Founder DDTC Darussalam (tengah), Dosen Akuntansi STIE YKPN Rusmawan Wahyu Anggoro (kiri), dan Dosen Akuntansi STIE YKPN Arif Budiarto (kanan).
YOGYAKARTA, DDTCNews - RI perlu memiliki tax ratio atau rasio pajak sebesar 15% hingga 18% agar bisa membiayai seluruh pembangunan nasionalnya secara mandiri. Capaian tax ratio pada level tersebut juga diyakini mampu mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap utang.
Founder DDTC Darussalam mengatakan rentang tax ratio ideal bagi Indonesia tersebut juga sejalan dengan analisis yang dikeluarkan International Monetary Fund (IMF). Sayangnya, hingga 2022 lalu tax ratio Indonesia masih bertahan di level 10,4%.
Indonesia juga masih diketagorikan sebagai negara dengan tax effort yang rendah, yakni baru 0,6. Artinya, baru 60% potensi penerimaan pajak yang sudah berhasil dipungut oleh pemerintah.
Berdasarkan fakta tersebut, Darussalam menekankan bahwa reformasi pajak merupakan keniscayaan yang tak bisa dihindari. Reformasi perlu dilakukan dari sisi administrasi maupun kebijakan.
"Reformasi ini terbagi dua: reformasi kebijakan dan hukum, serta reformasi administrasi. Jika ini berjalan baik, semestinya potensi tax ratio ini bisa digali optimal sehingga negara mandari secara penerimaan. Ingat, 80% pendapatan negara kita berasal dari pajak," ujar Darussalam dalam seminar nasional bertajuk Perkembangan Tax Ratio di Indonesia di STIE YKPN Business School, Rabu (12/7/2023).
Namun, upaya pemerintah Indonesia untuk menaikkan capaian tax ratio ini diwarnai sejumlah tantangan. Pada tahun ini dan 2024 mendatang, Indonesia dihadapkan pada 2 tantangan utama terhadap penerimaan. Pertama, tren penurunan harga komoditas yang masih berlanjut. Kedua, tambahan penerimaan yang tidak berulang dari kenaikan tarif PPN dan program pengungkapan sukarela (PPS).
Meski begitu, permintaan pelaku usaha dan rumah tangga sudah kembali ke pola sebelum pandemi, termasuk kebutuhan sekunder dan tersier sehingga transaksi di setiap sektor juga makin meningkat. Hal ini setidaknya menjadi booster bagi perekonomian dan pada akhirnya berimbas positif terhadap penerimaan pajak.
Sebagai respons terhadap tantangan-tantangan yang ada, imbuh Darussalam, pada tahun-tahun yang akan datang pemerintah perlu mulai mengejar potensi penerimaan pajak dari sektor ekonomi yang tergolong undertaxed. Suatu sektor dikategorikan undertaxed atau kurang dipajaki bila kontribusinya terhadap PDB lebih tinggi dibandingkan dengan kontribusi terhadap penerimaan pajak.
Sektor ekonomi yang tergolong undertaxed tersebut antara lain konstruksi, pertambangan, dan pertanian. Terhadap ketiga sektor tersebut, ada indikasi munculnya policy gap.
Darussalam mengatakan sektor konstruksi berkontribusi sebesar 9,8% terhadap PDB. Meski demikian, kontribusinya terhadap penerimaan pajak hanya sebesar 4,1%. Darussalam mengatakan fenomena ini muncul karena pemberlakuan PPh final pada sektor konstruksi.
Adapun kontribusi sektor pertambangan terhadap PDB tercatat mencapai 12,2%. Namun, kontribusinya terhadap penerimaan pajak hanya sebesar 8,3%. Menurut Darussalam, rendahnya setoran pajak dari sektor pertambangan disebabkan oleh maraknya praktik penghindaran pajak dan banyaknya pertambangan ilegal yang masuk dalam shadow economy.
Selanjutnya, kontribusi sektor pertanian terhadap PDB tercatat mencapai 12,4%. Namun, kontribusi sektor pertanian terhadap penerimaan pajak hanya sebesar 1,4%. Darussalam menilai pemerintah memang banyak memberikan fasilitas pada sektor pertanian guna meringankan beban rumah tangga tidak mampu.
"Ini menjadi tantangan tersendiri. Karenanya, perlu ada kebijakan transisi untuk meningkatkan setoran pajak dari sektor-sektor yang undertaxed tersebut secara bertahap," ujar Darussalam di hadapan ratusan peserta seminar nasional yang didominasi profesional di bidang pajak.
