Ilustrasi.
RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa mengenai koreksi dasar pengenaan pajak (DPP) pajak penghasilan (PPh) badan akibat pinjaman dari pemegang saham yang dianggap sebagai peredaran usaha.
Dalam perkara ini, wajib pajak yang bergerak dalam bidang usaha industri kimia khusus mengalami kekurangan cash flow pada 2006. Akibatnya, pemegang saham perusahaan tersebut memberikan dukungan dengan memberi pinjaman agar perusahaan dapat berjalan sebagaimana mestinya sesuai asas going concern.
Otoritas pajak menilai bawa uang yang masuk dari pemegang saham tersebut sebagai omzet atau peredaran usaha. Berdasarkan hasil pengujian arus piutang untuk tahun pajak 2006, terdapat koreksi peredaran usaha senilai Rp6.857.691.161. Koreksi tersebut dipicu akibat tidak terdapatnya cukup data, bukti, dan keterangan yang meyakinkan bahwa dana yang diterima wajib pajak merupakan penerimaan pinjaman dari pemegang saham.
Sebaliknya, wajib pajak tidak setuju dengan koreksi otoritas pajak tersebut. Sebab, wajib pajak berpendapat bahwa seluruh penerimaan dana dari pemegang saham merupakan pinjaman. Berdasarkan sistem self-assessment, wajib pajak berwenang melaporkan surat pemberitahuan (SPT) sesuai perhitungannya sendiri. Jika otoritas pajak menilai SPT tersebut tidak benar, maka tanggung jawab pembuktian seharusnya ada pada otoritas pajak, bukan wajib pajak.
Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Kemudian, di tingkat PK, Mahkamah Agung menolak permohonan PK yang diajukan oleh otoritas pajak.
Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan ID.
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat koreksi positif yang ditetapkan oleh otoritas pajak tidak dapat dipertahankan.
Berdasarkan pada penelitian, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menilai bahwa terdapat cukup bukti dan alasan dari wajib pajak yang membuktikan tidak adanya uang masuk dari pemegang saham yang dapat dianggap peredaran usaha.
Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Selanjutnya, dengan diterbitkannya Putusan Pengadilan Pajak No. PUT.22805/PP/M.XVII/15/2010 tanggal 23 Maret 2010, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 2 Agustus 2010.
Pokok sengketa dalam perkara ini adalah mengenai pengiriman salinan putusan Pengadilan Pajak yang telah melewati batas waktu dan koreksi positif DPP objek PPh badan atas peredaran usaha senilai Rp6.857.691.161 yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
PEMOHON PK selaku otoritas pajak menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Dalam perkara ini, Pemohon PK menganggap bahwa putusan Pengadilan Pajak telah cacat hukum. Selain itu, Pemohon PK juga tidak setuju dengan putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang membatalkan koreksi positif DPP PPh Badan sebesar Rp6.857.691.161.
Menurut Pemohon PK, Putusan Pengadilan Pajak No. PUT.22805/PP/M.XVII/15/2010 telah cacat hukum karena pengiriman salinan putusan Pengadilan Pajak telah melewati jangka waktu yang seharusnya. Berdasarkan Pasal 88 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU 14/2002), salinan putusan atau penetapan Pengadilan Pajak dikirim kepada para pihak dengan surat oleh sekretaris dalam jangka waktu 30 hari sejak tanggal putusan Pengadilan Pajak diucapkan.
Dalam konteks perkara ini, salinan putusan Pengadilan Pajak seharusnya dikirimkan paling lambat pada 22 April 2010 karena Putusan Pengadilan Pajak diucapkan pada 23 Maret 2010. Namun demikian, salinan tersebut baru dikirim pada 4 Mei 2010 dan diterima Pemohon PK secara langsung pada 11 Mei 2010.
Selanjutnya, berkenaan dengan pokok sengketa mengenai pembatalan koreksi positif DPP PPh badan, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa sengketa ini muncul akibat Pemohon PK menerima sejumlah uang berupa pinjaman dari pemegang saham pada tahun pajak 2006. Berdasarkan pengujian arus piutang, Termohon PK menilai bahwa uang yang diterima Pemohon PK bukan merupakan pinjaman/utang, melainkan omzet atau peredaran usaha.
