Suasana pekerja di ruang produksi pabrik rokok PT Digjaya Mulia Abadi (DMA) mitra PT HM Sampoerna, Kabupaten Madiun, Jawa Timur, Selasa (16/6/2020). Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengkritik kebijakan yang membolehkan penetapan harga transaksi pasar (HTP) hanya 85% dari harga jual eceran (HJE) rokok. (ANTARA FOTO/Siswowidodo/hp)
JAKARTA, DDTCNews - Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengkritik kebijakan yang membolehkan penetapan harga transaksi pasar (HTP) hanya 85% dari harga jual eceran (HJE) rokok.
Direktur Eksekutif Indef Tauhid Achmad menyebut kebijakan itu sebagai pemberian 'diskon' 15% kepada konsumen rokok. Padahal, menurutnya 'diskon rokok' tersebut berpotensi merugikan negara hingga puluhan triliun setiap tahun.
"Kerugian negara yang dihitung ini baru berasal dari potensi PPh (pajak penghasilan) yang tidak bisa dibayarkan," katanya dalam sebuah webinar di Jakarta, Kamis (18/6/2020).
Tauhid menjelaskan izin memotong HTP rokok sebesar 15% berarti mengurangi pendapatan pabrik rokok yang menjadi dasar penghitungan PPh badan. Menurut hitungan Indef, potensi penerimaan PPh yang hilang mencapai Rp1,73 triliun.
Pengamat antikorupsi Emerson Yuntho menambahkan kebijakan menaikkan tarif cukai rokok sebesar 23% pada 2020 juga diproyeksi memperbesar potensi penerimaan PPh badan yang hilang tahun ini. Menurut hitungannya, nilainya bisa mencapai Rp2,3 hingga Rp2,6 triliun.
Ketentuan mengenai 'diskon rokok' tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Bea dan Cukai Nomor 37 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau.
Perdirjen ini merupakan turunan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146 Tahun 2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Meski ada pembaruan PMK, ketentuan mengenai 'diskon rokok' tetap tidak berubah.
Beleid tersebut mengizinkan perusahaan rokok menetapkan HTP yang menjadi harga jual akhir rokok ke konsumen sebesar 85% dari harga jual eceran HJE. Ketentuan itu bisa dilakukan di 40 kota yang telah disurvei Ditjen Bea dan Cukai.
Menanggapi kritik Tauhid dan Emerson, Plt Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara (PKPN) Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Pande Putu Oka Kusumawardhani membantah PMK dan Perdirjen BC itu dimaksudkan untuk memberi 'diskon' atas penjualan produk rokok.
Dia juga menolak penyebutan threshold HJE itu sebagai 'diskon rokok'. Oka menjelaskan PMK dan Perdirjen BC menetapkan threshold HTP 85% karena mempertimbangkan berbagai biaya yang timbul sepanjang rantai pasokan atau distribusi produk rokok hingga sampai ke konsumen.
Selisih 15% itulah, sambungnya, yang diperkirakan menjadi ongkos logistik, yang pada akhirnya juga turut dibebankan pada HJE rokok yang sampai ke tangan konsumen.
"Aktivitas mata rantai ini kan memerlukan biaya pada masing-masing tahapannya. Agar bisa melakukan distribusi dengan baik, perlu ada ruang gerak di dalamnya. Makanya pemerintah mengatur boleh 85% dari harga jual ecerannya," ujarnya. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.