JAKARTA, DDTCNews – Ditjen Pajak mempermudah syarat pelepasan penanggung pajak yang disandera/ paksa badan (gijzeling) melalui pertimbangan tertentu/ rekomendasi Menteri Keuangan, dari yang semula harus melunasi utang pajak minimal sebesar 50%, menjadi bisa kurang dari 50%.
Kemudahan ini diatur Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-03/PJ/2018 tentang Perubahan Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-218/PJ/2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyanderaan dan Pemberian Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak yang Disandera. Beleid ini berlaku mulai 23 Januari 2018.
Pasal 14 PER-03/PJ/2018 ini memunculkan dua syarat baru pemberian rekomendasi pelepasan penanggung pajak yang sebelumnya tidak ada di KEP-218/PJ/2003, yaitu pada huruf d dane. Dua syarat inilah yang membuka peluang bagi penanggung pajak mendapatkan rekomendasi Menkeu hingga lepas dari tahanan dengan membayar utang pajak kurang dari 50%.
Pasal 14 huruf d: “Penanggung Pajak yang bukan pemegang saham telah membayar utang pajak dengan semua harta kekayaan yang sebenarnya dimilikinya selain harta kekayaan yang dikecualikan untuk dilakukan penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.”
Pasal 14 huruf e: “Penanggung Pajak pemegang saham telah membayar utang pajak sesuai dengan porsi kepemilikan saham, kecuali Direktur Jenderal Pajak dapat membuktikan bahwa mereka bertanggung jawab atas seluruh utang pajak tersebut.”
Meski Pasal 14 huruf d dan e tersebut telah membuka jalan bagi penanggung pajak untuk bisa lepas dari tahanan atas rekomendasi Menkeu dengan membayar denda yang bisa kurang dari 50%, PER-03/PJ/2018 tetap memberlakukan Pasal 14 huruf a yang mengharuskan pelunasan utang pajak minimal sebesar 50%.
Pasal 14 huruf a: “Penanggung Pajak sudah membayar utang pajak 50% atau lebih dari jumlah utang pajak atau sisa utang pajak, dan sisanya akan dilunasi dengan angsuran.”
Sayang, hingga kini belum ada keterangan resmi baik dari Kemenkeu maupun Ditjen Pajak mengenai PER-03/PJ/2018 ini, dan adakah penanggung pajak yang telah memperoleh rekomendasi pelepasan sandera tersebut.
Hak Penanggung Pajak
SEPERTI diketahui, Pasal 34 UU No. 19 Tahun 2000 tentang Perubahan atas UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP) memberikan hak bagi penanggung pajak untuk lepas dari sandera paksa badan (gijzeling) apabila memenuhi salah satu dari empat syarat berikut.
Pertama, melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak. Kedua, apabila jangka waktu Surat Perintah Penyanderaan telah habis. Ketiga, berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.Keempat, berdasarkan pertimbangan tertentu dari Menteri Keuangan atau Gubernur.
Pasal 14 KEP-218/PJ/2003 lantas memerinci syarat ‘berdasarkan pertimbangan tertentu dari Menkeu’ tadi ke dalam 5 syarat lagi, yang apabila telah memenuhi salah satu di antaranya sudah bisa digunakan sebagai dasar rekomendasi Menkeu untuk melepaskan sandera dari tahanan.
Syarat itu, Pertama, membayar utang pajak 50% atau lebih, sisanya dicicil. Kedua, sanggup melunasi dengan menyerahkan bank garansi. Ketiga, sanggup melunasi dengan menyerahkan harta senilai sama. Keempat, berusia 75 tahun/ lebih. Kelima, untuk kepentingan umum dan ekonomi negara.
Lima syarat inilah yang kemudian bertambah melalui Pasal 14 huruf d dan e PER-03/PJ/2018. Tambahan lainnya ada pada kriteria terakhir untuk kepentingan umum, yang kini mengakomodasi aspek yang sebelum tidak diakomodasi, yaitu adanya pertimbangan kemanusiaan.
Dalam catatan DDTCNews, UU PPSP dan UU KUP sama persis mendefinisikan penanggung pajak, yaitu sebagai orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban wajib pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Definisi wakil itu kemudian diperinci Pasal 32 UU KUP sebagai penanggung jawab secara pribadi dan/atau renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Dirjen Pajak bahwa kedudukan yang bersangkutan tidak mungkin dibebani tanggung jawab tersebut.
Sementara itu, Pasal 3 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyatakan pemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi saham yang dimiliki.
Namun, pasal ini tidak berlaku jika syarat badan hukum perseroan tidak terpenuhi; pemegang saham beritikad buruk memanfaatkan perseroan demi kepentingan pribadi; terlibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan perseroan; atau memakai kekayaan perseroan hingga utangnya tidak dilunasi. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.