Sebab, Termohon PK menilai tidak terdapat cukup data, bukti, serta keterangan yang dapat membuktikan bahwa uang yang diterima wajib pajak merupakan pinjaman dari pemegang saham. Oleh karena itu, Pemohon PK tidak setuju ketika Majelis Hakim Pengadilan Pajak membatalkan koreksi positif DPP PPh Badan sebesar Rp6.857.691.161.
Selain karena kurangnya data yang dapat membuktikan keberadaan transaksi pinjaman, koreksi Pemohon PK tersebut juga dilakukan berdasarkan ketidakwajaran data debt-to-equity ratio (DER) Termohon PK.
Berdasarkan data yang didapatkan, utang usaha Termohon PK pada 2006 mencapai 15.585,72% dibandingkan jumlah modalnya. Pemohon PK menilai bahwa jumlah utang tersebut sangat tidak wajar dalam praktik bisnis yang sehat.
Kemudian pemeriksa juga menemukan bahwa para pemegang saham yang memberikan pinjaman kepada Termohon PK memiliki hubungan istimewa, yaitu Nyonya X dan Tuan Y yang merupakan pasangan suami istri, serta Tuan Z yang merupakan anak pasangan tersebut. Adapun rincian besaran pinjaman dari pemegang saham tersebut adalah Nyonya X senilai Rp200.000.000, Tuan Y senilai Rp4.911.427.000, dan Tuan Z senilai Rp2.550.000.000.
Permasalahan yang timbul adalah bahwa hanya utang antara Termohon PK dengan Tuan Y yang didukung oleh loan agreement. Lebih lanjut, dokumen tersebut juga tidak disusun sesuai standar perjanjian pinjaman. Sebab, dokumen tersebut tidak memuat jumlah pinjaman, jangka waktu pengembalian, besaran setiap pengembalian, bunga, dan elemen penting lainnya. Berdasarkan uraian di atas, Pemohon PK menilai bahwa koreksi yang dilakukannya sudah benar dan dapat dipertahankan.
Sebaliknya, Termohon PK menyatakan tidak setuju dengan pendapat Pemohon PK. Termohon PK mengemukakan bahwa pinjaman kepada pemegang saham pada 2006 dilakukan karena perusahaan kekurangan cash flow sebagaimana pernah terjadi juga pada 2004 dan 2005. Akan tetapi, pihak pemeriksa dalam dua proses pemeriksaan tersebut tidak pernah menganggap pinjaman kepada pemegang saham sebagai peredaran usaha yang tidak dilaporkan.
Lebih lanjut, Termohon PK menyatakan bahwa pencatatan akuntansi selama 2006 telah mencatat penerimaan dan pengembalian dana kepada pemegang saham. Termohon PK juga menekankan bahwa Pemohon PK seharusnya dapat membuktikan adanya arus barang dan pihak yang membeli, jika pinjaman dianggap sebagai peredaran usaha.
Sebab, mengacu pada sistem self-assessment, wajib pajak memiliki kewenangan untuk melaporkan surat pemberitahuan (SPT) berdasarkan perhitungannya sendiri. Apabila otoritas pajak menilai SPT yang dilaporkan tidak benar, maka tanggung jawab pembuktian seharusnya ada pada otoritas pajak, bukan wajib pajak. Berdasarkan uraian di atas, Termohon PK menyatakan koreksi yang dilakukan oleh Pemohon PK tidak benar sehingga harus dibatalkan.
MAHKAMAH Agung berpendapat bahwa alasan-alasan permohonan PK yang diajukan oleh Pemohon PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan banding sudah tepat dan tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Terdapat dua pertimbangan hukum Mahkamah Agung sebagai berikut.
Pertama, alasan permohonan PK berkenaan dengan putusan Pengadilan Pajak yang dianggap cacat hukum tidak dapat dibenarkan. Sebab, jangka waktu pengiriman salinan putusan Pengadilan Pajak hanya berkaitan dengan proses administrasi sehingga tidak dapat membatalkan putusan.
Kedua, alasan permohonan PK atas koreksi DPP PPh badan sebesar Rp6.857.691.161 untuk tahun pajak 2006 tidak dapat dibenarkan. Sebab, aliran uang masuk kepada Pemohon PK sebesar Rp6.857.691.161 bukan berasal dari penjualan, melainkan pinjaman dari pemegang saham.
Berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan PK yang diajukan oleh Pemohon PK dinilai tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan demikian, Pemohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan dihukum membayar biaya perkara. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.