Partner of Tax Research & Training Services DDTC B. Bawono Kristiaji.
JAKARTA, DDTCNews – Indonesia masih dihadapkan pada masalah rendahnya rasio pajak terhadap produk domestik bruto (tax ratio) untuk menjamin pembangunan yang berkelanjutan. Rekomendasi dari IMF dan OECD bisa menjadi pertimbangan pemerintah untuk mengerek tax ratio.
Dua rekomendasi ini menjadi salah satu topik bahasan dalam talkshow bertajuk ‘Strategi, Peluang, dan Tantangan Indonesia dalam Meningkatkan Tax Ratio pada tahun 2020 – 2025’ di Kampus Institut STIAMI, Jumat (13/9/2019).
Partner of Tax Research & Training Services DDTC B. Bawono Kristiaji mengatakan rekomendasi dari IMF dan OECD dan diklaim mampu meningkatkan tax ratio secara signifikan bila diaplikasikan secara konsisten dalam lima tahun.
“Untuk rekomendasi IMF lebih progresif karena bisa meningkatkan tax ratio hingga 5% dalam lima tahun. Kontribusinya berasal dari perbaikan kebijakan sebesar 3,5% dan perbaikan administrasi menyumbang 1,5%,” katanya di Auditorium Institut STIAMI, Jumat (13/9/2019).
Bawono menerangkan kedua rekomendasi memiliki beberapa kesamaan yaitu melakukan pembenahan di bidang administrasi pajak. Keduanya juga menekankan pentingnya pembaruan administrasi pajak yang mengadopsi perkembangan teknologi terkini.
Namun, ada yang menjadi pembeda, yaitu penguatan organisasi pajak menjadi semi autonomous revenue authorities (SARA) atau menjadi badan yang terpisah dari Kementerian Keuangan. Penguatan institusi ini diharapkan mampu meningkatkan derajat pelayanan dan dalam aspek penegakan hukum.
“Bila dari sisi institusi, IMF merekomendasikan agar institusi administrasi pajak diperkuat. Dengan menjadi badan yang semi independen, DJP diharapkan menjadi lebih kuat dari sisi kewenangan dan mempunyai independensi besar,” paparnya.
Sementara, rekomendasi OECD mengarah kepada dua aspek. Pertama, edukasi dan sosialisasi. Kedua, melakukan kalkulasi atas insentif pajak yang diberikan dalam bentuk laporan belanja perpajakan. Kedua ranah ini relatif sudah dilakukan oleh otoritas fiskal dalam dua tahun terakhir, terutama terkait laporan belanja perpajakan.
“Untuk tax expenditure, laporannya sudah berjalan. Inti pertama dari tax expenditure Indonesia itu sebagai transparansi fiskal dan ukuran efektivitas insentif fiskal bisa lebih terkontrol,” imbuh Bawono.
Acara tersebut dibuka oleh Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Institut STIAMI Bambang Irawan. Selain B. Bawono Kristiaji, ada pula 3 pembicara lain yaitu Kasubdit Penerimaan Pajak Langsung Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Widodo Ramadiyanto, Kasubdit Pengelolaan Penerimaan Pajak Direktorat Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Pajak DJP Samingun, dan Wakil Sekretaris Umum BPD Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Ndita Herry Pramana. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.