Director of Fiscal Research & Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji dalam Exclusive Gathering: Tax Update 2024 di Menara DDTC, Kamis (29/8/2024).
JAKARTA, DDTCNews - Wajib pajak dinilai perlu bersiap dan mengantisipasi agenda optimalisasi penerimaan pajak oleh pemerintah yang baru.
Director of Fiscal Research & Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji mengatakan presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka memiliki agenda untuk meningkatkan pendapatan negara, yang utamanya bakal ditopang oleh pajak. Wajib pajak pun perlu memprediksi arah kebijakan yang bakal ditempuh oleh pemerintah beserta implikasinya sedini mungkin.
"Mungkin penting bagi Bapak-Ibu untuk membuat tax outlook di perusahaan sehingga dapat memitigasi setiap risikonya sejak awal," katanya dalam DDTC Exclusive Gathering: Tax Update 2024, Kamis (29/8/2024).
Bawono mengatakan pergantian pemerintahan memang biasanya akan sepaket dengan perubahan arah kebijakan pajak. Berkaca pada pergantian pemerintah pada 1 dekade lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga membawa agenda pajak sehingga memutuskan menaikkan target penerimaan pajak ketika awal menjabat.
Beranjak ke masa kini, presiden dan wakil presiden terpilih 2024-2029 Prabowo-Gibran pun telat menyiapkan agenda pajak untuk pemerintahannya. Namun, transisi tersebut dinilai lebih mulus karena pasangan ini mengusung konsep keberlanjutan, yang secara garis besar akan melanjutkan program-program prioritas pemerintah saat ini.
Bicara tentang agenda perpajakan mendatang, masyarakat bisa merujuk pada sasaran, misi, dan agenda yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Agenda perpajakan tersebut kemudian diselaraskan dengan visi dan misi presiden terpilih, serta nantinya dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Pada RPJPN 2025-2045, rasio perpajakan (tax ratio) ditargetkan mencapai 20%. Sementara sekarang, posisi tax ratio baru mencapai setengahnya, yakni 10,12% pada 2023.
Di sisi lain, pasangan Prabowo-Gibran membawa agenda menaikkan rasio pendapatan negara menjadi 23%. Bersama pemerintah saat ini, tim transisi Prabowo-Gibran pun mulai bekerja menyisir potensi pendapatan negara yang dapat dioptimalkan pada tahun depan.
"Intensi meningkatkan penerimaan harus kita baca karena sepertinya akan mengulang situasi pada 2015. Target penerimaan pajak bisa saja di-adjust naik sehingga menarik untuk kita awasi bersama," ujarnya.
Dalam mencapai target pendapatan negara sebesar 23% terhadap PDB, kegiatan ekstensifikasi diperkirakan terus berjalan mengingat wajib pajak terdaftar saat ini baru 72 juta. Di sisi lain, beberapa jenis pajak dan sektor usaha juga berpotensi untuk dioptimalkan.
Berdasarkan tren beberapa tahun terakhir, penerimaan pajak utamanya ditopang oleh PPN dalam negeri, PPh badan, dan PPN impor. Data ini mengindikasikan PPN dan PPh badan masih akan menjadi primadona dalam optimalisasi penerimaan pajak ke depan.
Wajib pajak badan juga memiliki kewajiban untuk mengadministrasikan pemotongan atau pemungutan pajak pihak lain. Oleh karena itu, wajib pajak perlu mengelola risiko seperti salah potong atau setor pajak.
Mengenai sektor usaha, penerimaan pajak terutama bertumpu pada sektor industri pengolahan, perdagangan, pertambangan, jasa konstruksi, dan jasa keuangan. Sementara, kontribusi pajak pada beberapa sektor masih sangat kecil seperti jasa pendidikan, akomodasi dan makan minum, pertanian, serta konstruksi dan real estat.
Arah kebijakan pada tahun depan dapat mulai diamati melalui RAPBN beserta nota keuangan 2025. Pada RAPBN 2025, penerimaan perpajakan ditargetkan mencapai Rp2.490 triliun dengan tax ratio 10,24%. Target tersebut tumbuh 7,85% dari target penerimaan pajak tahun ini.
Angka ini terdiri atas penerimaan pajak Rp2.189,3 triliun atau naik 10,09% serta kepabeanan dan cukai Rp301,6 triliun atau naik 6,04%.
Dari sisi pajak, wajib pajak perlu mengantisipasi kebijakan yang dijalankan antara lain kenaikan tarif PPN menjadi 12%, serta agenda extra effort. Kemudian, pemerintah juga mulai mengimplementasikan coretax administration system yang diharapkan meningkatkan kepatuhan pajak.
Setelahnya, wajib pajak juga perlu mengantisipasi kebijakan teknis perpajakan pada 2025, antara lain kegiatan penegakan hukum, prioritas pengawasan atas wajib pajak high wealth individual (HWI), peningkatan kerja sama perpajakan internasional, pemanfaatan forensik digital, serta pemberian insentif fiskal yang terarah dan terukur.
Sementara mengenai kepabeanan dan cukai, kebijakan strategis yang berpotensi dilaksanakan pada tahun depan yakni menambah barang kena cukai terhadap minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK).
Bawono menilai wajib pajak masih akan dihadapkan pada kompleksitas yang tinggi pada tahun depan. Kompleksitas ini antara lain hadir akibat penerbitan regulasi baru dan penegakan hukum yang diperkirakan terus meningkat.
Selain itu, rencana pembentukan badan otorita penerimaan negara (BPN) dan peralihan pembinaan organisasi Pengadilan Pajak ke Mahkamah Agung juga penting untuk diantisipasi oleh wajib pajak.
"Kami memprediksi kompleksitas masih tetap akan ada. Namun, seyogianya ikhtiar untuk kepastian pajak tetap harus diperjuangkan," imbuhnya.
DDTC melaksanakan Exclusive Gathering sebagai rangkaian acara HUT ke-17, dengan mengundang 52 klien yang berasal dari berbagai sektor. Ke depan, gathering serta acara serupa akan digelar secara berkala oleh DDTC. Hal ini mengingat pelaksanaan satu kali acara belum dapat mencakup seluruh klien serta stakeholder lainnya.
Forum yang tidak terlalu besar tetapi dilakukan secara berkesinambungan diharapkan lebih efektif. Dengan demikian, seluruh klien serta stakeholder lainnya dapat memperoleh gambaran terkini perkembangan perpajakan dan upaya antisipasinya. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.