JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah resmi menjalankan integrasi antara Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Mulai 14 Juli 2022, NIK sudah bisa diperlakukan sebagai NPWP bagi wajib pajak orang pribadi.
Topik tentang pemanfaatan NIK sebagai NPWP ini mendominasi pemberitaan terpopuler selama sepekan terakhir.
Namun, ada sejumlah catatan teknis yang masih perlu dipahami wajib pajak terkait dengan integrasi NIK-NPWP ini. Misalnya, soal ketentuan tarif PPh Pasal 21 dan Pasal 23 yang lebih tinggi bagi wajib pajak yang tidak memiliki NPWP. Aturan tersebut tetap berlaku meski saat ini NIK sudah diberlakukan sama sebagai NPWP bagi wajib pajak orang pribadi.
Untuk PPh Pasal 21, kenaikan tarif sebesar 20% tetap berlaku bagi wajib pajak tak ber-NPWP. Sementara untuk PPh Pasal 23, tarifnya lebih tinggi 100% bagi wajib pajak yang tidak ber-NPWP.
Alasannya, NIK yang sudah bisa digunakan dan diakui sebagai NPWP hanyalah NIK yang sudah diaktivasi. Statusnya bisa dilihat melalui laman DJP Online sebagai 'valid'. Jika yang terpampang adalah 'belum valid' maka NIK yang bersangkutan belum bisa diakui sebagai NPWP.
"Penggunaan NIK sebagai NPWP dapat dilakukan sepanjang NIK sudah dilakukan aktivasi oleh DJP dengan melakukan pendaftaran NPWP berdasarkan permohonan wajib pajak sendiri atau secara jabatan sejak PMK [112/2022] berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2023," tulis DJP dalam keterangannya.
Perlu diketahui, pemungutan PPh Pasal 21 dengan tarif 20% lebih tinggi bagi wajib pajak yang tidak ber-NPWP tercantum dalam Pasal 21 ayat (5a) UU PPh.
Tak hanya PPh Pasal 21, ketentuan kenaikan tarif atas wajib pajak tak ber-NPWP sesungguhnya juga berlaku dalam ketentuan pemungutan PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 23.
Wajib pajak yang tidak memiliki NPWP dikenai tarif pemotongan PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 23 sebesar 100% lebih tinggi.
Artikel lengkapnya, baca Meski Ada NIK, Kenaikan PPh Pasal 21 WP Tak Punya NPWP Tetap Berlaku.
Selanjutnya, pembaca perlu tahu bahwa DJP telah mengirim surat imbauan dan surat permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan (SP2DK) kepada 3,9 juta wajib pajak sepanjang 2019 hingga 2021. Jumlah surat yang dikirim mencapai 9,5 juta surat.
"Setiap informasi yang masuk, kami tindaklanjuti secara sistematis. Kami punya prosedur bernama pemeriksaan atas Informasi, Data, Laporan, dan Pengaduan (IDLP)," ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Neilmaldrin Noor.
Lantas seperti apa skema yang dijalankan otoritas dalam menjalankan fungsi pengawasan? Baca Wah! 9,5 Juta Surat Imbauan dan SP2DK Dikirimkan DJP Selama 2019-2021.
Selain kedua artikel di atas, masih ada sejumlah pemberitaan lain yang menarik untuk diulas. Berikut adalah artikel terpopuler DDTCNews yang sayang untuk dilewatkan:
1. Ingat! Penggunaan Tarif PPh Final UMKM 0,5 Persen Ada Jangka Waktunya
Wajib pajak yang memiliki penghasilan bruto tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam setahun dapat memanfaatkan tarif PPh final sebesar 0,5%. Meski demikian, skema PPh final UMKM tersebut hanya bisa dimanfaatkan dalam jangka waktu tertentu.
Merujuk pada Pasal 3 Peraturan Pemerintah (PP) No. 23/2018, wajib pajak yang bisa memanfaatkan tarif PPh Final UMKM antara lain orang pribadi dan badan berbentuk koperasi, firma, persekutuan komanditer, atau perseroan terbatas.
Jangka waktu tertentu pengenaan PPh final UMKM diberikan selama 7 tahun pajak untuk wajib pajak orang pribadi. Lalu, 4 tahun pajak bagi wajib pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan, firma, atau komanditer.
