JAKARTA, DDTCNews – Ditjen Pajak menegaskan tetap memajaki pengusaha atau investor Bitcoin yang dikabarkan keuntungannya dari jual beli Bitcoin meskipun tidak ada aturan khusus mengenai hal ini. Saat ini harga 1 Bitcoin bisa mencapai Rp227,18 juta.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan wajib pajak melaporkan penghasilan yang diperolehnya dari jual beli Bitcoin itu tetap melalui skema self assessment dan dilaporkan dalam SPT (Surat Pemberitahuan Tahunan) seperti biasa.
“Keuntungan dari jual beli Bitcoin merupakan penghasilan yang dikenakan pajak. Intinya tidak ada ketentuan khusus mengenai pajak atas jual beli Bitcoin. Jenis pajak yang akan dikenakan yaitu PPh (Pajak Penghasilan) pasal 25/29,” ujarnya kepada DDTCNews, Kamis (14/12).
Dalam Pasal 25 Undang-undang (UU) nomor 7 tahun 1983 tentang PPh menjelaskan pembayaran pajak bisa diangsur atau dicicil di muka dengan pembayaran cicilan tiap bulan. Jenis pajak ini memberikan kemudahan bagi wajib pajak agar tidak terbebani dengan pembayaran pajak yang dibayarkan sekaligus pada akhir tahun.
Adapun angsuran PPh pasal 25 dibayarkan setiap bulan paling lambat tanggal 15 pada bulan berikutnya dan dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) paling lambat tanggal 20 pada bulan berikutnya. Jika masa pajak bulan November 2017, maka angsurannya disetor paling lambat pada tanggal 15 Desember 2017 dan dilaporkan paling lambat 20 Desember 2017.
Besaran angsuran PPh pasal 25 dihitung berdasarkan data SPT tahun sebelumnya, setelah dikurangi dengan PPh yang dipotong atau dipungut dan kredit pajak lainnya, kemudian dibagi 12 atau total bulan dalam masa pajak setahun.
Kondisi itu mengakibatkan adanya selisih atau perbedaan yang terjadi dengan kondisi sebenarnya atas nilai pajak pada tahun pajak terakhir. Jika selisih tersebut menyebabkan pajak yang seharusnya dibayar menjadi kurang bayar, maka kekurangan itu harus dibayarkan pada akhir tahun atau dinamakan PPh pasal 29.
Di samping itu, Bitcoin merupakan uang elektronik yang dibuat sejak tahun 2009 dan dikaitkan dengan perangkat lunak yang menggunakan jaringan peer-to-peer tanpa penyimpanan terpusat, sehingga Departemen Keuangan Amerika Serikat menyebut Bitcoin sebagai mata uang yang terdesentralisasi.
Topologi peer-to-peer Bitcoin dan kurangnya administrasi tunggal membuat hal ini tidak mungkin baik untuk otoritas maupun pemerintahan untuk memanipulasi nilai dari Bitcoin, maupun menyebabkan inflasi dengan memproduksi lebih banyak Bitcoin. (Amu)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.