Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Beberapa media nasional hari ini, (4/10/2019) memberitakan terkait pencairan restitusi. Sejumlah kantor pelayanan pajak (KPP) dikabarkan mulai mengatur ritme pencairan restitusi di tengah masih lambatnya pertumbuhan penerimaan pajak.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi penerimaan pajak selama Januari—Agustus 2019 tercatat senilai Rp801,16 triliun atau 50,78% dari target APBN 2019 senilai Rp1.577,5 triliun. Realisasi itu sekaligus mencatat pertumbuhan 0,21% (year on year/yoy).
Pertumbuhan tercatat melambat signifikan dibandingkan dengan realisasi periode yang sama tahun lalu sebesar 16,52%. Selain itu, pertumbuhan itu juga tercatat makin lambat dibandingkan realisasi periode Januari—Juli 2019 sebesar 2,68%.
Otoritas mengatakan melambatnya pertumbuhan penerimaan pajak dalam delapan bulan pertama tahun ini juga masih dipengaruhi oleh besarnya permintaan dan pencairan restitusi. Hal ini sejalan dengan kebijakan restitusi dipercepat yang diluncurkan pemerintah.
Menanggapi kabar terkait pengaturan ritme pencairan restitusi, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama membantahnya. Dia memastikan penyelesaian permintaan restitusi akan dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku saat ini.
“Kita juga tidak mungkin terlambat dari jangka waktu yang telah diatur dalam undang-undang,” ujarnya.
Selain itu, beberapa media nasional juga menyoroti upaya Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) yang terus melakukan pembenahan dalam konteks reformasi kepabaeanan. Pembenahan regulasi dan pelayanan ekspor-impor tidak lepas dari reformasi tersebut.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji mengatakan prospek penerimaan pajak tahun ini seharusnya tidak perlu terlalu dikaitkan dengan ritme pencairan restitusi, terutama pajak pertambahan nilai (PPN).
Restitusi, sambungnya, merupakan konsekuensi logis dari netralitas dalam sistem PPN Netralitas ini memungkinkan dalam suatu masa, pajak masukan lebih besar dibandingkan dengan pajak keluaran. Kelebihan pajak masukan ini adalah hak dari pengusaha kena pajak yang wajib dikembalikan.
Idealnya, sambung Bawono, restitusi harus dikembalikan setelah pembayaran pajak diterima oleh otoritas. Penundaan pencairan resitusi sama artinya mencederai prinsip PPN sebagai pajak atas konsumsi.
“Tidak mengherankan jika banyak negara yang memiliki kebijakan bahwa pembayaran klaim restitusi diberikan secepatnya setelah pengajuan,” katanya.
Kebijakan restitusi dipercepat seharusnya perlu dipahami sebagai langkah untuk mengurangi distorsi atas cash flow dari wajib pajak. DJP juga bisa mengalokasikan sumber daya manusia (SDM) untuk bisa fokus melakukan upaya meningkatkan kepatuhan.
“Dengan demikian, justru saya melihatnya percepatan restitusi justru akan baik bagi kepatuhan karena memberikan kepastian bagi wajib pajak dan penggunaan SDM yang lebih efisien dari sisi otoritas pajak,” kata Bawono.
Beberapa langkah yang dilakukan DJBC dalam reformasi kepabeanan antara lain penyempurnaan risk assessment system advanced, penanganan dwelling time, penyelarasan serta penyederhanaan larangan dan pembatasan (lartas), penguatan post border lartas, serta penyederhanaan regulasi lintas batas.
“Dengan arus logistic yang lancar dan efisien, biaya ekonomi akan makin ideal sehingga dapat mendorong daya saing industri yang pada akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi nasional,” ujar Dirjen Bea dan Cukai Heru Pambudi.
Perlambatan pertumbuhan ekonomi akan berisiko menurunkan kemampuan pemerintah dan korporasi dalam membayar utang. Oleh karena itu, pertumbuhan utang luar negeri Indonesia harus dikendalikan agar rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) menurun. Risiko gagal bayar utang pun pada akhirnya bisa dihindari. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.