PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

Sekali Lagi Mengenai Tanggung Jawab Renteng dalam PPN

Redaksi DDTCNews | Jumat, 10 April 2020 | 22:28 WIB
Sekali Lagi Mengenai Tanggung Jawab Renteng dalam PPN

BERBICARA mengenai tanggung jawab renteng dalam PPN selalu menarik dan diwarnai dengan perbedaan pandangan. Berikut ini disampaikan perspektif tanggung jawab renteng dimulai dari definisi umum, ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, pendapat ahli, dan konsekuensi logis sederhana dari PPN sebagai pajak tidak langsung.

1. Definisi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “tanggung jawab” memiliki pengertian keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya), sebagai akibat sikap pihak sendiri atau pihak lain. Sedangkan, kata “renteng” berdasarkan KBBI mengandung arti berendeng atau beruntun-runtun.

Baca Juga:
PPN 12 Persen, Pemerintah Ingin Rakyat Lebih Luas Ikut Bayar Pajak

Mengacu pada definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab renteng adalah keadaan di mana suatu pihak menanggung segala sesuatunya akibat tindakan yang dilakukan pihak lain. Atau dengan kata lain, adanya pelimpahan beban tanggung jawab secara beruntun dari satu pihak kepada pihak berikutnya. Untuk itu, paling tidak diperlukan dua pihak untuk dapat terlaksananya tanggung jawab renteng.

2. Ketentuan Peraturan Perundang-undangan Perpajakan

Pasal 33 UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP)

Baca Juga:
Jasa Travel Agent Kena PPN Besaran Tertentu, PM Tak Dapat Dikreditkan

“Pembeli atau penerima jasa sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti pembayaran pajak”.

Penjelasan Pasal 33 UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang KUP

“Sesuai dengan prinsip beban pembayaran pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pembeli atau konsumen barang atau penerima jasa, karena itu sudah seharusnya apabila pembeli atau konsumen barang dan penerima jasa pertanggung jawab renteng atas pembayaran pajak yang terhutang apabila ternyata bahwa pajak yang terhutang tersebut tidak dibayarnya”.

Baca Juga:
Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Pasal 33 UU Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang KUP

“Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya bertanggungjawab secara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayar”.

Penjelasan Pasal 33 UU Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang KUP

Baca Juga:
Apa Itu Barang Tidak Kena PPN serta PPN Tak Dipungut dan Dibebaskan?

“Sesuai dengan prinsip beban pembayaran pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pada pembeli atau konsumen barang atau penerima jasa. Oleh karena itu sudah seharusnya apabila pembeli atau konsumen barang dan penerima jasa bertanggung jawab renteng atas pembayaran pajak yang terutang apabila ternyata bahwa pajak yang terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi jasa dan pembeli atau penerima jasa tidak dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak kepada penjual atau pemberi jasa”.

Sebagai informasi, Pasal 33 ini dalam UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang KUP dihapus dan dicantumkan dalam Pasal 16 F UU Nomor 42 Tahun 2009. Tujuan dari pencantuman pasal tentang tanggung jawab renteng ini ke dalam UU PPN karena pengaturan tanggung jawab renteng berhubungan dengan ketentuan material (substansi).

Pasal 16 F UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM)

Baca Juga:
Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah terhadap Mayoritas Mata Uang Mitra

“Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa Pajak telah dibayar.”

Penjelasan Pasal 16 F UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang PPN dan PPnBM

“Sesuai dengan prinsip beban pembayaran pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pada pembeli atau konsumen barang atau penerima jasa. Oleh karena itu, sudah seharusnya apabila pembeli atau konsumen barang dan penerima jasa bertanggung jawab renteng atas pembayaran pajak yang terutang apabila ternyata bahwa pajak yang terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi jasa dan pembeli atau penerima jasa tidak dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak kepada penjual atau pemberi jasa.”

Baca Juga:
Sempat Menolak, PDIP Kini Berbalik Dukung PPN 12 Persen

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2012

Pasal 4 Ayat (1), “Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah”.

Pasal 4 Ayat (2), “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberlakukan dalam hal:

Baca Juga:
Hingga November, Kanwil DJP Jakbar Kumpulkan Pajak Rp57,67 Triliun
  1. Pajak yang terutang tersebut dapat ditagih kepada penjual barang atau pemberi jasa; atau
  2. Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak kepada penjual barang atau pemberi jasa”.

Pasal 4 Ayat (3), “Tanggung jawab renteng sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditagih melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.”

