BERITA PAJAK HARI INI

Tak Cuma PPN 12%, Normalisasi PPh Final UMKM Juga Bisa Tekan Daya Beli

Redaksi DDTCNews | Senin, 02 Desember 2024 | 10:00 WIB
Tak Cuma PPN 12%, Normalisasi PPh Final UMKM Juga Bisa Tekan Daya Beli

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews - Polemik kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% masih hangat diperbincangkan. Kebijakan itu dikhawatirkan akan menekan daya beli masyarakat yang kini masih lemah. Namun, PPN 12% ternyata bukan satu-satunya kebijakan yang berpotensi menggerus daya beli. Topik ini menjadi salah satu ulasan media nasional pada hari ini, Senin (2/12/2024).

Harian Kompas hari ini mengulas mengenai 'hujan pungutan' yang dialami oleh masyarakat. Selain rencana kenaikan PPN, ada beberapa kebijakan lain yang berpotensi menekan konsumsi.

Ada 6 pungutan dan iuran yang akan diterapkan pemerintah pada tahun depan, yakni kenaikan PPN menjadi 12%, normalisasi pajak penghasilan (PPh) final UMKM yang selama ini 0,5%, program asuransi wajib kendaraan bermotor, iuran wajib Tapera, kenaikan iuran BPJS Kesehatan, program dana pensiun wajib, dan cukai minuman berpemanis dalam kemasan.

Baca Juga:
Pembuatan Faktur Pajak Barang Non-Mewah di e-Faktur oleh PKP Tertentu

Kebijakan-kebijakan tersebut, diprediksi akan menyebabkan kenaikan harga sejumlah barang dan jasa di pasaran. Hal ini dikhawatirkan akan melonjakkan inflasi.

Merespons situasi tersebut, mengutip DDTCNews, Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Jazilul Fawaid meminta pemerintah untuk melakukan kajian ulang sebelum meningkatkan tarif PPN dari 11% ke 12%.

Jazilul mengatakan bila tarif naik, konsumsi masyarakat berpotensi turun. Akibatnya, kenaikan tarif PPN tidak memberikan dampak optimal terhadap penerimaan pajak. Tarif PPN baru bisa dinaikkan ketika daya beli masyarakat sudah pulih dan kuat.

Baca Juga:
Kanwil DJP Jawa Timur II Kukuhkan 474 Relawan Pajak 2025

"Jika daya beli masyarakat melemah akibat kenaikan PPN, maka konsumsi akan turun. Dampaknya, pendapatan pajak juga tidak optimal," kata Jazilul.

Menurut Jazilul, pemerintah tak bisa serta merta meningkatkan tarif PPN demi memenuhi kebutuhan pembayaran utang. "Pemerintah masih memiliki ruang untuk utang produktif yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi," kata Jazilul.

Jazilul pun menegaskan pentingnya keberimbangan antara kebutuhan fiskal pemerintah dan kondisi ekonomi masyarakat. Kenaikan tarif PPN menjadi 12% bukan sekadar persoalan fiskal, melainkan juga soal keberlanjutan ekonomi.

Baca Juga:
NIK Pegawai Tidak Ditemukan saat Bikin Bupot, DJP Beberkan Solusinya

Sementara itu, desakan juga muncul bagi Kementerian Keuangan agar memperpanjang periode pemanfaatan PPh final 0,5% bagi pelaku UMKM. Desakan itu disampaikan oleh Menteri UMKM Maman Abdurrahman. Dia bahkan mengaku akan mengirimkan surat untuk Menteri Keuangan Sri Mulyani terkait dengan hal ini.

Maman menyampaikan pemberian insentif pajak menjadi salah satu bentuk dukungan pemerintah kepada UMKM. Menurutnya, para UMKM masih membutuhkan PPh final sebesar 0,5% untuk mengembangkan usaha.

"Sekarang kami sedang melakukan komunikasi dengan Kementerian Keuangan dan usulan resmi akan kami masukkan untuk [PPh final UMKM] diperpanjang," katanya.

Baca Juga:
WP Pemilik Usaha Meninggal Dunia, Siapa yang Ajukan Sertel di Coretax?

Selain bahasan mengenai berbagai pungutan dan iuran yang berpotensi menekan daya beli, ada pula pemberitaan lain yang diangkat oleh media nasional pada hari ini. Di antaranya, program makan bergizi gratis yang belum tentu mendorong perekonomian, kenaikan upah minimum provinsi, hingga pencantuman kode barang/jasa 6 digit pada faktur pajak.

Berikut ulasan artikel perpajakan selengkapnya.

Pekerja Kian Terjepit dengan Banyak Potongan

Pekerja mengeluhkan upah yang mereka terima tiap bulannya makin terkikis oleh aneka potongan, baik pajak atau nonpajak. Belum lagi, biaya hidup yang terus naik tanpa dibarengi kenaikan upah yang memadai.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal menjabarkan sejumlah potongan yang dikenai terhadap penghasilan pekerja/buruh. Pertama, pengenaan PPh Pasal 21. Saat ini, ujarnya, batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) senilai Rp4,5 juta.

Baca Juga:
Sebanyak 41.150 Unit Rumah Nikmati Insentif PPN DTP pada 2024

Sementara itu, upah minimum di kawasan industri telah di atas Rp4,5 juta. Dengan begitu, mayoritas buruh sudah kena PPh Pasal 21. Belum lagi, tunjangan hari raya (THR) pun ikut dihitung dalam hitungan PPh Pasal 21 dengan skema tarif efektif rata-rata (TER). Potongan lainnya, iuran jaminan hari tua (JHT), jaminan pensiun, jaminan kesehatan nasional (JKN), dan iuran Tapera jika jadi diterapkan. (Harian Kompas)

Makan Bergizi Gratis Terdampak Ketatnya Anggaran

Sempitnya ruang fiskal pemerintah memengaruhi efektivitas program unggulan Presiden Prabowo Subianto. Program makan bergizi gratis (MBG) misalnya, kini dipangkas dari Rp15.000 menjadi Rp10.000 per porsi.

