Machfud Sidik, salah satu pembicara dalam webinar bertajuk Pemberlakuan Pajak Produk Online di Masa New Normal yang digelar Kamis (16/7/2020).
JAKARTA, DDTCNews—Pemerintah diminta untuk segera melakukan pembaruan kebijakan pajak agar mampu mengikuti perkembangan ekonomi yang banyak bergeser ke arena digital.
Rektor Universitas Indraprasta PGRI Sumaryoto mengatakan pemerintah perlu melakukan percepatan reformasi pajak. Hal ini dikarenakan banyak kegiatan ekonomi yang mulai beralih dari sistem manual ke digital.
Menurutnya, penerapan PMK No.48/2020 terkait pungutan PPN pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) yang ada saat ini belum cukup menjawab tantangan dari ekonomi digital.
“Kita perlu dorong pemerintah membuat suatu perubahan aturan untuk mengantisipasi kegiatan ekonomi yang bergeser dari manual ke digital," katanya dalam webinar bertajuk Pemberlakuan Pajak Produk Online di Masa New Normal, Kamis (16/7/2020).
Senada, Dirjen Pajak Periode 2000-2001 Machfud Sidik menilai pemerintah memerlukan sumber penerimaan baru untuk menjamin kesinambungan penerimaan pajak dalam jangka panjang.
Apalagi, insentif pajak yang diberikan kepada pelaku usaha selama masa pandemi Covid-19 tidak sedikit di antaranya pemangkasan tarif PPh Badan secara bertahap dari 25% menjadi 20% sehingga menambah berat upaya pengumpulan penerimaan pajak.
“Pemerintah sudah banyak memberikan stimulus fiskal terutama dengan penurunan tarif PPh badan. Oleh karena itu, harus dicari penggantinya dari PPN dan dari transaksi digital,” jelas Machfud.
Namun demikian, Machfud menilai penggalian potensi penerimaan pajak dari sektor digital tidak mudah. Hal ini dikarenakan perlu ada kerja sama skala internasional agar pungutan tidak berujung sengketa.
Sementara itu, Wakil Ketua Kompartemen Pajak Kadin Indonesia Herman Juwono menilai ruang pemajakan dari transaksi elektronik masih terbuka lebar. Sumber penerimaan tersebut tidak hanya dari luar negeri, tetapi juga dari dalam negeri.
Menurut Ketua Umum Perkumpulan Konsultan Praktisi Perpajakan Indonesia (Perkoppi) ini penerapan PPN PMSE merupakan langkah pertama otoritas dalam memajaki entitas ekonomi digital.
"PPN PMSE ini sudah merupakan langkah bagus dan berani dari pemerintah, tapi masih ada potensi dari PPh dan pajak transaksi elektronik (PTE) yang masih belum efektif diterapkan," tuturnya. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Dalam era revolusi 4.0, Information and Communication Technology (ICT) berkembang sangat cepat. Tentu harus ada penyesuaian dan perkembangan terhadap ekonomi digital agar negara ini tidak tertinggal. Melihat data pengguna internet di Indonesia yang tinggi (lebih dari 100 juta pengguna), tentu sudah menjadi keharusan bagi negara ini untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan digital, khususnya dalam pengenaan pajak ekonomi digital. Hal itu juga telah menjadi urgensi dalam ranah Internasional. Namun, pedoman mengenai pengenaan pajak ekonomi digital yang diterbitkan oleh institut internasional seperti Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dan International Monetary Fund (IMF) hanya memberikan konsepsi secara luas. Hal itu memberi celah dan kesempatan kepada pemerintah untuk turut serta mengambil langkah yang tepat dalam pembaruan kebijakan pajak ekonomi digital. Karena seperti yang telah dibahas dalam artikel ini, walaupun sudah ada beberapa penyesuaian yang pemerintah lakukan dalam ruang pemajakan secara digital, hal itu masih harus terus direformasi agar berkembang cepat dan tepat.
Sejalan dengan pendapat dengan Machfud Sidik, potensi pajak digital haruslah dioptimalkan oleh pemerintah sebagai penerimaan baru untuk menambah penerimaan pajak dan menjamin kesinambungan penerimaan pajak Indonesia kedepan. Pengoptimalan ini tidak hanya berhenti pada pemungutan pajak pertambahan nilai (PPN) pada produk digital dari luar negeri yang dikenakan kepada konsumen saja, melainkan pada pajak penghasilan (PPh) atau pajak layanan digital (digital service tax/DST) pula. Dalam konteks PPh/DST, pemerintah kiranya bisa berkaca pada Inggris, India, serta Prancis dalam penerapan digital service tax, dan melakukan pengkajian ulang terhadap nomenklatur bentuk usaha tetap (BUT), yang kerap kali menjadi polemik. Selain itu, menjadi langkah yang perlu diapresiasi atas dukungan yang diberikan pemerintah Indonesia kepada Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) untuk dapat segera menyelesaikan rumusan arsitektur perpajakan internasional, yang memuat pula pajak digita