Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Kebijakan Fiskal dan Publik Suryadi Sasmita.
BAGI investor, insentif pajak dapat menjadi salah satu pertimbangan dalam menentukan negara tujuan penanaman modal. Dengan banyaknya skema insentif pajak yang ditawarkan pemerintah, investor dapat menentukan lokasi investasinya sesuai dengan kebutuhan.
Namun, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Kebijakan Fiskal dan Publik Suryadi Sasmita memberikan catatan penting soal insentif pajak. Menurutnya, insentif pajak hanya bersifat sebagai pemanis. Pasalnya selain insentif, investor juga akan mempertimbangkan aspek transparansi, kesederhanaan sistem pemungutan, serta kepastian peraturan perpajakan.
Kepada DDTCNews, Suryadi menjelaskan penyebab suatu insentif cenderung sepi peminat dan strategi mengoptimalkannya. Berikut petikannya:
Bagaimana ekonomi saat ini akan memengaruhi kepercayaan investor?
Pemulihan ekonomi Indonesia yang terus membaik serta penanganan penyebaran pandemi Covid-19 telah meningkatkan kepercayaan investor terhadap kondisi perekonomian Indonesia. Pada kuartal III/2022, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,72% (year on year), diimbangi dengan stabilitas nilai tukar rupiah yang cukup baik, serta pertumbuhan indeks harga saham gabungan yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara G-20 dan sekitar Asean.
Kemudian, inflasi Indonesia juga masih terjaga dan relatif rendah dibandingkan negara lain. Inflasi Indonesia tercatat sebesar 4,35% (yoy) pada Juni 2022 dan naik menjadi 5,42% pada November 2022. Angka itu lebih rendah dibandingkan sejumlah negara seperti Thailand sebesar 7,66% per Juni 2022, Filipina 6,1%, dan Singapura 5,6%.
Majalah The Economist bulan November 2022 lalu juga menyorot ketahanan ekonomi Indonesia. Mereka [The Economist] menyatakan bahwa jika tetap berada di jalur ini pada dekade berikutnya, Indonesia bisa menjadi salah satu dari 10 ekonomi terbesar dunia.
Hal itu dapat terjadi karena kondisi makroekonomi Indonesia yang kuat jika dibandingkan dengan banyak negara, bahkan di saat ketidakpastian tinggi, harga minyak dunia naik, serta konstelasi perang Rusia-Ukraina.
Tentunya ini akan meningkatkan kepercayaan investor ke indonesia. Selain itu, peringkat investasi dari 5 lembaga yakni S&P, Moody's, Fitch, JCR, dan R&I menunjukkan bahwa Indonesia termasuk dalam kelompok negara yang konsisten menjaga disiplin APBN sehingga masuk kategori negara layak investasi atau investment grade.
Faktor apa saja yang biasanya menjadi daya tarik investor di Indonesia?
Berdasarkan MIGA Political Risk Survey, stabilitas makroekonomi menjadi hal yang paling penting di mata investor dalam berinvestasi di negara berkembang. Sedangkan menurut Global Investment Competitiveness Survey oleh World Bank, transparansi birokrasi (public agencies) dan investment protection guarantees menjadi penting dalam berinvestasi.
Selain itu, faktor yang juga penting dalam keputusan investasi adalah jaminan kepastian hukum terhadap modal yang ditanamkan, termasuk di dalamnya mengenai konsistensi kebijakan dengan pelaksanaan, penghargaan terhadap asas kesakralan kontak, jaminan perlindungan investasi, dan tidak adanya diskriminasi terhadap investor.
Kemudian, apakah insentif pajak menjadi juga menjadi daya tarik? Menurut OECD, pajak dipertimbangkan sebagai salah satu faktor dalam penentuan lokasi investasi dan menjadi faktor yang akan memengaruhi persepsi investor global. Namun, bukan hanya perkara insentif pajak, investor juga akan mempertimbangkan transparansi, kesederhanaan sistem pemungutan, kepastian peraturan perpajakan, dan kestabilan kebijakan sehingga dapat diprediksi untuk jangka panjang, serta macam atau jenis pungutan lain seperti pajak daerah dan retribusi yang nantinya akan dikenakan.
