Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Pemberi kerja perlu membuatkan bukti potong (bupot) 1721-A1 bagi pegawai yang pindah cabang pada tahun berjalan. Terhadap pegawai yang pindah cabang itu, pada masa terakhir tidak dibuatkan bukti potong bulanan.
Ketika seorang pegawai pindah unit/cabang pada tahun berjalan, cabang lama perlu mengikuti penghitungan PPh Pasal 21 atas pegawai tetap yang berhenti bekerja atau resign pada tahun berjalan. Ketentuan ini bisa dilihat pada Lampiran B Bagian Kedua Romawi 1.2.2.1 PMK 168/2023.
"Sementara di cabang baru, silakan ikuti penghitungan PPh Pasal 21 atas pegawai tetap yang mulai bekerja pada pemberi kerja lainnya pada tahun berjalan," tulis Kring Pajak saat merespons pertanyaan netizen, Jumat (5/7/2024).
Artinya, penghitungan PPh Pasal 21 pada masa pajak terakhir karyawan yang pindah cabang atau berhenti bekerja pada tahun berjalan tidak menggunakan tarif efektif rata-rata (TER). Terhadap karyawan yang pindah cabang atau resign tersebut, PPh Pasal 21 terutang dihitung menggunakan tarif PPh Pasal 17 UU PPh s.t.t.d UU HPP.
Selanjutnya, pada saat pegawai mulai bekerja di cabang baru, hitungan PPh Pasal 21 pada masa pajak yang baru menggunakan TER kembali. Barulah pada masa pajak terakhir (Desember), penghitungan PPh Pasal 21 menggunakan tarif PPh Pasal 17 UU PPh.
PMK 168/2023 memberikan contoh perhitungan PPh Pasal 21 pegawai yang berhenti bekerja di pertengahan tahun. Pada contoh berikut ini, nama perusahaan lama diganti diksinya dengan 'cabang lama', sedangkan perusahaan baru diganti dengan 'cabang baru'.
Dalam Lampiran Huruf B romawi I.2, diberikan contoh Tuan D yang mulai bekerja pada Cabang Lama sejak 2020. Tuan D berstatus tidak menikah dan tidak memiliki tanggungan.
Pada 1 September 2024 Tuan D pindah dari Cabang Lama ke Cabang Baru. Selama 2024, Tuan D menerima gaji senilai Rp17,5 juta per bulan dari Cabang Lama dan membayar iuran pensiun setiap bulan Rp100 ribu.
Berdasarkan status penghasilan tidak kena pajak, Tuan D TK/0, maka besarnya pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Tuan D dihitung berdasarkan TER bulanan kategori A. Penghitungan PPh Pasal 21 pada setiap masa pajak selain masa pajak terakhir adalah sebagai berikut:
Penghitungan PPh Pasal 21 pada masa pajak terakhir, yakni Agustus 2024 dihitung sebagai berikut:
Penghasilan bruto sampai dengan Agustus 2024 Rp140 juta. Dengan pengurangan:
Biaya jabatan, 8 bulan x Rp500 ribu = Rp4 juta
Iuran pensiun, 8 x Rp100 ribu = Rp800 ribu
Total pengurangan Rp4,8 juta
Penghasilan neto sampai dengan Agustus 2024 = Rp135,2 juta
Penghasilan tidak kena pajak setahun = Rp135,2 juta - Rp54 juta = Rp81,2 juta
PPh Pasal 21 sampai dengan Agustus 2024:
(5% x Rp60 juta) + (15% x Rp21,2 juta) = Rp3.000.000 + Rp3.180.000 = Rp6.180.000
PPh Pasal 21 yang telah dipotong sampai dengan Juli 2024 Rp9.800.000. Artinya, PPh Pasal 21 yang lebih dipotong senilai Rp3.620.000.
Kelebihan pemotongan PPh Pasal 21 itu akan dikembalikan oleh Cabang Lama kepada Tuan D beserta dengan pemberian bukti potong PPh Pasal 21 Masa Pajak terakhir paling lambat bulan berikutnya setelah Tuan D bekerja di Cabang Lama, yakni akhir September 2024.
Tuan D wajib melaporkan penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Cabang Lama dalam SPT Tahunan tahun pajak 2024. Kemudian, PPh Pasal 21 yang telah dipotong senilai Rp6.180.000 merupakan kredit pajak dalam SPT Tahunan tahun pajak 2024 bagi Tuan D.
Melanjutkan contoh penghitungan di atas, setelah bekerja pada Cabang Lama, pada September 2024 Tuan D bekerja di Cabang Baru dan menerima atau memperoleh gaji senilai Rp22.500.000 per bulan. Tuan D membayar iuran pensiun Cabang Baru sebesar Rp100.000 per bulan.
Berdasarkan status PTKP Tuan D (TK/0) maka besarnya pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Tuan D dihitung berdasarkan TER bulanan kategori A.
Penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima Tuan D dari Cabang Baru sebagai berikut:
Penghitungan PPh Pasal 21 pada masa pajak terakhir (dalam hal tuan D menyerahkan bukti pemotongan pajak dari Cabang Lama ke Cabang Baru):
Penghitungan PPh Pasal 21 terutang pada Desember 2024:
Penghasilan bruto September hingga Desember 2024 senilai Rp90.000.000. Kemudian, ada pengurangan berupa:
Biaya jabatan, 4 x Rp500.000 = Rp2.000.000
Iuran pensiun, 4 x Rp100.000 = Rp400.000
Total pengurang = Rp2.400.000
Penghasilan neto September-Desember 2024 di cabang baru = Rp87.600.000
Penghasilan neto Januari-Agustus 2024 di cabang lama = Rp135.200.000
Artinya, penghasilan neto Januari-Desember 2024 di cabang baru + baru = Rp222.800.000
Penghasilan kena pajak setahun = Rp222.800.000 - Rp54.000.000 = Rp168.800.000
PPh Pasal 21 terutang setahun = (5% x Rp60.000.000) + (15% x Rp108.800.00) = Rp3.000.000.000 + Rp16.320.000 = Rp19.320.000
Dengan PPh Pasal 21 yang dipotong Januari-Agustus 2024 di cabang lama = Rp6.180.000; maka PPh Pasal 21 terutang September-Desember 2024 = Rp13.140.000.
Kemudian, dikurangi PPh Pasal 21 yang sudah dipotong di cabang baru selama September-November 2024 Rp6.075.000, maka PPh Pasal 21 yang wajib dipotong pada Desember 2024 adalah Rp7.065.000. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.