Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – PMK 81/2024 mengubah sejumlah ketentuan tata cara pengkreditan pajak masukan. Namun, ketentuan pengkreditan pajak masukan yang ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak tidak mengalami perubahan substansi aturan.
Hal tersebut terlihat pada Pasal 381 PMK 81/2024. Dalam ketentuan sebelumnya, pengusaha kena pajak (PKP) dapat mengkreditkan pajak masukan yang ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak sepanjang memenuhi ketentuan.
“Pajak masukan atas perolehan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP), impor BKP, serta pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, yang ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak, dapat dikreditkan oleh PKP” bunyi penggalan Pasal 381 ayat (1) PMK 81/2024, dikutip pada Rabu (25/12/2024).
Berdasarkan Pasal 381 ayat (1) PMK 81/2024, PKP dapat mengkreditkan pajak masukan yang ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak sebesar jumlah pokok pajak yang tercantum dalam ketetapan pajak. Pengkreditan pajak masukan yang ditagih dengan ketetapan pajak itu bisa dilakukan sepanjang memenuhi 5 ketentuan.
Pertama, ketetapan pajak dimaksud merupakan Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang diterbitkan hanya untuk menagih pajak masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP, impor BKP, serta pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
Kedua, PKP menyetujui seluruh hasil Pemeriksaan atas ketetapan pajak. Ketiga, jumlah PPN yang masih harus dibayar meliputi pokok pajak dan sanksi sebagaimana tercantum dalam ketetapan pajak telah dilakukan pelunasan.
Keempat, tidak dilakukan upaya hukum atas ketetapan pajak. Tidak dilakukan upaya hukum atas ketetapan pajak dalam konteks ini meliputi tidak diajukan permohonan: keberatan; banding; pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi; pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak; pembatalan hasil pemeriksaan pajak atau ketetapan pajak; peninjauan kembali; dan gugatan.
Kelima, pengkreditan pajak masukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Adapun pelunasan atas jumlah PPN yang masih harus dibayar dalam SKP tersebut dilakukan oleh PKP dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan SSP.
SKP yang dilampiri dengan seluruh SSP atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan SSP atas pelunasan jumlah PPN yang masih harus dibayar merupakan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan faktur pajak (dokumen tertentu).
Selanjutnya, pengkreditan pajak masukan dilakukan dengan cara melaporkan dokumen tertentu dalam SPT Masa PPN pada: (i) masa pajak dilakukannya pelunasan ketetapan pajak; atau (ii) pada masa pajak berikutnya paling lama 3 masa pajak setelah berakhirnya Masa Pajak saat pelunasan ketetapan pajak.
Ketentuan pengkreditan pajak masukan yang ditagih dengan SKP sebelumnya diatur dalam Pasal 68 PMK 18/2021. Apabila dibandingkan dengan ketentuan terdahulu maka tidak ada perubahan substansi aturan. Adapun perubahan yang terjadi hanya bersifat redaksional.
Perubahan redaksional itu terkait dengan penggunaan singkatan. Sebelumnya, Pasal 68 PMK 18/2021 banyak menggunakan singkatan, seperti BKP, JKP, dan PPN. Sementara itu, Pasal 381 PMK 81/2024 tidak lagi menggunakan singkatan.
PMK 81/2024 akan berlaku mulai 1 Januari 2025. Berlakunya PMK 81/2024 akan sekaligus mencabut dan menggantikan ketentuan tata cara pengkreditan pajak masukan yang sebelumnya diatur dalam Pasal 62 sampai dengan Pasal 68 PMK 18/2021.
Dengan demikian, terhitung mulai 1 Januari 2025 ketentuan tata cara pengkreditan pajak masukan mengacu pada Pasal 375 sampai dengan Pasal 381 PMK 81/2024. Begitu pula dengan ketentuan pengkreditan pajak masukan yang ditagih dengan penerbitan SKP mengacu pada PMK 81/2024.
“Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:35....Pasal 62 sampai dengan Pasal 78...PMK 18/2021... dicabut dan dinyatakan tidak berlaku,” bunyi penggalan Pasal 483 PMK 81/2024. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.