Insentif pajak pastinya juga berpengaruh, namun sifatnya sebagai sweetener.
Menurut pandangan Anda, apakah kebijakan dan skema insentif pajak di Indonesia cukup menarik bagi pengusaha?
Pemerintah telah memberikan beberapa jenis insentif seperti tax holiday, tax allowance, supertax deduction, dan lainnya. Insentif seperti tax holiday memberikan pengurangan PPh badan sebesar 100% selama 5-20 tahun untuk beberapa sektor industri yang memenuhi kategori. Dalam regulasi terakhir, prosedurnya juga sudah dipermudah.
Namun, tidak semua bisnis atau usaha membutuhkan insentif yang sama. Ini yang menjadi tantangannya. Masih perlu desain insentif pajak yang lebih beragam dan dibutuhkan oleh dunia usaha sehingga terlebih dahulu perlu dikaji bagaimana roadmap pemberian insentif untuk skema beberapa tahun mendatang.
Seyogianya juga pemberian insentif dilandasi dengan kalkulasi yang matang, diikuti dengan evaluasi atau pengukuran efektivitas, agar tidak ada bias yang mengakibatkan insentif hanya bisa dinikmati oleh investor skala besar. Lebih lanjut, pemberian insentif sebaiknya juga dikoordinasikan antara pemerintah pusat dan daerah sehingga dapat berjalan beriringan.
Selama ini Indonesia menawarkan berbagai insentif pajak untuk menarik investasi. Bagaimana pandangan Anda mengenai efektivitasnya?
Jelas insentif pajak dalam menarik investasi masih belum optimal. Hal ini dapat dilihat dari masih rendahnya tax expenditure dari insentif pajak. Kalau kita lihat laporan belanja perpajakan, insentif pajak untuk menarik investasi berkontribusi terhadap belanja perpajakan hanya sebesar 12%. Jadi, masih rendah sekali.
Namun, seperti sudah saya jelaskan sebelumnya, keputusan investasi bukan semata-mata ditentukan dengan sejumlah insentif yang diberikan pemerintah. Sebab, investasi merupakan keputusan besar. Selain hal yang telah disebutkan sebelumnya, faktor yang dianggap penting oleh investor dalam menentukan tujuan investasi adalah prediktabilitas iklim usaha dan transparansi dari lembaga pemerintah yang berkaitan dengan aktivitas bisnisnya.
Merujuk data seperti Laporan Keuangan DJP 2021, sepertinya pemanfaatan insentif pajak seperti tax holiday dan tax allowance cenderung sepi. Dari sisi pengusaha, bagaimana pandangan Anda?
Di tahun 2021, terdapat 23 wajib pajak yang mengajukan tax holiday. Jumlah yang masih kecil ini dikarenakan tax holiday diberikan hanya untuk sektor tertentu saja yakni industri pionir dengan beberapa kriteria yang harus dipenuhi.
Menurut saya, tidak bisa dikatakan sepi peminat karena industri yang berhak mendapatkan terbatas dengan syarat dan ketentuan pemanfaatan yang juga sangat ketat.
Kedua, tidak semua industri atau investor yang memiliki kebutuhan yang sama. Tidak semuanya butuh insentif seperti tax holiday. Ada investor yang lebih butuh insentif riset atau pengembangan SDM misalnya.
Menurut Anda, apakah keberadaan KEK cukup menarik investor untuk menanamkan modal di Indonesia?
KEK ditujukan untuk meningkatkan investasi pada regional tertentu. Salah satu alasannya adalah karena biaya transportasi yang mahal untuk investasi di wilayah tertentu.
Rendahnya investor ke KEK kemungkinan besar dikarenakan return on investment (ROI) dari investasi di beberapa wilayah KEK tak sesuai dengan harapan. Hal ini dikarenakan biaya logistik ke KEK yang masih terlalu besar.
Selain itu, sepinya investor di KEK bisa jadi belum adanya pasar yang cukup untuk menghasilkan revenue yang mencukupi bagi investor. Di sisi lain, di lapangan juga sering ditemukan kendala-kendala infrastruktur dan permasalahan ketersediaan lahan.
