuk mendapatkan PKP. Penghasilan neto itu di bawah PTKP sehingga atas Tuan A tidak terutang pajak.
Lalu, bagaimana jika Tuan A belum menikah dan tidak memiliki tanggungan?
Gaji Tuan A setahun Rp60 juta dikurangkan dengan biaya jabatan Rp3 juta (5% X Rp60 juta) dan iuran JHT Rp100.000. Berarti, penghasilan neto setahun senilai Rp56,9 juta dikurangkan PTKP senilai Rp54 juta untuk mendapatkan PKP. PKP yang diperoleh adalah Rp2,9 juta.
Dengan demikian, PPh Pasal 21 terutang senilai Rp2,9 juta X 5% = Rp145.000 per tahun atau Rp12.083 per bulan.
Apabila mengesampingkan biaya 3M untuk menyederhanakan ilustrasi maka Gaji Tuan A setahun Rp60 juta dikurangkan dengan PTKP senilai Rp54 juta. Berarti, PPh Pasal 21 terutang senilai Rp6 juta X 5% = Rp300.000 per tahun atau Rp25.000 per bulan.
Simulasi perhitungan yang disajikan merupakan contoh sederhana dari perhitungan PPh Pasal 21. Adapun perhitungan PPh Pasal 21 bisa berbeda tergantung pada status penerima penghasilan, jenis penghasilan, serta waktu pegawai tersebut bergabung atau berhenti dari suatu perusahaan. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.