Haula Rosdiana (Foto: Femina)
DEPOK, DDTCNews - Rancangan Undang Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) belum juga selesai meski sudah tiga tahun keluar masuk pembahasan di parlemen. Mandeknya revisi peraturan ini tidak lepas dari peliknya masalah yang menyelimuti RUU KUP.
Guru Besar Kebijakan Pajak UI Haula Rosdiana mengidentifikasi setidaknya ada 4 pokok persoalan yang membuat RUU KUP tak kunjung selesai dibahas. Dimensi politik hingga aspek materiil menjadi poin krusial mandeknya RUU KUP.
“KUP ini ruhnya sistem perpajakan yang membuat jalannya suatu sistem perpajakan. UU materialnya seperti UU PPh dan PPN tidak akan jalan dengan optimal tanpa KUP. Ada beberapa masalah besar terkait dengan KUP. Pertama, aspek politisnya sangat kuat, ditataran praktisnya kita melihat bahwa tarik menarik kepentingan terkait KUP itu terasa kental sekali,” katanya di Fakultas Ilmu Administrasi UI, Selasa (13/3).
Kemudian problematika kedua adalah masih minimnya pemahaman baik masyarakat maupun pembuat kebijakan terkait UU KUP. Sebagai perangkat aturan, undang-undang ini tidak bisa dipisahkan dengan aturan materiilnya misal di UU PPh dan PPN.
“Jika dilihat dari sisi filosofisnya masih banyak yang belum paham. Misalnya dalam masalah titik koma dalam UU seperti sanksi yang harus ada pembedaan antara satu dengan yang lainnya. Jadi memahami KUP itu tidak berdiri sendiri dia harus tahu betul masalah ketentuan materialnya dan juga mengerti masalah filosofi pajak dari cost of taxation-nya,” papar Haula.
Selanjutnya problematika ketiga terkait dengan gerak perubahan yang semakin cepat terjadi. Dia menjelaskan bahwa perangkat aturan nantinya harus bisa menjawab pelbagai perubahan yang terjadi saat ini.
“Era disrupsi saat memang banyak perubahan yang terjadi. Era ini mengganggu tatanan yang ada. Sehingga harus dicari kebijakan inovatif dan sekaligus dinamis. Jadi jangan sampai kebijakan itu diberlakukan kemudian muncul persoalan yang baru yang tidak bisa diatasi oleh UU KUP,” terangnya.
Terakhir dan tidak kalah krusial adalah problematika kelembagaan. Dia menyebut saat ini persoalan kelembagaan otoritas pajak masih menjadi pro kontra. Padahal ini hal yang penting untuk menjawab tantangan target penerimaan perpajakan yang semakin meningkat tiap tahunnya.
"Ini memang masih menjadi pro kontra. Apakah akan kembali di jaman Pak Soekarno dulu ketika otoritas perpajakan menjadi satu lembaga yang lebih bisa optimal untuk menjalankan fungsi-fungsi yang diamanahkan oleh UU. Perlu diingat Pajak merupakan satu-satunya hal yang disebut dalam UUD yang harus diatur dalam bentuk Undang Undang," tutupnya. (Gfa/Amu)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.