Ilustrasi. Kantor Pusat DJP.
JAKARTA, DDTCNews – Ditjen Pajak (DJP) sedang menyusun regulasi yang akan mengatur administrasi pemajakan terkait dengan peer-to-peer (P2P) lending atau pinjaman online. Rencana tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Jumat (26/2/2021).
Kasubdit PPN Perdagangan, Jasa & Pajak Tidak Langsung Lainnya DJP Bonarsius Sipayung mengatakan kebijakan untuk bisnis financial technology (fintech) tersebut akan berfokus pada penataan administrasi perpajakan, khususnya pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh).
"Untuk konteks perpajakan di fintech, kami netral saja. Isu yang paling penting di sini adalah isu administrasi. Ini sedang kami susun aturan yang mengatur aspek perpajakan PPh dan PPN untuk fintech,” ujarnya.
Menurut dia, rencana regulasi yang tengah disusun akan berlaku untuk semua pihak yang berada dalam ekosistem bisnis fintech, mulai dari penyedia platform, pemberi pinjaman (borrower), hingga peminjam (lender).
Selain mengenai penyusunan aturan terkait pemajakan bisnis fintech, masih ada pula bahasan terkait dengan kinerja penerimaan pajak. Kemudian, masih ada juga bahasan tentang ketentuan dalam PP 9/2021.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Kasubdit PPN Perdagangan, Jasa & Pajak Tidak Langsung Lainnya DJP Bonarsius Sipayung memastikan tidak ada jenis pajak baru dalam rancangan aturan yang tengah disusun DJP. Dia menegaskan beleid itu nantinya akan memperjelas pajak terutang dari transaksi pelaku usaha fintech.
Dia memberi contoh bila penyedia platform melakukan penyerahan jasa maka harus menerbitkan faktur pajak. Menurutnya, aturan yang sedang disusun akan memudahkan pemenuhan aspek administrasi perpajakan dari sisi PPN. Kemudian, penghasilan dari transaksi peminjaman terutang PPh.
Bonarsius menyebut regulasi yang akan dikeluarkan menjadi bagian dari cara DJP untuk memastikan setiap pajak terutang dari transaksi fintech disetorkan dengan tepat dan benar. Regulasi ini juga untuk memberikan kesetaraan level playing field antara jasa keuangan digital dan konvensional.
"Salah satu pengaturannya kalau ada penghasilan dari fasilitator, lender, dan peminjam itu tentu terutang PPh. Kalau ada penyerahan jasa maka terutang PPN. Nanti akan dibuat administrasinya sedemikian rupa sehingga menjadi mudah untuk dilaksanakan," kata Bonarsius. (DDTCNews/Kontan)
Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji berpendapat dalam konteks ekosistem bisnis digital seperti P2P lending, terobosan administrasi memang perlu dilakukan. Beberapa negara, sambungnya, menggunak skema kerja sama dengan penyedia platform terkait pelaporan data atau pemungutan pajaknya.
“Jadi digital platform ini memiliki peran intermediaries yang sangat strategis,” katanya.
Menurutnya, setidaknya ada tiga aspek penting dalam penyusunan regulasi. Pertama, pengaturan dapat memberi kepastian bagi pelaku usaha. Kedua, pengaturan dapat menjamin level playing field, baik antara bisnis digital dan konvensional maupun antarplatform dalam ekosistem bisnis digital. Ketiga, pengaturan dapat menjamin kepatuhan pelaku usaha.
Karena menjadi bagian dalam jasa keuangan, menurut dia, pemajakan terkait dengan fintech lebih banyak terkait dengan PPh. Dalam ketentuan UU PPN, jasa keuangan termasuk jenis jasa yang tidak dikenai PPN. (KompasTV/DDTCNews)
Kementerian Keuangan mencatat penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) pada Januari 2021 masih terkontraksi 14,9% akibat pandemi Covid-19.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan realisasi penerimaan PPN pada Januari 2021 senilai Rp26,3 triliun atau 5,1% dari target APBN Rp518,5 triliun. Penerimaan PPN dalam negeri secara neto terkontraksi 17,08%, tidak jauh berbeda dibandingkan dengan kinerja pada kuartal IV/2020.
Kontraksi penerimaan PPN dalam negeri pada Januari 2021 berbeda dengan situasi pada Januari 2019 yang tumbuh positif 16,3%. Secara umum, kontraksi itu dipengaruhi melemahnya aktivitas produksi dan permintaan masyarakat akibat pembatasan kegiatan pada masa pandemi Covid-19. (DDTCNews/Kontan/Bisnis Indonesia)
Pelaku usaha dalam perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) kini dapat dikategorikan sebagai pengusaha kena pajak (PKP) pedagang eceran (PE). Mereka akan menerbitkan faktur sesuai dengan ketentuan PKP PE.
Ketentuan ini diatur dalam PP 9/2021. PKP yang melakukan penyerahan barang kena pajak (BKP) dan/atau jasa kena pajak (JKP) kepada pembeli BKP dan/atau penerima JKP dengan karakteristik konsumen akhir, termasuk yang dilakukan melalui PMSE, merupakan PKP PE.
Kasubdit PPN Perdagangan, Jasa & Pajak Tidak Langsung Lainnya DJP Bonarsius Sipayung mengatakan revisi ketentuan PKP PE dalam PP 9/2021 bertujuan menciptakan level playing field antara pedagang eceran konvensional dan PMSE.
"Dunia online sekarang berkembang dan perdagangan eceran tidak harus cash-and-carry, pembayaran bisa melalui debit atau sistem lain. Ini di lapangan menimbulkan persaingan yang tidak sama antara usaha konvensional dan online," katanya. (DDTCNews)
Pemerintah pusat bersama pemerintah daerah akan turut aktif membantu usaha mikro dan kecil (UMK) dalam memperoleh perizinan berusaha seiring dengan diterbitkannya PP 7/2021. Pemerintah pusat dan pemda dituntut untuk turut aktif dalam melakukan identifikasi dan memetakan UMK yang ada berdasarkan tingkat risiko usahanya masing-masing.
Setelah didata, UMK akan didaftarkan melalui sistem perizinan berusaha untuk memperoleh nomor induk berusaha (NIB). "Usaha mikro, kecil, dan menengah dalam kegiatan usahanya harus memiliki perizinan berusaha," bunyi Pasal 37 ayat (1). (DDTCNews) (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Rencana penerbitan regulasi terkait aspek perpajakan PPh dan PPN untuk fintech oleh DJP sudah tepat dikarenakan bertujuan untuk menciptakan penegasan serta kepastian hukum atas transaksi pelaku usaha fintech. Hal ini sekaligus untuk memberikan kesetaraan antara jasa keuangan digital dan konvensional.