Perdana Menteri (PM) Jepang Shinzo Abe.
TOKYO, DDTCNews – Perdana Menteri (PM) Jepang Shinzo Abe mengatakan kenaikan tarif pajak penjualan (sales tax) harus tetap dieksekusi sesuai rencana pada Oktober tahun ini.
Menurutnya, langkah ini harus diambil untuk memenuhi biaya populasi yang menua. Penuaan terjadi sangat cepat. Di sisi lain, pemerintah bersiap untuk mengalokasikan beberapa pengeluaran fiskal yang fleksibel sesuai dengan kebutuhan.
“Jepang harus melanjutkan reformasi fiskal,” ujar PM Abe, seperti dikutip pada Kamis (4/4/2019).
Seperti rencana pemerintah, Moody’s menyarankan pemerintah Jepang untuk menaikkan tarif sales tax pada Oktober mendatang. Kenaikan ini untuk mempertimbangkan ketegangan perdagangan global yang cenderung bersifat sementara.
Wakil Presiden Pemeringkat Negara Moody’s Investors Service Christian de Guzman memprediksi prospek pertumbuhan Jepang akan tetap stabil karena masih didukung oleh kebijakan moneter yang terbilang cukup akomodatif terhadap perekonomian.
“Oktober merupakan waktu yang paling tepat bagi Jepang untuk menaikkan tarif pajak konsumsi dari 8% menjadi 10%, terlebih didukung oleh pertumbuhan ekonomi dan kondisi politik yang kini masih stabil,” tutur de Guzman.
Melalui usulan itu, de Guzman membantu meredakan kekhawatiran perekonomian Jepang yang kabarnya tidak cukup kokoh untuk meningkatkan tarif sales tax. Kekhawatiran itu berasal dari beberapa ekonomi dan pembuat kebijakan yang mengklaim akan terjadi penurunan konsumsi rumah tangga.
Kekhawatiran beberapa kalangan juga berlandaskan pada perang dagang yang masih berlangsung antara Amerika Serikat (AS) dengan China. Ini mengingat bahwa pabrik pembuat komponen elektronik dan mesin berat di Jepang menyalurkan barang produksinya ke China dan pusat manufaktur lainnya.
Kendati kekhawatiran tersebut masih berpotensi terealisasi, de Guzman menyarankan pemerintah Jepang agar menerapkan sikap preventif dengan memperpanjang pemberian keringanan pajak dan menyalurkan subsidi rumah tangga.
“Risiko yang ditimbulkan oleh perang dagang lebih bersifat siklus, bukan struktural,” tegas de Guzman.
Selain itu, de Guzman menjelaskan Jepang masih mampu mendanai utangnya secara stabil meskipun beban utang yang dikantongi Negeri Sakura ini mencapai dua kali lipat dari kemampuan perekonomiannya. Pelunasan utang bisa dibantu oleh tingginya konsumsi rumah tangga dan investasi perusahaan. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.