Suasana rapat kerja Komisi V DPR bersama pemerintah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (6/2/2025). Rapat tersebut membahas tentang efisiensi anggaran 2025 dari Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman, Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, Kementerian Transmigrasi, BMKG dan BNPP/Basarnas. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
JAKARTA, DDTCNews - Isu kebijakan fiskal mendadak ramai pada awal 2025 ini. Bagaimana tidak, Presiden Prabowo Subianto menginstruksikan efisiensi APBN dan APBD 2025. Akibatnya, nyaris seluruh instansi pemerintahan di level pusat dan daerah harus menyusun siasat penghematan.
Melalui Inpres 1/2025, Prabowo ingin negara bisa berhemat hingga Rp306,69 triliun. Perinciannya, anggaran kementerian dan lembaga dipangkas Rp256,1 triliun, sedangkan transfer ke daerah (TKD) dihemat Rp50,59 triliun.
Secara mendasar, Prabowo ingin seluruh kementerian dan lembaga agar mengurangi kegiatan-kegiatan yang tidak mendesak, seperti rapat, seremoni, dan perjalanan dinas. Namun, pada kenyataannya, penghematan lebih luas dari sekadar 'tidak ada lagi perjalanan dinas'.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menindaklanjuti Inpres 1/2025 dengan menerbitkan surat edaran S-37/MK.02/2025. Isinya, 16 jenis belanja operasional di kementerian/lembaga yang perlu dihemat. Penghematannya beragam, dari 10% hingga 90%.
Penghematan tertinggi menyasar belanja alat tulis kantor (ATK), yakni 90%. Kemudian, sewa gedung, kendaraan, dan peralatan dihemat 73,3%. Lalu, ada pula belanja percetakan dan suvenir yang dihemat 75,9%.
Pemangkasan anggaran oleh Prabowo ini cukup menarik digali kembali. Pengetatan anggaran tidak dilakukan melalui perubahan undang-undang APBN, sehingga secara postur APBN 2025 tidak berubah. Artinya, pengetatan anggaran lebih berupa realokasi belanja ke program-program prioritas pemerintah.
Pada periode ini, pemerintah menyiapkan konsep pokok-pokok kebijakan fiskal dan ekonomi makro. Asumsi dasar ekonomi makro yang akan dipakai sebagai acuan dalam menyusun kapasitas fiskal mulai disiapkan oleh pemerintah bersama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Indonesia (BI).
Kegiatan perencanaan kegiatan dan anggaran dilakukan oleh kementerian negara/lembaga (K/L) yang menghasilkan rencana kerja pemerintah (RKP) dan rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga (RKAKL).
RKP/RKAKL mencerminkan prioritas pembangunan yang telah ditetapkan oleh presiden dan mendapat persetujuan DPR. Setelah melalui pembahasan antar-K/L selaku chief of operation officer (COO) dan menteri keuangan selaku chief financial officer (CFO), dihasilkan rancangan undang-undang APBN yang bersama nota keuangan kemudian disampaikan kepada DPR.
Penyusunan rencana kerja kementerian/lembaga untuk periode 1 tahun dituangkan dalam RKAKL. Selanjutnya, petunjuk teknis penyusunan RKAKL ditetapkan setiap tahun melalui keputusan menteri keuangan.
Memasuki Agustus setiap tahunnya, dilakukan pembahasan antara K/L selaku COO dengan menkeu selaku CFO dan menteri perencanaan, hasilnya berupa RUU APBN dan Nota Keuangan.
Setelahnya, dilakukan pembahasan RUU APBN antara pemerintah dan DPR dengan mempertimbangkan masukan dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Pembahasan RAPBN antara pemerintah dan DPR ini selalu diawali dengan pidato presiden untuk menyampaikan RUU APBN tahun anggaran yang direncanakan serta nota keuangannya. Biasanya, pidato presiden dan nota keuangan disampaikan pada 16 Agustus setiap tahunnya, menjelang peringatan kemerdekaan RI.
Dalam pembahasan ini, DPR dapat mengajukan usul yang membuat perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam RUU APBN. Pengambilan keputusan oleh DPR mengenai RUU APBN dilakukan paling lambat 2 bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dibahas. Misal, keputusan RUU APBN 2025 dilakukan paling lambat Oktober 2024.
Apabila DPR tidak menyetujui RUU APBN yang diajukan pemerintah, pemerintah bisa melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBN tahun anggaran sebelumnya.
Setelah dilakukan pembahasan dan mempelajari nota keuangan serta RUU APBN yang disampaikan presiden, masing-masing fraksi memberikan pandangan umum fraksi.
Pandangan umum fraksi ini meliputi pendapat dan tanggapan masing-masing fraksi atas asumsi dasar ekonomi makro, target pendapatan, serta rencana kebijakan yang mencakup alokasi belanja. Pandangan umum ini disampaikan dalam rapat paripurna pada pekan keempat Agustus.
APBN yang telah ditetapkan dengan UU, perincian pelaksanaan APBN dituangkan lebih lanjut dengan peraturan presiden (perpres) tentang perincian APBN. Selanjutnya, menkeu memberi tahu kepada menteri/pimpinan negara/lembaga agar menyampaikan dokumen pelaksanaan anggaran untuk masing-masing kementerian/lembaga.
