Ilustrasi. (DDTCNews)
JAKARTA, DDTCNews—Kementerian Keuangan berencana merevisi Undang-Undang (UU) Cukai untuk mengakomodir mekanisme penetapan yang lebih efektif dalam melakukan ekstensifikasi objek cukai.
Rencana tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 77/2020 tentang Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Keuangan 2020-2024. Revisi itu juga bertujuan untuk memaksimalkan potensi penerimaan dari cukai.
Salah satu kebijakan yang akan diangkat dalam revisi UU Cukai itu di antaranya konversi pengenaan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) atas barang-barang tertentu menjadi pengenaan cukai.
“Perlunya mengakomodir pengaturan objek cukai yang lebih dinamis dengan mekanisme penetapan yang lebih efektif dan efisien agar dapat memaksimalkan cukai sebagai sumber penerimaan negara,” sebut PMK 70/2020, Jumat (3/7/2020).
Pengenaan cukai menggantikan pengenaan PPnBM sebenarnya bukan barang baru. Hal ini dimulai ketika Kemenkeu mengusulkan tiga jenis cukai baru yakni cukai atas kantong plastik, minuman berpemanis, dan cukai atas emisi kendaraan bermotor pada Februari lalu.
Kala itu, DJBC menerangkan ada dua pilihan skema untuk pengenaan cukai emisi yaitu menarik cukai hanya pada setiap pembelian kendaraan bermotor baru sehingga pengenaan cukai emisi ini bakal menggantikan pengenaan PPnBM.
Kemudian, skema kedua yang dipertimbangkan pemerintah adalah memungut cukai emisi dari setiap pemilik kendaraan bermotor setiap tahun seperti yang telah dilakukan di Inggris, serupa seperti membayar pajak kendaraan tahunan.
Selain untuk mendukung ekstensifikasi objek cukai, urgensi lain dari revisi UU Cukai adalah dalam rangka menyesuaikan beberapa materi administrasi cukai dengan perkembangan hukum, ekonomi, lingkungan, sosial, dan teknologi.
Misal, pengaturan yang dapat mengakomodir berbagai jenis potensi objek cukai atau subjek cukai, penyesuaian terminologi dengan regulasi terkait lainnya, penerapan single document, dan pengawasan berbasis teknologi.
Selain itu, alasan lainnya revisi UU Cukai perlu dilakukan adalah menegaskan paradigma cukai sebagai instrumen fiskal untuk pengendalian konsumsi objek tertentu agar tak sekadar sebagai sin tax saja, tetapi juga sebagai control tax atau driving tax.
Misal, sanksi administrasi lebih diutamakan daripada sanksi pidana dengan penerapan azas ultimum remedium. Lalu, perlu adanya rekonstruksi konsep penerapan earmarking cukai. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.