BERITA PAJAK HARI INI

Usulan Menperin: Pajak Mobil Baru Dihapus, Pajak Mobil Bekas Dinaikkan

Redaksi DDTCNews | Senin, 19 Oktober 2020 | 08:00 WIB
Usulan Menperin: Pajak Mobil Baru Dihapus, Pajak Mobil Bekas Dinaikkan

Ilustrasi. Warga mengantre membayar pajak kendaraan di mobil Samsat Keliling, Taman Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Senin (28/9/2020). ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/wsj.

JAKARTA, DDTCNews – Usulan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengenai pembebasan sementara atas pajak mobil baru masih menjadi bahasan media nasional pada hari ini, Senin (19/10/2020).

Agus menyampaikan usulan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati terkait dengan pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). Usulan kepada Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian tentang pembebasan pajak daerah.

“Kami mengusulkan pembebasan sementara pajak-pajak kendaraan bermotor roda empat atau lebih produksi dalam negeri ... sampai dengan bulan Desember 2020,” demikian bunyi penggalan kedua surat usulan insentif pembebasan pajak kendaraan bermotor tertanggal 2 September 2020.

Baca Juga:
Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Adapun usulan pembebasan pajak yang disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian meliputi pajak bea balik nama (BBN), pajak kendaraan (PKB), dan pajak progresif. Pembebasan pajak diharapkan dapat mengurangi harga kendaraan bermotor baru sehingga terjangkau bagi masyarakat.

Hingga saat ini, belum ada keputusan terkait dengan usulan pembebasan pajak mobil baru tersebut. Untuk PPN dan PPnBM, Kementerian Keuangan mengaku masih melakukan kajian secara komprehensif. Simak artikel ‘Soal PPnBM Mobil 0%, Kepala BKF: Semoga Bisa Diputuskan Secepatnya’.

Adapun perkembangan terbaru yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers APBN Kita pagi ini dapat disimak pada artikel 'Sri Mulyani Tolak Usulan Pembebasan Pajak Mobil Baru'.

Baca Juga:
Apa Itu Barang Tidak Kena PPN serta PPN Tak Dipungut dan Dibebaskan?

Selain usulan pembebasan pajak atas mobil baru, ada pula bahasan mengenai kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok untuk 2021. Hingga saat ini, Kementerian Keuangan belum juga merilis aturan baru yang memuat kenaikan tarif cukai CHT.

Berikut ulasan berita selengkapnya.

  • Pajak Mobil Bekas

Selain mengusulkan pembebasan pajak terhadap mobil baru, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengusulkan kepada Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian terkait dengan penaikan pajak daerah (BBN, PKB, dan pajak progresif) atas mobil bekas.

Baca Juga:
Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah terhadap Mayoritas Mata Uang Mitra

“Untuk pajak kendaraan bermotor bekas agar dapat dinaikkan secara proporsional. Secara paralel kami juga mengusulkan pembebasan sementara bea masuk CKD dan IKD, PPN, dan PPnBM kepada menteri keuangan,” demikian penggalan isi surat yang disampaikan kepada menteri dalam negeri. (DDTCNews)

  • Kenaikan Tarif Cukai Rokok

Kepala Sub Bidang Cukai Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Sarno mengatakan pembahasan mengenai kenaikan tarif cukai rokok masih alot di internal Kemenkeu. Menurutnya, Kementerian Keuangan masih menghitung besaran kenaikan tarif CHT yang tepat dan adil bagi semua stakeholders.

"Tiap tahun ada tarik-menarik yang sangat kuat, terutama dari kesehatan dan industri. Kami di Kementerian Keuangan yang menjadi sentra dan diharapkan bisa menengahi ini. Memang kami posisinya, terus terang, agak serba salah,” katanya.

Baca Juga:
Tahap Pra-Implementasi Aplikasi Coretax, DJP Imbau WP Soal Ini

Sarno mengatakan pembahasan mengenai kenaikan tarif CHT setiap tahun biasanya rampung pada September dan pengumumannya dilakukan pada bulan berikutnya. Khusus tahun ini, dia menyebut pembahasan itu belum rampung karena prosesnya lebih dinamis. Simak artikel ‘Kenaikan Tarif Cukai Rokok 2021 Belum Diumumkan, Ini Kata BKF’. (DDTCNews/Kontan/Bisnis Indonesia)

  • 11 Sektor Prioritas

Plt Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara BKF Pande Putu Oka mengatakan terbitnya PMK 153/2020, sebagai aturan turunan terkait dengan insentif supertax deduction kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang), diharapkan mampu mendorong litbang pada 11 sektor.

