Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Pemungutan pajak pertambahan nilai (PPN) masih belum optimal. Banyaknya pengecualian (tax exemption) dan besarnya underground economy disebut menjadi penyebab. Topik ini menjadi bahasan beberapa media nasional pada hari ini, Jumat (25/1/2018).
Belum optimalnya pemungutan PPN ini bisa dilihat dari beberapa indikator, salah satunya adalah value added tax(VAT) efficiency ratio. Indikator ini dihitung dengan membagi antara realisasi penerimaan PPN dengan tarif PPN yang dikalikan dengan produk domestik bruto (PDB).
Pada 2018, dengan penerimaan PPN senilai Rp538,2 triliun dan proyeksi PDB senilai Rp14.735,8 triliun, rasio VATefficiency ratio hanya berada di 0,36. Hal ini menunjukkan penerimaan PPN hanya mencapai 36% dari potensi yang dihitung berdasarkan PDB.
Selain itu, belum optimalnya pemungutan PPN juga dapat dilihat dari VAT gross collection. Indikator ini dihitung dengan cara membagi realisasi penerimaan PPN dengan tarif PPN yang dikalikan dengan konsumsi rumah tangga dalam PDB.
Jika diestimasikan konsumsi rumah tangga pada 2018 tumbuh 5% atau senilai Rp8.009,2 triliun, VAT gross collection ratio tercatat hanya 66,5. Dengan demikian, pemungutan PPN hanya mencakup 66,5% dari total potensi penerimaan atas pajak konsumsi yang ada.
Selain itu, beberapa media nasional juga masih menyoroti topik insentif pajak untuk kewajiban masukya devisa hasil ekspor (DHE) sumber daya alam (SDA). Kementerian Keuangan mengaku aturan turunan yang mencakup insentif pajak akan terbit dalam satu pekan ke depan.
Beberapa media nasional juga menyoroti topik pemajakan e-commerce dan rencana pemajakan ekonomi digital secara umum. Indonesia dinilai bisa mencontoh India yang berani memunculkan pungutan lain di luar pajak penghasilan (PPh) untuk ekonomi digital.
Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji mengatakan konsep pajak e-commerce yang diberlakukan India lebih pada pemajakan untuk raksasa digital yang berisiko melakukan base erosion and profit shifting (BEPS). Denganequalization levy (EQL), India menjadi salah satu negara yang meluncurkan aksi unilateral tanpa menunggu konsensus OECD.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
B. Bawono Kristiaji mengatakan memang sesuai Undang-Undang (UU) PPN, ada beberapa komoditas yang dikecualikan dari pengenaan PPN. Banyaknya pengecualian itu memunculkan kesulitan tersendiri dalam praktik administrasi PPN. Salah satunya, pajak masukan yang tidak bisa dikreditkan oleh pengusaha yang bergerak di bidang usaha bukan objek PPN.
Terkait dengan underground economy, Bawono mengatakan ada situasi yang paradoks karena ukuran ambang batas pengusaha kena pajak (PKP) senilai Rp4,8 miliar. Tingginya ambang batas itu membuat otoritas sulit untuk mengidentifikasi rantai konsumsinya.
“Yang semula kelihatan menjadi kian samar. Jadi perlu ditinjau ulang [ambang batas PKP],” ujarnya.
Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Ditjen Pajak Yon Arsal mengatakan underground economymenjadi masalah tiap negara. Negara di Kawasan Skandinavia yang memiliki kepatuhan dan rasio pajak cukup tinggi pun memiliki porsi underground economy yang cukup besar.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengatakan aturan turunan PP No. 1/2019 terkait DHE SDA yang akan mengatur insentif pajak akan terbit pekan depan. Dia mengatakan akan ada beberapa pelonggaran yang diberikan.
“Misal, depositonya diperpanjang atau diperindah dari satu bank ke bank lain selama masih berada di dalam negeri boleh mendapatkan fasilitas [tarif pajak] yang sama.” Katanya.
Dirjen Bea dan Cukai Heru Pambudi mengatakan nantinya akan ada rincian daftar komoditas dalam ketentuan DHE SDA. Semuanya akan dirinci sesuai dengan empat kategori besar yang ada di PP No.1/2019 yakni pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan.
“Semuanya di-detail-kan untuk diterapkan pada sistem automasi di Bea Cukai, agar dokumen ekspornya dapat direkonsiliasi dengan data dari Bank Indonesia,” katanya.
B. Bawono Kristiaji mengatakan langkah unilateral terkait ekonomi digital dari beberapa negara seperti China, Australia, Hong Kong, Jepang, dan beberapa negara Uni Eropa bisa dijadikan referensi bagi Indonesia. Khusus untuk pajak e-commerce, mereka tetap tunduk pada ketentuan umum perpajakan.
“Indonesia dalam hal ini [pajak e-commerce] sudah sesuai benchmark dan prinsip level playing field,” katanya.
Dirjen Pajak Robert Pakpahan mengatakan hingga saat ini pemerintah masih mengkaji aspirasi terkait penurunan tarif PPh badan. Dia mengatakan kajian belum sampai pada besaran penurunan tarif. Pemerintah masih mengkaji perlu atau tidaknya penurunan tarif PPh badan.
Sekjen DPP Real Estate Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida mengatakan pengembang property menanti realisasi rencana pemerintah yang akan menurunkan ambang batas pengenaan PPnBM untuk properti dari Rp30 miliar menjadi Rp20 miliar. Selain itu, ada pula janji pemangkasan tarif PPh Pasal 22 dari 5% menjadi 1%. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.