JAKARTA, DDTCNews – Meskipun reformasi perpajakan tengah dilakukan, tax ratio Indonesia masih terpantau fluktuatif. Hal tersebut menjadi sorotan beberapa media nasional pada hari ini, Kamis (14/11/2019).
Seperti diketahui, pada 2016, pemerintah telah membentuk tim reformasi perpajakan melalui Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No. 885/KMK.03/2016. Dengan berjalannya reformasi perpajakan, tax ratio masih cenderung naik-turun.
Pada 2017, tax ratio Indonesia tercatat sebesar 10,7% atau turun tipis dibandingkan posisi pada 2016 sebesar 10,8%. Tax ratio kemudian meningkat lagi pada tahun lalu menjadi sebesar 11,4%. Namun, pada tahun ini, tax
ratio diproyeksi turun lagi menjadi 11,1%.
Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Ubaidi Socheh Hamidi mengatakan komponen tax ratio yang meliputi penerimaan pajak pusat, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) migas dan PNBP pertambangan umum tengah dalam tren penurunan.
Penurunan ini dipengaruhi dua hal. Pertama, pelemahan harga komoditas yang mengakibatkan penerimaan pajak – terutama perusahaan di sektor komoditas – mengalami penurunan. Kedua, adanya kebijakan restitusi dipercepat. Pada tahun ini, kebijakan
diperluas untuk industri farmasi.
Selain itu, beberapa media nasional juga menyoroti tentang revisi aturan mengenai pembebasan bea masuk atas impor persenjataan, amunisi, perlengkapan militer dan kepolisian, termasuk suku cadang, serta barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan
barang yang dipergunakan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Managing Partner DDTC Darussalam berpendapat peningkatan tax
ratio bisa dilakukan melalui dua cara. Pertama, pengurangan potensi yang belum tergali akibat kelemahan administrasi. Kedua, pengejaran potensi baru pajak yang belum tergali.
“Jika berbagai pilar dijalankan secara konsisten, target tersebut bukanlah sesuatu yang mustahil untuk bisa dicapai,” katanya sambil menekankan pentingnya pula dorongan politik untuk menjamin keberhasilan reformasi perpajakan.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.164/PMK.04/2019, pemerintah menambahkan nama Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) dalam kelompok delapan institusi atau lembaga yang memperoleh keringanan fiskal tersebut.
Selain itu, pemerintah juga menegaskan kewenangan dari Dirjen Bea dan Cukai serta Kepala Kantor Kepabeanan. Dirjen Bea dan Cukai maupun Kepala Kantor Kepabeanan dapat menjalankan pelimpahan kewenangan dari Menteri Keuangan.
Kewenangan yang dimaksud dalam beleid tersebut di antaranya terkait penolakan dan atas nama menteri keuangan bisa menerbitkan keputusan menteri keuangan mengenai pembebasan bea masuk atas impor-impor tersebut.
Sengketa antara PT Freeport Indonesia (PT FI) dan Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan masih berlangsung. Selain tengah mengajukan upaya hukum luar biasa ke Mahkamah Agung (MA), DJBC masih harus menghadapi 128 banding yang masih berproses
di Pengadilan Pajak.
Sengketa bermula dari adanya perbedaan tafsir mengenai tarif bea keluar. Pemerintah menetapkan tarif bea keluar bagi Freeport sebesar 7,5% dengan mengacu pada ketentuan dalam PMK 13/2017. Sementara, PT FI berpegang pada nota kesepahaman yang membuat tarif
5%.
Investasi asing senilai lebih dari Rp700 triliun yang siap masuk ke Indonesia terhambat sejumlah permasalahan domestik seperti perizinan dan kurang sinkronnya regulasi pemerintah pusat dan daerah. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.