Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji (kanan) dalam peluncuran laporan Perkumpulan Prakarsa 'Menguak Aliran Keuangan Gelap di Enam Komoditas Ekspor Unggulan Indonesia', Kamis (28/3/2019).
JAKARTA, DDTCNews – Perkumpulan Prakarsa merilis studi yang menyebutkan aliran keuangan gelap (illicit financial flows) merugikan Indonesia hingga ratusan miliar dolar AS. Temuan tersebut berasal dari studi yang merujuk pada data perdagangan semata.
Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji mengatakan praktik aliran keuangan gelap memiliki bentuk dan modus yang beragam. Praktik tersebut tidak hanya menjadi domain kegiatan ilegal karena kegiatan legal pun dapat diklasifikasi sebagai aliran keuangan gelap dengan syarat tertentu.
“Aliran keuangan gelap bisa berasal dari berbagai motif dan bentuk, mulai dari menghindari suatu regulasi, penyalahgunaan pajak, penyalahgunaan kekuasaan, hingga menyembunyikan kegiatan kriminal. Ini bisa bersifat ilegal maupun juga kegiatan legal dimana metode perolehan uang dan penyalurannya tidak sesuai ketentuan,” katanya dalam peluncuran laporan Perkumpulan Prakarsa 'Menguak Aliran Keuangan Gelap di Enam Komoditas Ekspor Unggulan Indonesia', Kamis (28/3/2019).
Lebih lanjut, Bawono menjelaskan praktik aliran keuangan gelap tidak hanya berkaitan dengan aspek perpajakan semata. Selain dipengaruhi oleh perbedaan sistem fiskal, praktik ini berkaitan erat dengan sistem ekonomi dan politik suatu negara.
Globalisasi yang dibarengi dengan sistem pajak yang bervariasi, kehadiran tax haven, serta minimnya transparansi telah meningkatkan risiko praktik aliran keuangan gelap yang berkaitan dengan pajak. Praktik pengelakan pajak atau tax evasion, sambungnya, bisa bergerak leluasa di tengah kerahasiaan sistem keuangan dan perbankan.
“Praktik ini berimplikasi kepada penerimaan, kemudian melemahkan kemapuan negara dalam mengentaskan kemiskinan dan menggenjot pertumbuhan ekonomi,” ungkapnya.
Demi memerangi praktik tersebut, sejumlah kerangka kerja diinisiasi mulai dari tingkat global hingga tataran domestik. Era transparansi dan memerangi penghindaran pajak dimulai dengan kerangka kerja Base Erosion and Profit Shifting (BEPS). Kemudian berlanjut dengan skema Automatic Exchange of Information (AEoI) untuk mengakhiri era kerahasian perbankan dalam skala global.
Itikad baik tersebut kemudian dilanjutkan ke dalam kebijakan domestik. Undang-Undang No.9/2017 dan Peraturan Presiden No.18/2018 menjadi landasan hukum untuk menegakkan transparansi keuangan di dalam negeri.
“Kemudian ada juga joint audit antara DJP dan DJBC terutama dalam meninjau kewajaran transaksi perdagangan internasional. Selain itu ada banyak inisiatif yang dilakukan dalam konteks reformasi sistem pajak,” paparnya.
Seperti diketahui, studi Prakarsa menemukan indikasi aliran keuangan gelap pada kurun waktu 1989-2017 yang merugikan negara ratusan miliar dolar. Enam komoditas ekspor menjadi sasaran tembak studi yakni batu bara, kelapa sawit, karet, kopi, tembaga, dan udang—udangan
Hasilnya, dalam kurun waktu tersebut indikasi aliran keuangan gelap yang masuk sebesar US$101,49 miliar. Sementara itu, aliran keuangan gelap yang ke luar negeri mencapai US$40,58 miliar.
Besarnya angka indikasi tersebut menurut Bawono harus menjadi perhatian serius. Pasalnya, kerugian tidak hanya berkutat kepada dimensi fiskal semata. Lebih jauh dari itu, ekonomi nasional dapat bergerak lebih cepat jika pemerintah mampu menanggulangi permasalahan tersebut.
“Siapapun pemimpin nasional kita ke depan perlu untuk mencari solusi terbaik dalam mencegah aliran dana gelap ke luar maupun menarik dana-dana yang tersebar di berbagai negara ke dalam negeri. Ini bukan hanya demi soal penerimaan pajak semata, tetapi juga turut menjamin ketersediaan dana dan investasi demi perekonomian nasional,” terangnya. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.