KEBIJAKAN CUKAI

'Diskon Rokok' Disebut Berpotensi Rugikan Negara Rp2,6 Triliun

Dian Kurniati | Kamis, 18 Juni 2020 | 15:54 WIB
'Diskon Rokok' Disebut Berpotensi Rugikan Negara Rp2,6 Triliun

Suasana pekerja di ruang produksi pabrik rokok PT Digjaya Mulia Abadi (DMA) mitra PT HM Sampoerna, Kabupaten Madiun, Jawa Timur, Selasa (16/6/2020). Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengkritik kebijakan yang membolehkan penetapan harga transaksi pasar (HTP) hanya 85% dari harga jual eceran (HJE) rokok. (ANTARA FOTO/Siswowidodo/hp)

JAKARTA, DDTCNews - Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengkritik kebijakan yang membolehkan penetapan harga transaksi pasar (HTP) hanya 85% dari harga jual eceran (HJE) rokok.

Direktur Eksekutif Indef Tauhid Achmad menyebut kebijakan itu sebagai pemberian 'diskon' 15% kepada konsumen rokok. Padahal, menurutnya 'diskon rokok' tersebut berpotensi merugikan negara hingga puluhan triliun setiap tahun.

"Kerugian negara yang dihitung ini baru berasal dari potensi PPh (pajak penghasilan) yang tidak bisa dibayarkan," katanya dalam sebuah webinar di Jakarta, Kamis (18/6/2020).

Baca Juga:
Masa Berlaku Tax Holiday PMK 130/2020 Diperpanjang hingga Akhir 2025

Tauhid menjelaskan izin memotong HTP rokok sebesar 15% berarti mengurangi pendapatan pabrik rokok yang menjadi dasar penghitungan PPh badan. Menurut hitungan Indef, potensi penerimaan PPh yang hilang mencapai Rp1,73 triliun.

Pengamat antikorupsi Emerson Yuntho menambahkan kebijakan menaikkan tarif cukai rokok sebesar 23% pada 2020 juga diproyeksi memperbesar potensi penerimaan PPh badan yang hilang tahun ini. Menurut hitungannya, nilainya bisa mencapai Rp2,3 hingga Rp2,6 triliun.

Ketentuan mengenai 'diskon rokok' tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Bea dan Cukai Nomor 37 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau.

Baca Juga:
Indonesia Bakal Adopsi Pajak Minimum Global Tahun Depan, PMK Disiapkan

Perdirjen ini merupakan turunan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146 Tahun 2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Meski ada pembaruan PMK, ketentuan mengenai 'diskon rokok' tetap tidak berubah.

Beleid tersebut mengizinkan perusahaan rokok menetapkan HTP yang menjadi harga jual akhir rokok ke konsumen sebesar 85% dari harga jual eceran HJE. Ketentuan itu bisa dilakukan di 40 kota yang telah disurvei Ditjen Bea dan Cukai.

Menanggapi kritik Tauhid dan Emerson, Plt Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara (PKPN) Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Pande Putu Oka Kusumawardhani membantah PMK dan Perdirjen BC itu dimaksudkan untuk memberi 'diskon' atas penjualan produk rokok.

Baca Juga:
Kemenkeu Pastikan Perpanjangan Masa Berlaku Tax Holiday PMK 130/2020

Dia juga menolak penyebutan threshold HJE itu sebagai 'diskon rokok'. Oka menjelaskan PMK dan Perdirjen BC menetapkan threshold HTP 85% karena mempertimbangkan berbagai biaya yang timbul sepanjang rantai pasokan atau distribusi produk rokok hingga sampai ke konsumen.

Selisih 15% itulah, sambungnya, yang diperkirakan menjadi ongkos logistik, yang pada akhirnya juga turut dibebankan pada HJE rokok yang sampai ke tangan konsumen.

"Aktivitas mata rantai ini kan memerlukan biaya pada masing-masing tahapannya. Agar bisa melakukan distribusi dengan baik, perlu ada ruang gerak di dalamnya. Makanya pemerintah mengatur boleh 85% dari harga jual ecerannya," ujarnya. (Bsi)


Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Selasa, 08 Oktober 2024 | 17:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Masa Berlaku Tax Holiday PMK 130/2020 Diperpanjang hingga Akhir 2025

Jumat, 04 Oktober 2024 | 19:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Indonesia Bakal Adopsi Pajak Minimum Global Tahun Depan, PMK Disiapkan

Jumat, 04 Oktober 2024 | 14:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kemenkeu Pastikan Perpanjangan Masa Berlaku Tax Holiday PMK 130/2020

Kamis, 03 Oktober 2024 | 14:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

PMI Manufaktur Masih Kontraksi, Pemerintah Bakal Evaluasi Kebijakan

BERITA PILIHAN
Selasa, 22 Oktober 2024 | 21:45 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

Sah! Misbakhun Terpilih Jadi Ketua Komisi XI DPR 2024-2029

Selasa, 22 Oktober 2024 | 21:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

PPN Mestinya Naik Tahun Depan, Gerindra akan Bahas Bareng Kemenkeu

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:30 WIB KPP PRATAMA JAMBI TELANAIPURA

WP Gagal Daftar LPSE karena KSWP Tidak Valid, Gara-Gara Tak Lapor SPT

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:06 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:41 WIB IHPS I/2024

BPK Selamatkan Keuangan Negara Rp13,66 Triliun pada Semester I/2024

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:30 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:00 WIB TIPS PAJAK DAERAH

Cara Daftarkan Objek Pajak Alat Berat di DKI Jakarta secara Online

Selasa, 22 Oktober 2024 | 15:30 WIB AUSTRALIA

Bikin Orang Enggan Beli Rumah, Australia Bakal Hapus BPHTB

Selasa, 22 Oktober 2024 | 14:00 WIB KP2KP SIDRAP

Ubah Kata Sandi Akun Coretax, Fiskus: Tak Perlu Cantumkan EFIN