Director of Fiscal Research and Advisory DDTC Bawono Kristiaji saat menjadi pembicara dalam acara Ngonten Fiskal: Berkenalan dengan Pajak Minimum Global yang diselenggarakan oleh Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Rabu (22/1/2025).
JAKARTA, DDTCNews - Kehadiran pajak minimum global atau Global Anti-Base Erosion (GloBE) di Indonesia berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 136/2024 perlu dibarengi dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan kepastian hukum.
Director of Fiscal Research and Advisory DDTC Bawono Kristiaji mengatakan pemerintah bisa menciptakan kepastian hukum dengan cara menginstensifkan kegiatan capacity building, baik bagi wajib pajak maupun di internal otoritas pajak. Hal ini untuk meminimalkan mismatch pemahaman antara otoritas dan wajib pajak.
"Di lapangan, otoritas pajak dengan capacity building yang lebih baik perlu menerangkan ini secara efektif dan tidak melenceng dari GloBE rules," katanya dalam Ngonten Fiskal: Berkenalan dengan Pajak Minimum Global yang digelar Badan Kebijakan Fiskal, Rabu (22/1/2025).
PMK 136/2024 memang hanya memuat 74 pasal. Namun demikian, PMK tersebut tergolong sulit untuk dipahami oleh wajib pajak akibat banyaknya jargon dan aspek teknis yang termuat dalam PMK tersebut.
Menurut Bawono, hadirnya GloBE rules mengharuskan wajib pajak untuk meningkatkan pemahaman atas aspek-aspek perpajakan internasional serta interaksi antara akuntansi komersial dan akuntansi perpajakan.
Oleh karena itu, jika ketentuan pajak minimum global dalam PMK 136/2024 diterapkan di Indonesia dapat sejalan dengan GloBE rules maka hal tersebut akan menciptakan kepastian hukum bagi wajib pajak.
"Akhirnya, sengketa dan compliance cost bisa diturunkan. Jadi, ini ketentuan baru di mana setiap pihak harus beradaptasi. Kita tentu berharap pemerintah dan wajib pajak sama-sama meng-update kemampuannya sehingga kita punya playing field yang sama," ujar Bawono.
Tak hanya itu, Indonesia juga dinilai perlu untuk mengevaluasi insentif-insentif pajak yang selama ini berlaku dan mempertimbangkan untuk mengadopsi insentif-insentif yang sejalan dengan ketentuan pajak minimum global.
"Ada beberapa insentif yang direkomendasikan. Ini sudah dilakukan di Singapura dengan qualified refundable tax credit (QRTC). Apakah Indonesia akan mengadopsi hal itu atau tetap menggunakan skema allowance dengan extension waktu? Ini momentum untuk mendiskusikan bagaimana menjaga daya saing di tengah adanya pajak minimum global," tutur Bawono.
Lebih lanjut, bagi wajib pajak badan yang merupakan bagian dari grup perusahaan multinasional tercakup pajak minimum global, wajib pajak dimaksud juga perlu berkoordinasi dengan grup dan ultimate parent entity (UPE).
Koordinasi diperlukan mengingat pajak minimum global mengharuskan wajib pajak menyiapkan beragam laporan baru, seperti GloBE Information Return (GIR), SPT Tahunan PPh GloBE, SPT Tahunan PPh domestic minimum top-up tax (DMTT), dan SPT Tahunan PPh undertaxed payment rule (UTPR).
"Kapan harus disiapkan? Ini yang perlu sedari awal dimitigasi. Artinya dengan PMK 136/2024, Indonesia memang masuk dalam suatu rezim pajak yang bisa dibilang baru. Ini adalah wake up call bagi seluruh perusahaan multinasional di Indonesia. Mereka harus mulai memahami aturan ini dan bagaimana koordinasi dengan grup atau parent. Jadi, cukup teknis dan menantang," kata Bawono.
Sebagai informasi, Indonesia resmi mengadopsi ketentuan pajak minimum global pada tahun ini. Dengan rezim ini, Indonesia berwenang mengenakan pajak minimum dengan tarif efektif 15% atas laba yang diperoleh entitas konstituen bagian dari grup perusahaan multinasional tercakup.
Suatu grup perusahaan multinasional tercakup dalam ketentuan pajak minimum global jika memiliki omzet tahunan minimal €750 juta per tahun setidaknya dalam 2 dari 4 tahun sebelum tahun pengenaan pajak minimum global. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.