JAKARTA, DDTCNews – Kinerja pemeriksaan pajak masih belum optimal. Topik tersebut menjadi bahasan beberapa media nasional pada hari ini, Selasa (12/11/2019).
Dengan basis perhitungan wajib pajak (WP) pada 2018, rasio cakupan pemeriksaan (audit coverage ratio/ ACR) masih sebesar 1,6%. Adapun standar besaran ACR dari International Monetary Fund (IMF) sebesar 3%—5%.
Berdasarkan Laporan Kinerja (Lakin) 2018 DJP, realisasi ACR WP orang pribadi (OP) mencapai 0,62%. Sementara, ACR WP badan tercatat sebesar 3,23%. ACR dihitung berdasarkan hasil pembagian antara WP yang diperiksa dengan jumlah WP terdaftar yang wajib menyampaikan
surat pemberitahuan (SPT).
Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama mengungkapkan belum optimalnya aktivitas pemeriksaan ini dikarenakan adanya ketimpangan antara jumlah pemeriksa pajak dengan jumlah WP yang diperiksa. Apalagi,
WP terus bertambah tiap tahunnya.
“Peningkatan ACR tak bisa dilakukan dalam waktu dekat. Kami lebih fokus meningkatkan kualitas dan kinerja pemeriksaan,” katanya.
Selain itu, beberapa media nasional juga menyoroti tentang persoalan pajak keuangan syariah. Setidaknya, terdapat dua hal yang perlu disoroti. Pertama, masalah kepastian hukum. Kedua, rezim insentif.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan beberapa perbaikan telah dilakukan pemerintah. Salah satunya dengan kebijakan restitusi dipercepat yang membuat pemeriksaan lebih diarahkan untuk menggali potensi
penerimaan.
Tidak hanya itu, DJP juga mengambil kebijakan perencanaan pemeriksaan yang fokus pada WP dengan indikasi ketidakpatuhan yang tinggi serta potensi hasil pemeriksaan cukup material. Hal tersebut masuk dalam compliance
risk management (CRM).
Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji mengatakan berdasarkan OECD Tax Administration Survey 2019 yang merujuk pada kondisi 2017, ada beberapa hal yang bisa menjadi perhatian. Pertama, tiap negara umumnya memiliki pola ACR yang
berbeda antara WP OP dan badan. ACR WP badan umumnya lebih tinggi.
Kedua, ACR WP OP pada umumnya berada di kisaran 2,5%-3% yang bisa dianggap sebagai angka international practices meski belum tentu angka ideal. Ketiga, untuk ACR WP badan pada umumnya berada di atas 5%. Keempat, ACR pada 2017
untuk WP OP berada di bawah 0,5%.
Bawono menyebutkan dari semua jenis WP maka ACR untuk WP OP masih bisa ditingkatkan. Dia pun tidak menampik jika aktivitas audit dapat digunakan sebagai instrumen untuk meningkatkan kepatuhan.
Researcher DDTC Fiscal Research Awwaliatul Mukarromah dalam perspektif perpajakan berjudul ‘Mempertimbangkan Rezim Pajak Keuangan Syariah’ mengatakan industri keuangan syariah bisa dikatakan sebagai infant industry. Dengan demikian, jika dilepaskan
lewat mekanisme pasar, sektor ini akan mengalami kesulitan mengejar ketertinggalan dengan keuangan konvensional.
“Untuk itu, diperlukan intervensi kebijakan instrumen fiskal yang tepat,” katanya.
Dengan menjamin kepastian hukum dan desain insentif pajak yang tepat, diharapkan industri keuangan syariah Indonesia tidak saja menjadi mesin utama penggerak ekonomi nasional, tapi juga dapat menjadi pemain utama dalam keuangan syariah global.
DJP menyebutkan hingga 8 November 2019 tercatat 70 pengaduan wajib pajak. Adapun yang dilaporkan wajib pajak meliputi pengaduan sarana dan prasarana pelayanan perpajakan, pengaduan kode etik dan/atau disiplin pegawai, dan pengaduan tindakan pidana perpajakan.
"Sejak tahun 2015 jumlah pengaduan terus mengalami penurunan. Hingga puncaknya, jika tidak ada penambahan yang signifikan, maka pengaduan di tahun 2019 ini adalah yang terendah sepanjang lebih dari satu dekade terakhir,” demikian pernyataan DJP. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
ACR .. di DJP jgnlah diukur dgn benchmark ..negara maju.. agak jauhlah krn mrk sdh adakan Tax Reform .. bukan saza sekala penerimaan absolutnya.. namun ttg perilaku korporasinya sdh bagus (good cooperate governance) .. sepanjang ..Tx Reform gak tahu juntrungannya, kedua. system informasi perpajkan masih terkotak2..3, penguasaan sumber2 informasi pajak (data, WP-profile ) belum sempurna..bgmn kejar WP yg sering "bercanda" alias "mbeler" ke 4, perlakuan pemerintah belum meliht azas keadilan (daya pikul) contoh bunga kena 20% final ..transaksi hak preferen saham ..0,5% gak tahu apakah punya manfaat ekonomis lebih at tidak..? jlasnya gak adil krn soal agio sahamnya (capital gain) gk dihitung ke 5, dst-dst .. mka tangeh lamun target tercapai bisa berhasil bagus Tx Compliance naik.. jgn salahain WP ..perilaku dlm banyak penelitian dibbrp negara WP besar seringnya ada sedikit ..menghidar dan melakukan tax panning yang cerdas dan rasional.. sedikit transfer pricing.. halus dan gak nampak >>
Masyalah diDJP ..adalah sumber2 data yg terkoneksi dr internal anatar kementrian itu sendiri maupun eksternal kementrian terkait contohnya antar Institusi..dr aspek legal ttg kontrak dan perjanjian kerja sama, pendirian,perubahan akuisisi terselubung dll akte auntentik ada di minuta dikumpul kementrian kehakiman bisakah dibuka oleh DJP?) ,dan masih banyak lagi eksternal ... spt data bisnis on line (market place, fintek.. Link dll) ..mampukah IT-DJP unduk/buka?
WP besar yang katagori gajah ..dan yg audited ..kelas jempol.. ada sebagian yg gunakan Tax Planning.. dan mungkin juga ada sih yang mlkk transfer pricing ..halus .. sepanjang DJP gak tahu ... dan memang sulit u dilihat ... sebaiknya yang penting adalah data WP harus dikuasai baik di dlm Negeri dan negara2 terkait.. trnsaksi