Ketatnya ruang fiskal yang terjadi justru memunculkan kegamangan atas efisiensi program MBG. Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin berpendapatan dampak program MBG sangat dipengaruhi besaran anggaran, banyaknya produk dalam negeri yang dimanfaatkan, serta banyaknya UMKM yang dilibatkan.

Baca Juga:
Coretax Nyambung dengan Data Perbankan, DJP Rilis Imbauan Soal SPT

Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana menjelaskan pemerintah tidak membeli paket makanan siap konsumsi dalam pelaksanaan MBG, melainkan membeli bahan baku yang diramu oleh dapur umum yang disiapkan pemerintah. (Kontan)

UMP Naik 6,5% Tahun Depan

Presiden Prabowo Subianto mengumumkan upah minimum akan naik sebesar 6,5% pada tahun depan.

Prabowo mengatakan awalnya Kementerian Ketenagakerjaan mengusulkan kenaikan upah minimum sebesar 6%. Namun, setelah dilakukan pembahasan dengan pimpinan serikat buruh, upah minimum diputuskan naik sebesar 6,5%.

Baca Juga:
Filipina Andalkan Pengesahan RUU Pajak untuk Optimalkan Penerimaan

"Setelah membahas dan melaksanakan pertemuan-pertemuan dengan pimpinan buruh, kita ambil keputusan untuk menaikkan rata-rata upah minimum nasional pada 2025 sebesar 6,5%," ujar Prabowo. (DDTCNews)

PKP Cantumkan Kode Barang 6 Digit di Faktur Pajak

Coretax administration system memungkinkan pengusaha kena pajak (PKP) untuk mencantumkan kode barang/jasa yang dilakukan penyerahan dalam faktur pajak keluaran.

Dalam dokumen Referensi Pengisian XML untuk Faktur Pajak Keluaran yang diunggah oleh Ditjen Pajak (DJP) pada laman resminya, pencantuman kode barang/jasa tidaklah bersifat wajib.

Baca Juga:
Seputar Aturan Perpajakan Kongo, PPN-nya Pakai Skema Multi-Tarif

"Code: diisi dengan kode barang/jasa 6 digit. Tidak wajib diisi, akan tetapi jika diisi harus sesuai referensi," tulis DJP dalam Referensi Pengisian XML untuk Faktur Pajak Keluaran. (DDTCNews)

Pengajuan Insentif Litbang Tak Perlu SKF

Wajib pajak yang mengajukan permohonan insentif supertax deduction untuk kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang) nantinya tidak perlu melampirkan surat keterangan fiskal (SKF).

Ketentuan itu tercantum dalam Pasal 437 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 81/2024. Merujuk pasal tersebut, wajib pajak tidak perlu melampirkan SKF sepanjang telah memenuhi persyaratan untuk diberikan SKF.

SKF sebenarnya tetap menjadi salah satu syarat untuk mendapat insentif supertax deduction atas kegiatan litbang. Namun, berbeda dengan ketentuan terdahulu, wajib pajak tidak perlu lagi melampirkan SKF tersebut saat mengajukan permohonan melalui online single submission (OSS). (DDTCNews) (sap)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Minggu, 26 Januari 2025 | 13:00 WIB AMERIKA SERIKAT

Tarif Bea Masuk Trump terhadap 2 Negara Ini Lebih Tinggi dari China

Minggu, 26 Januari 2025 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Pembuatan Faktur Pajak Barang Non-Mewah di e-Faktur oleh PKP Tertentu

Minggu, 26 Januari 2025 | 10:00 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

Kanwil DJP Jawa Timur II Kukuhkan 474 Relawan Pajak 2025

BERITA PILIHAN
Minggu, 26 Januari 2025 | 13:00 WIB AMERIKA SERIKAT

Tarif Bea Masuk Trump terhadap 2 Negara Ini Lebih Tinggi dari China

Minggu, 26 Januari 2025 | 12:00 WIB KEBIJAKAN BEA DAN CUKAI

PMK 115/2024 Berlaku, Penagihan Kepabeanan dan Cukai Bakal Lebih Mudah

Minggu, 26 Januari 2025 | 11:30 WIB AMERIKA SERIKAT

Trump Bakal Kenakan Bea Masuk 25% atas Impor dari Kanada dan Meksiko

Minggu, 26 Januari 2025 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Pembuatan Faktur Pajak Barang Non-Mewah di e-Faktur oleh PKP Tertentu

Minggu, 26 Januari 2025 | 10:30 WIB PERMENDAG 27/2024

Aturan Baru Berlaku! LNSW Ingatkan Pemilik Kargo soal Kewajiban PAB

Minggu, 26 Januari 2025 | 09:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Sri Mulyani: Kebijakan Harga Gas Bumi Kerek Setoran Pajak Perusahaan

Minggu, 26 Januari 2025 | 08:30 WIB PROVINSI LAMPUNG

Ribuan Kendaraan WP Badan Nunggak Pajak, Pemprov Gencarkan Penagihan

Minggu, 26 Januari 2025 | 08:00 WIB PMK 114/2024

DJBC Pertegas Aturan Teknik Sampling pada Audit Kepabeanan dan Cukai