Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Barang kebutuhan pokok premium, jasa kesehatan premium, dan jasa pendidikan premium belum akan langsung dikenai PPN pada 1 Januari 2025. Topik tersebut menjadi salah satu ulasan utama media nasional pada hari ini, Senin (23/12/2024).
Menurut Ditjen Pajak (DJP), tarif umum PPN sebesar 12% atas barang kebutuhan pokok premium, jasa kesehatan premium, dan jasa pendidikan premium baru berlaku sepanjang aturan teknisnya sudah ditetapkan.
"Atas seluruh barang kebutuhan pokok dan jasa kesehatan/pendidikan pada tanggal 1 Januari 2025 akan tetap bebas PPN sampai diterbitkannya peraturan terkait," tulis DJP dalam keterangan resmi yang dirilis akhir pekan lalu.
DJP menambahkan bahwa pemerintah akan membahas kriteria barang dan jasa premium secara hati-hati sehingga pengenaan PPN atas barang dan jasa dimaksud benar-benar hanya dikenakan terhadap lapisan masyarakat yang sangat mampu.
"Ini agar pengenaan PPN atas barang dan jasa tertentu dengan batasan di atas harga tertentu tersebut dapat dilakukan secara tepat sasaran, yaitu hanya dikenakan terhadap kelompok masyarakat sangat mampu," jelas DJP.
Kemenko Perekonomian sebelumnya mengungkapkan pengenaan PPN atas barang kebutuhan pokok premium, jasa kesehatan premium, dan jasa pendidikan premium akan diberlakukan lewat revisi atas Peraturan Pemerintah (PP) 49/2022.
Saat ini, barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, dan jasa pendidikan, baik yang bersifat umum maupun premium, sama-sama dibebaskan dari pengenaan PPN sesuai dengan PP 49/2022.
Oleh karena itu, revisi atas PP 49/2022 nantinya bakal memuat klausul yang menegaskan perbedaan dari bahan makanan, jasa kesehatan, serta jasa pendidikan yang bersifat umum dan yang bersifat premium.
"Harus diperjelas, sesama jasa pendidikan yang mana [yang kena PPN]. Pada pekan ini kita bahas teknisnya dengan Kemenkeu, termasuk jasa kesehatan yang mana yang kena dan yang tidak," ujar Sekretaris Kemenko Perekonomian Susiwijono Moegiarso.
Selain PPN, ada pula ulasan mengenai dampak PPN terhadap pertumbuhan ekonomi. Lalu, ada juga bahasan terkait dengan ambang batas PPh final UMKM dan batasan omzet wajib dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP).
Seiring dengan adanya pengenaan PPN terhadap beberapa barang dan jasa premium, Kementerian Keuangan menyatakan kenaikan tarif PPN dari 11% ke 12% juga tidak akan berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu mengatakan perekonomian nasional diperkirakan tetap akan konsisten tumbuh di atas 5%.
"Dampak kenaikan PPN ke 12% terhadap pertumbuhan ekonomi tidak signifikan," katanya dalam keterangan resmi. (DDTCNews/Bisnis Indonesia)
Dalam keterangan resmi pekan lalu, DJP juga menegaskan pemerintah tidak memiliki rencana untuk menurunkan ambang batas (threshold) omzet PPh final UMKM dan threshold pengusaha kena pajak (PKP).
Dalam keterangan resminya, otoritas pajak menyatakan threshold omzet PPh final UMKM dan PKP hingga saat ini tetap senilai Rp4,8 miliar per tahun dan belum akan diturunkan menjadi Rp3,6 miliar per tahun.
"Sampai saat ini pemerintah tak berencana menurunkan batas omzet bagi pengusaha untuk memakai tarif PPh 0,5% maupun batasan untuk dikukuhkan sebagai PKP, dari Rp4,8 miliar per tahun menjadi Rp3,6 miliar per tahun," tulis DJP. (DDTCNews)
Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) mencatat realisasi insentif kepabeanan hingga November 2024 senilai Rp33,9 triliun.
Kepala Subdirektorat Humas dan Penyuluhan DJBC Budi Prasetiyo mengatakan realisasi insentif kepabeanan ini tumbuh 18,7% secara tahunan. Menurutnya, pemberian insentif kepabeanan tersebut sejalan dengan fungsi DJBC sebagai industrial assistance dan trade facilitator.
"Peningkatan ini didukung oleh insentif untuk kawasan berikat, penanaman modal, serta kebutuhan pertahanan dan keamanan," katanya. (DDTCNews/Kontan)
DJP menekankan bahwa PPN sebesar 12% tidak dikenakan atas nilai pengisian uang (top-up), nilai saldo, dan nilai transaksi jual beli pada dompet digital.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69/2022, PPN dikenakan atas jasa layanan penggunaan dompet digital, bukan atas nilai top-up, saldo, atau nilai transaksinya.
"Jasa atas transaksi uang elektronik dan dompet digital selama ini telah dikenakan PPN sesuai dengan ketentuan PMK 69/2022," tulis DJP dalam keterangan resmi. (DDTCNews)
Dalam melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21 masa pajak Desember 2024, pemberi kerja perlu membuatkan bukti potong tahunan atau formulir 1721-A1.
Khusus untuk masa pajak Desember atau masa pajak terakhir, pemberi kerja tidak perlu membuatkan bukti potong bulanan atau formulir 1721-VIII seperti masa pajak Januari-November atau selain masa pajak terakhir.
Bukti potong bulanan memang dibuat untuk pegawai tetap atau pensiunan yang menerima pensiun secara berkala atas penghasilan setiap masa pajak selain masa pajak terakhir.
"Untuk pengisian SPT Masa PPh 21 Masa Pajak Desember 2024 cukup membuatkan bukti potong tahunan 1721-A1 atau 1721-A2 pada Masa Desember [Masa Pajak Terakhir] saja dan tidak perlu membuat bukti potong bulanan ya," tulis Kring Pajak. (DDTCNews)
Menurut Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, kenaikan tarif PPN menjadi 12% sejalan dengan upaya optimalisasi pendapatan negara, terutama dari sisi pajak. Peningkatan pendapatan pajak juga akan mendukung misi Asta Cita yang diusung Presiden Prabowo Subianto.
"Peningkatan pendapatan negara di sektor pajak itu penting untuk mendorong program Asta Cita dan prioritas bapak presiden," katanya.
Airlangga menambahkan Prabowo memiliki beberapa program prioritas yang akan dilakukan selama pemerintahan ini di antaranya mendorong kedaulatan pangan dan energi, melaksanakan pembangunan infrastruktur, serta meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan masyarakat. (DDTCNews)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.