Untuk benar-benar membuat KEK menjadi efektif, pemerintah tidak boleh hanya fokus pada insentif fiskal saja. Sebab, sebetulnya insentif yang diberikan untuk KEK sudah komprehensif, dari mulai tax holiday, tax allowance, PPN dan PPnBM tidak dipungut, dan lain-lain.
Pemerintah utamanya justru harus memberi perhatian khusus terhadap infrastruktur dasar dan akses transportasi supaya kegiatan usaha bisa berjalan dengan lancar. Konektivitas dari KEK, misalnya ke pelabuhan, bandara, dan market harus memadai supaya biaya investasi menjadi efisien.
IKN akan menjadi proyek besar dan telah masuk sebagai PSN. Dengan berbagai insentif fiskal yang akan ditawarkan, apakah menarik bagi investor?
Investasi di IKN tidak akan berhasil tanpa adanya keterlibatan swasta. Semua akan tergantung pada komitmen pemerintah pada IKN. Jika pemerintah benar-benar berkomitmen membangun IKN dan berhasil meyakinkan swasta maka investor swasta akan masuk.
Lagi-lagi, insentif pajak dalam PP hanyalah pemanis agar investasi swasta di IKN menjadi feasible untuk dilakukan.
Saat ini OECD mendorong negara-negara berkembang untuk mengevaluasi pemberian fasilitas perpajakan seperti tax holiday. Bagaimana pandangan Anda?
Evaluasi kebijakan memang keniscayaan, apalagi mengingat biaya yang dikeluarkan tidak kecil. Untuk itu, memang sudah sewajarnya setiap insentif pajak dievaluasi bagaimana output-nya, bagaimana multiplier effect-nya bagi perekonomian.
Di sisi lain, OECD mendorong negara berkembang untuk lebih banyak memberikan cost-based incentives seperti supertax deduction dan tax allowance. Apakah ini cukup menarik bagi investor?
Indonesia pada tahun 2019 juga mencoba menerapkan model insentif tersebut, melalui penerbitan PP 45/2019 dan PMK 128/2019. PP dan PMK ini mengatur pemberian insentif supertax deduction yakni insentif berupa pengurangan pajak dari penghasilan bruto paling tinggi 200% bagi pelaku usaha dan pelaku industri yang melakukan kegiatan pengembangan vokasi dan R&D [research and development].
Tentunya skema ini cukup menarik bagi perusahaan yang bersinggungan dengan invention atau yang membutuhkan banyak tenaga bidang teknis/vokasi. Namun dalam penerapannya perlu disederhanakan dalam pemenuhan syarat dan administrasi pelaporannya.
Melalui Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE), disepakati pajak minimum global sebesar 15% mulai 2023. Bagaimana pandangan Anda?
Ini akan menguntungkan Indonesia. Secara regional, kita selalu bersaing dengan Singapore. Secara tax competitiveness kita kalah karena tarif PPh badan mereka yang lebih rendah. Tapi, dengan adanya pajak minimum ini, tax competitiveness ini menjadi hilang. Persaingan akan menjadi lebih fair.
Dengan kesepakatan tersebut, bagaimana kira-kira dampaknya terhadap insentif pajak Indonesia dan kaitannya pada daya saing investasi?
Sebenarnya tidak akan berdampak besar bagi daya saing Indonesia. Mengingat tidak semua industri menikmati tax holiday. Dan tarif PPh badan kita jauh dari tarif minimal yang akan diterapkan yakni 22%.
Harusnya kita siap dan diuntungkan karena Singapura yang akan paling banyak terdampak. Selama ini, Singapura lebih kompetitif dari segi pajak namun dengan adanya konsensus global nanti maka competitiveness tersebut hilang.
Tentu, ini menguntungkan Indonesia. Namun, dalam jangka pendek-menengah, pemerintah harus memikirkan kepastian hukum bagi wajib pajak yang telah memperoleh insentif pajak untuk tahun-tahun yang akan datang sebelum Pilar 2 diimplementasikan. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.