Menteri/pimpinan lembaga selanjutnya menyusun dokumen pelaksanaan anggaran untuk kementerian/lembaga yang dipimpinnya, berdasarkan alokasi anggaran yang ditetapkan dalam perpres tentang perincian APBN.
Pelaksanaan anggaran diawali dengan disahkannya dokumen pelaksanaan oleh menteri keuangan. Dokumen anggaran yang telah disahkan oleh menkeu kemudian disampaikan kepada menteri/pimpinan lembaga, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), gubernur, dirjen anggaran, dirjen perbendaharaan, Kakanwil Ditjen Perbendaharaan, kuasa bendahara umum negara (KPPN), dan kuasa pengguna anggaran.
Dokumen itu menjadi acuan dan dasar hukum pelaksanaan APBN oleh kementerian/lembaga dan bendahara umum negara. Dokumen-dokumen penting dalam pelaksanaan anggaran adalah Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dan dokumen lain yang dipersamakan dengan DIPA.
Sementara itu, dokumen pembayaran antara lain Surat Permintaan Pembayaran (SPP), Surat Perintah Membayar (SPM), dan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D).
Bersamaan dengan tahapan pelaksanaan APBN, kementerian/lembaga dan bendahara umum negara melakukan pelaporan dan pencatatan sesuai dengan standar akuntansi pemerintah (SAP) sehingga menghasilkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). LKPP terdiri atas Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Neraca, Laporan Arus Kas (LAK), dan Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK).
Laporan keuangan kementerian negara/lembaga yang disusun oleh menteri/pimpinan lembaga disampaikan kepada menteri keuangan selambat-lambatnya 2 bulan setelah tahun anggaran berakhir.
Kemudian menkeu menyusun rekapitulasi laporan keuangan seluruh instansi kementerian negara.Menkeu selaku bendahara umum negara juga menyusun Laporan Arus Kas. Semua laporan keuangan tersebut disusun oleh menteri keuangan selaku pengelola fiskal sebagai wujud laporan keuangan pemerintah pusat disampaikan kepada presiden dalam memenuhi pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.
Selanjutnya, presiden menyampaikan LKPP kepada BPK paling lambat tiga bulan setelah tahun anggaran berakhir. Audit atas laporan keuangan pemerintah harus diselesaikan selambat-lambatnya dua bulan setelah laporan keuangan tersebut diterima oleh BPK dari pemerintah.
Presiden lantas menyampaikan RUU tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN kepada DPR berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh BPK, selambat-lambatnya 6 bulan setelah tahun anggaran berakhir.
Kemudian, atas LKPP oleh pemerintah, BPK melakukan pemeriksaan. LKPP yang telah diaudit oleh BPK tersebut disampaikan oleh presiden kepada DPR dalam bentuk rancangan undang-undang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN untuk dibahas dan disetujui.
Tahap pengawasan pelaksanaan APBN ini memang tidak diungkap secara nyata dalam UU 17/2003 tentang Keuangan Negara. Namun, Keputusan Presiden 42/2002 jo Keputusan Presiden 72/2004 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN pada Bab IX memuat hal-hal yang mengatur pengawasan pelaksanaan APBN.
Pada tahap tersebut, pengawasan terhadap pelaksanaan APBN dilakukan oleh atasan/kepala kantor/satuan kerja kementerian negara/lembaga dalam lingkungannya. Atasan langsung bendahara melakukan pemeriksaan kas bendahara sekurang-kurangnya tiga bulan sekali.
Inspektur Jenderal masing-masing kementerian negara/lembaga dan unit pengawasan pada lembaga melakukan pengawasan atas pelaksanaan APBN di lingkungan kementerian negara/lembaga bersangkutan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Inspektur Jenderal kementerian negara/lembaga dan pimpinan unit pengawasan lembaga wajib menindaklanjuti pengaduan masyarakat mengenai hal-hal yang terkait dengan pelaksanaan APBN.
Selain pengawasan yang dilakukan oleh pihak eksekutif, terdapat pula pengawasan yang dilakukan oleh DPR atau legislatif baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengawasan secara langsung dilakukan melalui mekanisme monitoring berupa penyampaian laporan semester I kepada DPR selambat-lambatnya satu bulan setelah berakhirnya semester I tahun anggaran yang bersangkutan.
Laporan tersebut harus pula mencantumkan prognosa untuk semester II dengan maksud agar DPR dapat mengantisipasi kemungkinan ada atau tidaknya APBN Perubahan untuk tahun anggaran yang bersangkutan.
Laporan semester I dan prognosa semester II tersebut dibahas dalam rapat kerja antara Panitia Anggaran DPR dan Menteri Keuangan sebagai wakil pemerintah. Pengawasan tidak langsung dilakukan melalui penyampaian hasil pemeriksaan BPK atas pelaksanaan APBN kepada DPR. Pemeriksaan yang dilakukan BPK menyangkut tanggung jawab pemerintah dalam melaksanakan APBN. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.