Menurut Darussalam, pemerintah perlu menyusun suatu kebijakan transisi guna meningkatkan setoran pajak dari sektor-sektor yang undertaxed tersebut secara bertahap.
Darussalam juga menyoroti kontribusi jenis pajak utama terhadap total penerimaan pajak.
Pada 2021-2022, penerimaan dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam negeri menyumbang porsi terbesar, yakni hingga 22,7% terhadap penerimaan pajak perlu dipertahankan. Menurutnya, pemerintah perlu menjaga daya beli masyarakat sehingga konsumsi bisa terjaga.
Kendati begitu, ada catatan yang perlu digarisbawahi Darussalam terkait dengan kontribusi penerimaan pajak ini. Pemerintah didorong agar memberikan perhatian khusus terhadap kinerja PPh orang pribadi yang notabene dibayar oleh wajib pajak pelaku usaha. Kontribusi PPh orang pribadi terhadap penerimaan pajak masih rendah, yakni sebesar 0,7%.
"Kalau kita bandingkan dengan banyak negara, justru di negara-negara maju itu kontribusi paling besar berasal dari PPh orang pribadi. Sebaliknya, di Indonesia ternyata itu yang paling tidak berkontribusi," ujar Darussalam.
Darussalam menilai setoran PPh orang pribadi dapat ditingkatkan lewat optimalisasi kepatuhan wajib pajak orang pribadi. Ketentuan penggunaan NIK sebagai NPWP pada UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) memberikan ruang bagi otoritas pajak untuk mengambil langkah tersebut.
Selain itu, Darussalam mengingatkan bahwa komposisi (tax mix) yang tidak merata dan tidak terdistribusi dengan baik bisa berisiko bagi penerimaan jangka panjang, khususnya saat terjadi shock.
Indonesia, menurut Darussalam, juga semestinya bisa memanfaatkan ledakan populasi produktif atau bonus demografi pada 2025-2035.
Jumlah generasi produktif yang makin banyak, ujar Darussalam, bisa menjadi modal besar bagi pemerintah untuk menaikkan kinerja tax ratio. Perluasan basis pajak melalui penggunaan NIK sebagai NPWP akan menciptakan daya dukung sistem pajak yang lebih adil.
Darussalam juga berpandangan pemerintah perlu mengoptimalkan penerimaan pajak ekonomi digital. Pemberlakuan PPN PMSE tercatat mampu mengumpulkan penerimaan senilai Rp10,11 triliun pada 2020 hingga 2022.
Masalahnya, ujar Darussalam, pemerintah masih belum memberlakukan kebijakan yang sejenis atas marketplace domestik. Kewenangan bagi pemerintah untuk menunjuk penyelenggara marketplace domestik sebagai pemungut atau pemotong pajak telah ditetapkan berdasarkan UU HPP.
"Kalau ini tidak dipungut sedangkan yang dari luar negeri sudah dikenakan, berarti tidak ada level playing field antara pemain dalam negeri dan luar negeri," ujar Darussalam.
Terakhir, upaya mendongkrak tax ratio juga bisa dilakukan dengan meningkatkan kepatuhan wajib pajak UMKM. Pemerintah, ujarnya, perlu menyusun terobosan-terobosan baru untuk meningkatkan kepatuhan pajak pelaku UMKM.
Mendukung penjelasan Darussalam, Dosen Akuntansi STIE YKPN Rusmawan Wahyu Anggoro menyampaikan bahwa upaya peningkatan tax ratio berkaitan erat dengan perbaikan compliance cost atau ongkos kepatuhan. Makin rendah compliance cost, makin tinggi pula peluang kenaikan tax ratio.
"Jadi kepatuhan ini dipengaruhi oleh sistem administrasi perpajakan, pelayanan pajak, tarif pajak, pemeriksaan pajak, dan penegakan hukum. Karenanya, kepatuhan ini akan 'dibantu' oleh coretax administration system," kata Rusmawan.
Menurutnya, implementasi pembaruan sistem inti administrasi perpajakan (PSIAP) pada tahun ini bisa menekan compliance cost sehingga kepatuhan bisa meningkat dan berujung perbaikan tax ratio.
"Di sisi lain, otoritas perlu menggeser model pelayanannya agar masyarakat tidak alergi terhadap kantor pajak. Pendekatan yang lebih persuasif bisa membuat kepatuhan meningkat," kata Rusmawan. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.