MEMASUKI era new normal, Ditjen Pajak (DJP) kembali melaksanakan berbagai kegiatan yang sebelumnya dibatasi atau ditiadakan sementara. Namun, pelaksanaan kegiatan itu dilakukan dengan penyesuaian tertentu guna menerapkan protokol kesehatan pencegahan penyebaran Covid-19.
Penyesuaian pelaksanaan kegiatan tersebut tertuang dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-34/PJ/2020. Merujuk pada lampiran beleid tersebut, salah satu penyesuaian yang dilakukan adalah di bidang penyidikan. Lantas, apa sebenarnya yang dimaksud dengan penyidikan pajak?
Definisi
SECARA ringkas, penyidikan merupakan proses kelanjutan dari hasil pemeriksaan yang mengindikasikan bukti permulaan. Secara sederhana, bukti permulaan merupakan keadaan, bukti, atau benda yang memberi petunjuk adanya suatu tindak pidana perpajakan. Simak Apa itu Bukti Permulaan.
Merujuk Pasal 1 angka ‘31’ UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), penyidikan pajak atau lebih tepatnya penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti.
Pengumpulan bukti itu ditujukan untuk membuat suatu tindak pidana perpajakan menjadi terang atau jelas serta dapat ditemukan tersangkanya. Penyidikan tindak pidana perpajakan ini dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Berdasarkan definisi yang dijabarkan dapat disimpulkan bahwa tujuan utama dari dilakukannya proses penyidikan adalah untuk menemukan bukti sekaligus tersangka yang melakukan tindak pidana dalam perpajakan.
Tugas dan Wewenang Penyidik
LEBIH lanjut, berdasarkan Pasal 44 ayat (1) UU KUP, penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu di lingkungan DJP yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan.
Apabila dikaitkan dengan definisi penyidikan, maka dapat disimpulkan tugas utama dari penyidik adalah untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dapat membuat suatu tindak pidana perpajakan menjadi jelas dan pada akhirnya dapat ditemukan tersangkanya.
Merujuk Pasal 44 ayat (2) UU KUP, dalam melaksanakan tugasnya penyidik memiliki 11 wewenang. Pertama, menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana perpajakan
Kedua, meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi/badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan terkait dengan tindak pidana perpajakan. Ketiga, meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi/badan terkait dengan tindak pidana perpajakan.
Keempat, memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana perpajakan. Kelima, melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut.
Keenam, meminta bantuan tenaga ahli dalam pelaksanaan tugas penyidikan. Ketujuh. menyuruh berhenti/melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa.
Kedelapan, memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana perpajakan. Kesembilan, memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi. Kesepuluh, menghentikan penyidikan. Kesebelas, melakukan tindakan lain untuk kelancaran penyidikan.
Di sisi lain, penyidik harus memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur UU Hukum Acara Pidana.
Selain itu, apabila diperlukan, penyidik juga dapat meminta bantuan aparat penegak hukum lain demi kelancaran proses penyidikan. Dalam melaksanakan tugasnya, penyidik pajak juga harus tunduk pada norma penyidikan dan memperhatikan asas hukum.
Penghentian Penyidikan
BERDASARKAN Pasal 44A UU KUP, penyidikan akan dihentikan apabila tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa yang disidik bukan merupakan tindak pidana perpajakan. Penyidikan juga dapat dihentikan apabila peristiwa tersebut telah daluwarsa atau tersangkanya telah meninggal dunia.
Selain itu, merujuk Pasal 44B ayat (1), untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan paling lama 6 bulan sejak tanggal surat permintaan penghentian penyidikan.
Berdasarkan Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 55/PMK.03/2016 dapat diketahui surat permintaan penghentian penyidikan disusun oleh Menteri Keuangan jika menyetujui permohonan penghentian penyidikan yang diajukan wajib pajak.
Namun, Jaksa Agung hanya bisa menghentikan penyidikan sepanjang perkara pidana itu belum dilimpahkan ke pengadilan. Selain itu, penghentian penyidikan hanya dilakukan setelah wajib pajak melunasi utang pajak yang tidak/kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan.
Wajib pajak juga harus membayar sanksi administrasi berupa denda 4 kali lipat dari jumlah pajak yang tidak/kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan. Penjelasan penghentian penyidikan pajak untuk kepentingan penerimaan dapat disimak dalam PMK 55/2016.
Penyesuaian Penyidikan
PENYESUAIAN di bidang penyidikan dalam tatanan kenormalan baru salah satunya adalah penyampaian surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) dalam bentuk digital baik kepada penuntut umum maupun tersangka.
Namun, salinan cetak SPDP juga harus dikirimkan melalui pos dan/atau jasa kurir/ekspedisi pada hari yang sama dengan pengiriman SPDP dalam bentuk digital.
Selain itu, pemeriksaan terhadap saksi, ahli, ataupun tersangka dapat dilakukan melalui video conference. Penyesuaian dan ketentuan lebih lanjut dapat disimak pada Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-34/PJ/2020. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Terimakasih Infonya DDTC...