Ilustrasi.
RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa pengkreditan pajak masukan atas pembelian bahan bakar minyak (BBM) berupa solar.
Otoritas pajak menilai bahwa wajib pajak tidak dapat melakukan pengkreditan pajak masukan atas pembelian BBM yang dilakukannya. Sebab, otoritas pajak menemukan fakta bahwa terdapat ketidaksesuaian data penjual dalam faktur pajak dan dokumen bukti pengambilan BBM. Sebaliknya, wajib pajak berpendapat bahwa bahwa pihaknya berhak melakukan pengkreditan pajak masukan atas pembelian BBM yang dilakukannya.
Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Selanjutnya, di tingkat PK, Mahkamah Agung menolak permohonan PK yang diajukan oleh otoritas pajak.
Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan.id.
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat bahwa otoritas pajak tidak konsisten dengan dasar koreksi yang dilakukannya sehingga harus dibatalkan.
Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Dengan keluarnya Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.51303/PP/M.XIII.B/16/2014 pada 17 Maret 2014, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 3 Juli 2014.
Pokok sengketa dalam perkara ini adalah koreksi kredit pajak PPN masa pajak September 2010 sebesar Rp2.808.652.
PEMOHON PK selaku otoritas pajak menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Dalam perkara ini, Termohon PK melakukan pembelian BBM dari suatu perusahaan.
Atas pembelian BBM tersebut tentunya terdapat dokumen administrasi seperti faktur pajak dan dokumen bukti pengambilan BBM. Dalam dokumen administrasi yang dimaksud, Pemohon PK menemukan fakta bahwa terdapat ketidaksesuaian data/keterangan antara yang tercantum dalam faktur pajak dengan yang tercantum pada bukti pengambilan barang.
Adapun dalam faktur pajak tersebut tercantum pihak yang menyerahkan BBM berupa solar adalah PT A. Sementara itu, pada dokumen bukti pengambilan BBM tercantum pihak yang menyerahkan ialah PT B. Mengacu pada hasil pemeriksaan di atas, Pemohon PK beranggapan bahwa faktur pajak yang diterima Termohon PK tidak valid sehingga pengkreditan pajak masukan tidak dapat dilakukan.
Sebab, faktur pajak yang direditkan oleh Termohon PK tidak memenuhi persyaratan material sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 s.t.d.d. Undang-Undang No. 1 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN). Berdasarkan uraian di atas, Pemohon PK menyatakan bahwa koreksi yang dilakukan Pemohon PK sudah benar dan tetap dapat dipertahankan.
Sebaliknya, Termohon PK menyatakan tidak setuju dengan pendapat Pemohon PK. Termohon PK menyatakan bahwa faktur pajak yang digunakan sebagai dasar pengkreditan pajak masukan yang dilakukannya sudah sesuai dengan UU PPN yang berlaku. Dengan begitu, koreksi yang dilakukan Pemohon PK tidak dapat dipertahankan.
MAHKAMAH Agung berpendapat bahwa alasan-alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan banding sudah tepat dan benar. Adapun terdapat dua pertimbangan Mahkamah Agung sebagai berikut.
Pertama, alasan-alasan permohonan PK terkait koreksi kredit pajak PPN masa pajak September 2010 sebesar Rp2.808.652 yang tidak dapat dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak tidak dapat dibenarkan. Sebab, setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan oleh para pihak, pendapat Pemohon PK tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
Kedua, dalam perkara ini, atas pembelian BBM yang dilakukan Termohon PK telah diterbitkan faktur pajaknya. Dengan berdasarkan faktur pajak tersebut, pengkrditan pajak masukan yang dilakukan Termohon PK dapat dibenarkan.
Mengacu pada uraian di atas, koreksi yang dilakukan Pemohon PK tidak dapat dipertahankan karena tidak sesuai dengan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 s.t.d.d. Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan juncto Pasal 9 ayat (8) Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 s.t.d.d. Undang-Undang No. 1 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, permohonan PK yang diajukan oleh Pemohon PK dinilai tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan begitu, Pemohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.