Pemerintah memberikan 11 fokus prioritas litbang yang bisa mendapatkan insentif pengurangan penghasilan bruto hingga 300%. Simak artikel ‘Ada 11 Fokus Litbang yang Dapat Insentif Supertax Deduction, Apa Saja?’.

Baca Juga:
Sempat Menolak, PDIP Kini Berbalik Dukung PPN 12 Persen

Pengurangan itu meliputi pertama, pengurangan penghasilan bruto sebesar 100% dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan litbang. Kedua, tambahan pengurangan penghasilan bruto paling tinggi 200% dari akumulasi biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan litbang dalam jangka waktu tertentu. (DDTCNews/Kontan)

  • Pengajuan Permohonan Insentif Supertax Deduction

Untuk mendapatkan insentif supertax deduction kegiatan litbang, wajib pajak harus mengajukan permohonan melalui Online Single Submission (OSS). Jika OSS tidak berjalan, sesuai dengan ketentuan dalam PMK 153/2020, penyampaian permohonan dapat dilakukan secara luar jaringan (luring).

Permohonan diajukan dengan melampirkan proposal kegiatan litbang dan Surat Keterangan Fiskal. Proposal kegiatan litbang paling sedikit memuat nomor dan tanggal proposal kegiatan litbang; nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); fokus, tema, dan topik litbang; target capaian dari kegiatan litbang; serta nama dan NPWP dari rekanan kerja sama jika litbang dilakukan melalui kerja sama.

Baca Juga:
Hingga November, Kanwil DJP Jakbar Kumpulkan Pajak Rp57,67 Triliun

Kemudian, ada perkiraan waktu yang dibutuhkan sampai mencapai hasil akhir yang diharapkan dari kegiatan litbang; perkiraan jumlah pegawai dan/atau pihak lain yang terlibat dalam kegiatan litbang; serta perkiraan biaya dan tahun pengeluaran biaya. (DDTCNews/Kontan)

  • Konsensus Pemajakan Ekonomi Digital

Konsensus pemajakan ekonomi digital di bawah koordinasi OECD gagal tercapai pada tahun ini. Jika konsensus masih tetap tidak bisa dicapai pada tahun depan, akan ada risiko berupa kerugian fiskal dan ekonomi di banyak negara.

Senior Tax Adviser Kantor Perwakilan OECD Jakarta Andrew Auerbach mengatakan sudah ada kalkulasi dampak ekonomi jika konsensus bisa dicapai tahun depan. Hal tersebut berlaku sebaliknya, jika tidak ada kata sepakat, risiko kerugian muncul di banyak negara.

“Jadi penilaian dampak ini seperti setengah gelas terisi atau setengah gelas kosong yang tergantung pada hasil akhirnya nanti,” katanya. Simak artikel ‘Ini Risiko Kerugian Jika Kesepakatan Global Pajak Digital Tak Tercapai’. (DDTCNews) (kaw)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:37 WIB KURS PAJAK 25 DESEMBER 2024 - 31 DESEMBER 2024

Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah terhadap Mayoritas Mata Uang Mitra

Rabu, 25 Desember 2024 | 08:00 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Tahap Pra-Implementasi Aplikasi Coretax, DJP Imbau WP Soal Ini

BERITA PILIHAN
Rabu, 25 Desember 2024 | 15:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Pemerintah akan Salurkan KUR Rp300 Triliun Tahun Depan

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:30 WIB PSAK 201

Item-Item dalam Laporan Posisi Keuangan Berdasarkan PSAK 201

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 12:30 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN

Fitur MFA Sudah Diterapkan di Portal CEISA sejak 1 Desember 2024

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Dokumen yang Dilampirkan saat Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:37 WIB KURS PAJAK 25 DESEMBER 2024 - 31 DESEMBER 2024

Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah terhadap Mayoritas Mata Uang Mitra