Menteri Keuangan Sri Mulyani saat memberikan penjelasan dalam konferensi video.
JAKARTA, DDTCNews – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan alasan pemerintah menurunkan tarif PPh Badan dari 25% menjadi 22% melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan.
Sri Mulyani mengatakan pemerintah ingin meringankan beban pengusaha akibat virus Corona. Dengan penurunan tarif PPh Badan tersebut, pemerintah berharap tidak banyak korporasi yang mengalami kebangkrutan hingga melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Artinya yang ada di dalam Omnibus Law Perpajakan kita tarik untuk dimajukan di 2020 sebagai bagian dari pengurangan beban pada sektor korporasi sehingga mereka tidak mengalami tekanan untuk kemudian menciptakan PHK atau kebangkrutan,” katanya melalui konferensi video, Rabu (1/4/2020).
Penurunan tarif PPh badan dari 25% menjadi 22% berlaku pada tahun pajak 2020 dan 2021. Selanjutnya, tarif PPh badan akan menjadi 20% pada 2022. Penurunan ini lebih cepat setahun dari rencana awal dalam RUU Omnibus Law Perpajakan. Simak artikel ‘Dipercepat, Ini Timeline Penurunan Tarif PPh Badan dalam Perpu 1/2020’.
Untuk wajib pajak dalam negeri berbentuk perseroan terbuka, dengan jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan pada bursa efek di Indonesia paling sedikit 40%, dan memenuhi persyaratan tertentu, dapat memperoleh tarif sebesar 3% lebih rendah dari tarif PPh badan.
Sebagai informasi, DDTC Fiscal Research sebelumnya juga merilis Policy Note bertajuk ‘Omnibus Law Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian: Suatu Catatan’. Dalam Policy Note ini, ada pula pembahasan mengenai penurunan tarif PPh badan. Untuk memperoleh kajian tersebut, silakan download di sini.
Selain penurunan tarif PPh Badan, ada 3 kebijakan perpajakan lain yang diatur dalam Perpu No.1/2020. Pertama, perlakuan perpajakan dalam kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE). Simak artikel ‘Perlakuan PPN dan PPh Transaksi Elektronik dalam Perpu 1/2020’.
Kedua, perpanjangan waktu pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan. Ketiga, pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk untuk penanganan kondisi darurat serta pemulihan dan penguatan ekonomi nasional.
Mayoritas kebijakan pajak yang masuk dalam Perpu itu memang menitikberatkan pada fungsi regulerend. Pajak hadir untuk bahu membahu bersama semua pihak dan masyarakat Indonesia menghadapi kondisi ekonomi yang tidak mudah akibat COVID-19. Simak Perspektif ‘Pajak Hadir Lawan Dampak Korona’.
Dalam analisis DDTC Fiscal Research sebelumnya, terdapat 151 yurisdiksi dari berbagai wilayah yang merespons dampak dari COVID-19 melalui kebijakan fiskal. Dari jumlah tersebut, 112 yurisdiksi telah (atau berencana) menggunakan instrumen pajak. Simak artikel ‘DDTC Fiscal Research: 112 Negara Pakai Instrumen Pajak Hadapi COVID-19’.
Sesuai Undang-Undang (UU) No.12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Perpu masih harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut (masa sidang pertama DPR setelah Perpu ditetapkan).
Pengajuan Perpu dilakukan dalam bentuk pengajuan RUU tentang penetapan Perpu menjadi UU. DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Perpu. Jika Perpu mendapat persetujuan DPR, Perpu ditetapkan menjadi UU.
Jika tidak mendapat persetujuan DPR, Perpu tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku. Jika Perpu harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku, DPR atau Presiden mengajukan RUU tentang Pencabutan Perpu.
RUU tentang Pencabutan Perpu mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Perpu. RUU ini ditetapkan menjadi UU tentang Perpu dalam rapat paripurna yang sama dengan penolakan (tidak ada pemberian persetujuan) dari DPR. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
titik berat atas perppu ini menitikberatkan pada fungsi regulerend. namun dalam tempo yang singkat ini, isu penurunan tarif yang baru berlaku di tahun berikutnya saya rasa tidak cukup memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak. Hal ini tentunya dikarenakan wajib pajak lebih menuntuk keleluasaan atau kelonggaran yang signifikan berlaku pada jangka waktu wabah ini terjadi seperti kepastian pengunduran waktu pelaporan spt badan di akhir april lalu kepatuhan PPN yang tidak didukung pengundurannya padahal untuk aspek withholding pajak penghasilan mendapat keringanan dan kepastian adanya waktu tambahan dalam penyelesaian sengketa pajak yang sudah berjalan di pemeriksaan, keberatan dan banding