Ilustrasi gedung Kemenkeu.
JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah telah resmi mengesahkan multilateral instrument on tax treaty (MLI) melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 77/2019. Topik tersebut menjadi bahasan beberapa media nasional pada hari ini, Selasa (31/12/2019).
Pemerintah akan segera mengirimkan naskah payung hukum pengesahan Multilateral Convention to Implement Tax Treaty Related to Measures to Prevent Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) ini kepada Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
“Targetnya, MLI berlaku efektif 3 bulan ke depan [setelah payung hukum pengesahan dikirimkan ke OECD],” kata Plt. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Arif Baharudin.
Secara paralel, sambungnya, pemerintah akan melakukan sosialisasi kepada pihak terkait, baik itu wajib pajak, asosiasi, maupun para petugas pajak. MLI diperkirakan akan menjadi instrumen yang dapat mencegah BEPS secara serentak, tersinkronisasi dan efisien.
Seperti diketahui, MLI telah ditandatangani di Paris, Prancis pada 7 Juni 2017. MLI diperlu disahkan sebagai dasar pemberlakuannya. Dengan demikian, pasal-pasal yang diadopsi dalam konvensi dapat diberlakukan terhadap persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B) yang tercakup dalam persyaratan (reservations). Baca tentang MLI di sini.
Perpres yang diundangkan dan mulai berlaku pada 12 November 2019 ini memuat salinan naskah asli konvensi dalam Bahasa Prancis dan Bahasa Indonesia dengan persyaratan. Ada 47 P3B yang dimasukkan dalam konvensi ini.
Selain itu, beberapa media nasional juga menyoroti perlambatan investasi di sektor manufaktur. Hal ini diperkirakan juga akan berdampak pada penerimaan pajak. Apalagi, kontribusi sektor ini masih cukup besar. Simak wawancara DDTCNews dengan Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Pajak DJP Yon Arsal terkait topik ini dalam majalah InsideTax edisi ke 41. Download majalah InsideTax di sini.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Plt. Kepala BKF Kemenkeu Arif Baharudin mengatakan dengan diimplementasikannya MLI, seluruh P3B yang masuk di dalam cakupannya secara otomatis akan termodifikasi. Dengan demikian, Indonesia bersama dengan beberapa negara mitra P3B tidak perlu melakukan negosiasi bilateral satu per satu.
“Secara substansi, MLI akan menambahkan ketentuan anti penghindaran pajak yang tidak ada di P3B existing,” katanya.
Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak (DJP) John Hutagaol mengatakan untuk di kawasan Asia Tenggara, Indonesia termasuk negara yang terdepan dalam mengadopsi dan mengimplementasikan ketentuan internasional, termasuk Aksi ke-15 Proyek BEPS G20/OECD melalui MLI.
Indonesia, sambungnya, sudah memenuhi empat standar minimum dari Proyek BEPS antara lain Aksi ke-5 mengenai harmful tax practise, Aksi ke-6 mengenai treaty abuse, Aksi ke-13 mengenai transfer pricing documentation, dan aksi ke-14 mengenai dispute resolution. Selain itu, Indonesia juga sudah memenuhi aksi ke-3 mengenai controlled foreign companies.
Managing Partner DDTC Darussalam mengatakan beleid baru terkait pengesahan MLI memiliki dampak positif untuk menutup celah penyalahgunaan tax treaty secara serentak dengan 47 yurisdiksi. Namun, dia menyoroti juga adanya kewenangan yang besar kepada otoritas pajak untuk menolak tax treaty benefit kepada WP.
Dia memberi contoh mengenai ketentuan tentang principal purpose test (PPT), yaitu uji terhadap transaksi pemohon P3B. Hal ini dinilai menurunkan kepastian hukum bagi wajib pajak yang hendak menggunakan tax treaty.
“Walaupun demikian, tren global memang saat ini fokus kepada otoritas pajak untuk mencegah tax treaty abuse,” katanya.
Partner DDTC Fiscal Research Bawono Kristiaji mengatakan hanya ada 47 P3B yang masuk dikarenakan skema MLI tidak mewajibkan suatu negara untuk mencantumkan seluruh P3B yang dimiliki. Bahkan, skema MLI membebaskan tiap negara memilih opsi-opsi yang berbeda untuk masing-masing pasal (flexibility).
“Umumnya suatu negara tidak mencantumkan seluruh P3B yang dimilikinya karena sedang dalam proses renegosiasi atau dalam pembicaraan bilateral yang nantinya akan menyepakati perubahan secara bersama-sama,” katanya.
Partner DDTC Fiscal Research Bawono Kristiaji mengatakan MLI dimaksudkan untuk mengubah beberapa pasal dalam P3B agar bisa secara efektif mencegah BEPS ataupun sengketa pajak internasional secara berlarut-larut.
“Namun dengan adanya kelonggaran (flexibility), terdapat potensi bahwa pada akhirnya hanya sedikit dari total 3500-an P3B saja yang akan berubah. Ini tentu mengkhawatirkan bagi prospek mitigasi BEPS. Namun, untungnya ada beberapa minimum standard yang harus dipenuhi, semisal tentang pencegahan treaty shopping,” jelasnya.
Deputi Bidang Perencanaan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Ikmal Lukman mengatakan masalah terbesar yang menjadi penghambat investasi pada sektor manufaktur adalah terkait dengan upah minimum kabupaten/kota yang cukup tinggi di beberapa pusat industri.
UMK yang terlalu tinggi menyebabkan investasi manufaktur, terutama sektor padat karya, menjadi tidak menarik. Pada 2016, investasi sektor sekunder atau manufaktur tercatat senilai Rp335,8 triliun dan turun menjadi Rp222,3 triliun pada 2018. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.