Penjelasan Pasal 4 PP Nomor 1 Tahun 2012

“Tanggung renteng melekat pada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak atas transaksi pembelian Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean.”

Baca Juga:
Catat! Hari Ini Batas Permohonan SKB PPN yang Dimanfaatkan untuk 2024

3. Beberapa Pendapat Ahli:

Penjual merupakan Agen Negara dalam memungut PPN

Mengutip pendapat Pato dan Marques (2014), sebagaimana dikutip oleh Danny Septriadi dalam tulisann yang berjudul “Perlindungan bagi Pembeli dalam Sistem Pemungutan PPN”, menyatakan bahwa penjual merupakan Agen Negara dalam memungut PPN. Oleh karena itu, negara akan menagih hak negara dari penjual atas PPN yang terutang dari penyerahan yang dilakukan penjual.

Baca Juga:
Coretax Berlaku 2025, DJP Online Tetap Bisa Digunakan Sementara

PPN adalah pajak tidak langsung

PPN merupakan pajak tidak langsung yang beban pajaknya dialihkan sepenuhnya kepada konsumen atau pembeli melalui forward shifting. Dengan forward shifting, beban PPN tercermin dalam harga barang atau jasa yang dibayarkan oleh konsumen atau pembeli (Ben Terra).

Berdasarkan konsep PPN sebagai pajak tidak langsung, pihak yang memikul beban pajak dan pihak yang bertanggung jawab untuk memungut dan menyetorkan pajak ke kas negara merupakan dua pihak yang berbeda. Artinya, Menurut Pato dan Marques (2014), pemikul beban PPN adalah konsumen akhir, sedangkan pihak yang bertanggung jawab atas pemenuhan kewajiban membayar pajak ke kas negara (taxable person) adalah penjual yang telah melimpahkan beban pajak kepada konsumen akhir (pembeli/penerima jasa).

Baca Juga:
DJP Sebut Top-up e-Money Juga Bakal Kena PPN 12 Persen Tahun Depan

4. Konsekuensi Logis PPN sebagai Pajak Tidak Langsung

Konsekuensi logis dari PPN sebagai pajak tidak langsung, yaitu apabila penjual atau pemberi jasa yang telah memenuhi syarat sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau disebut dengan qualifying taxable person dan melakukan penyerahan (yang terutang PPN) atas barang dan/atau jasa yang tergolong sebagai Barang dan/atau Jasa Kena Pajak (BKP dan/atau JKP), PKP tersebut harus membuat Faktur Pajak yang merupakan bukti pungutan pajak yang dibuat oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP.

Dengan demikian, secara sederhana dapat dikatakan jika penjual atau pemberi jasa yang telah memenuhi syarat sebagai PKP tidak melaksanakan kewajiban pemungutan PPN tentunya harus bertanggung jawab penuh secara hukum.


Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Kamis, 26 Desember 2024 | 08:45 WIB BERITA PAJAK HARI INI

PPN 12 Persen, Pemerintah Ingin Rakyat Lebih Luas Ikut Bayar Pajak

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

BERITA PILIHAN
Kamis, 26 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK DAERAH

9 Jenis Pajak Daerah Terbaru yang Ditetapkan Pemkot Sibolga

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:30 WIB KILAS BALIK 2024

Januari 2024: Ketentuan Tarif Efektif PPh Pasal 21 Mulai Berlaku

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Kredit Investasi Padat Karya Diluncurkan, Plafonnya Capai Rp10 Miliar

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:30 WIB PENGAWASAN BEA CUKAI

Libur Natal dan Tahun Baru, Bea Cukai Perketat Pengawasan di Perairan

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:00 WIB CORETAX SYSTEM

Fitur Coretax yang Tersedia selama Praimplementasi Terbatas, Apa Saja?

Kamis, 26 Desember 2024 | 08:45 WIB BERITA PAJAK HARI INI

PPN 12 Persen, Pemerintah Ingin Rakyat Lebih Luas Ikut Bayar Pajak

Kamis, 26 Desember 2024 | 08:30 WIB KOTA BATAM

Ada Pemutihan, Pemkot Berhasil Cairkan Piutang Pajak Rp30 Miliar

Kamis, 26 Desember 2024 | 08:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Bagaimana Cara Peroleh Diskon 50 Persen Listrik Januari-Februari 2025?

Rabu, 25 Desember 2024 | 15:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Pemerintah akan Salurkan KUR Rp300 Triliun Tahun Depan