Sementara itu, wajib pajak badan berbentuk perseroan terbatas mendapatkan waktu selama 3 tahun pajak. Bagi wajib pajak yang terdaftar sejak berlakunya PP 23/2018 ini, jangka waktu PPh final terhitung sejak tahun pajak wajib pajak terdaftar.
2. Integrasi NIK-NPWP Dimulai, Masuk DJP Online Bisa Pakai Nomor KTP
Pemerintah resmi mengintegrasikan NIK pada KTP sebagai NPWP bertepatan dengan puncak perayaan Hari Pajak. Dengan begitu, login ke dalam laman DJP Online pun sudah bisa menggunakan NIK.
Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan implementasi NIK sebagai NPWP dilakukan sebagaimana diamanatkan UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Menurutnya, integrasi itu dimaksudkan mempermudah transaksi pelayanan wajib pajak kepada DJP.
"Tujuannya adalah untuk memudahkan. Karena, kadang-kadang kami pun sering lupa NPWP yang kami miliki. Namun, kami tidak lupa dengan NIK yang kami miliki," katanya.
3. Catat! Notaris Tak Bisa Jaga Kerahasiaan Data WP Siap-Siap Kena Sanksi
Notaris/pejabat pembuat akta tanah (PPAT) yang memiliki akses terhadap aplikasi e-PHTB dan menyampaikan permohonan penelitian formal bukti penyetoran PPh pengalihan hak atas tanah/bangunan (PHTB) untuk wajib pajak, harus menjaga kerahasiaan data wajib pajak.
Bila notaris/PPAT tidak dapat menjaga kerahasiaan data wajib pajak sesuai dengan ketentuan PER-08/PJ/2022, notaris/PPAT berpotensi dijatuhi sanksi.
"Dalam konteks kewajiban menjaga kerahasiaan pada PER-08/PJ/2022, maka notaris/PPAT yang tidak menjaga kerahasiaan dapat diusulkan untuk diberi sanksi berdasarkan kode etik notaris," ujar Neilmaldrin Noor.
4. Kantor Pajak Ingatkan Pengemudi Ojol Hitung dan Setor PPh-nya Sendiri
Profesi sebagai pengemudi ojek online (ojol) juga tidak lepas dari kewajiban perpajakan. Bagi karyawan perusahaan, PPh akan dipotong langsung oleh perusahannya. Namun, bagi mitra driver, mereka perlu menghitung dan menyetor pajaknya sendiri.
DJP menyampaikan, penghitungan dan penyetoran PPh mitra pengemudi Grab dilakukan sendiri sesuai dengan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN). NPPN digunakan untuk menghitung penghasilan neto dari pengemudi ojol, sebelum nanti dihitung penghasilan kena pajak dan PPh terutangnya.
Dikutip dari situs resmi Grab Indonesia, perusahaan sudah mengingatkan mitra pengemudi bahwa penghasilannya akan dikenakan pajak jika total pendapatan lebih dari Rp4,5 juta dalam satu bulan kalender. Hal ini sesuai dengan Peraturan Dirjen Pajak PER-16/PJ/2016.
5. Hal-Hal yang Diperiksa Kantor Pajak Ketika WP Ajukan Penghapusan NPWP
DJP mengingatkan bahwa wajib pajak yang mengajukan permohonan penghapusan NPWP akan dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu sebelum permohonan tersebut diputuskan diterima atau tidak.
Merujuk pada Peraturan Dirjen Pajak No. PER-04/PJ/2020, Kepala KPP melakukan pemeriksaan terhadap pemenuhan persyaratan subjektif dan/atau objektif wajib pajak berdasarkan permohonan penghapusan NPWP yang telah diberikan bukti penerimaan elektronik (BPE).
“Penghapusan NPWP memang akan dilakukan pemeriksaan dan jangka waktu penerbitan keputusan penghapusan NPWP untuk NPWP Badan adalah paling lama 12 bulan setelah penerbitan BPE/BPS,” sebut DJP.
Selain memperhatikan pemenuhan persyaratan subjektif dan/atau objektif, terdapat beberapa syarat yang harus juga dipenuhi wajib pajak dalam permohonan penghapusan NPWP. Apa saja? Baca artikel lengkapnya lewat tautan pada judul. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.