EKONOMI DIGITAL

Konsensus Pajak Ekonomi Digital Untungkan Negara Berkembang?

Dian Kurniati | Kamis, 15 Juli 2021 | 19:09 WIB
Konsensus Pajak Ekonomi Digital Untungkan Negara Berkembang?

Para pembicara dan moderator dalam webinar bertajuk Global Consensus Policy: A New hope?, Kamis (15/7/2021). (tangkapan layar Youtube)

JAKARTA, DDTCNews – Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menegaskan konsensus pajak ekonomi digital akan memberi keuntungan bagi semua negara, baik negara maju maupun negara berkembang.

Senior Tax Advisor OECD Andrew Auerbach menilai negara berkembang justru berpotensi lebih diuntungkan dengan tercapainya konsensus tersebut. Dia beralasan penerimaan pajak dari ekonomi digital akan menjadi sumber penerimaan yang menjanjikan, terutama pada negara berkembang yang memiliki pasar besar.

"[Dengan konsensus] kita akan mempunyai pajak digital. Perusahaan digital seperti Google bisa membayarkan pajaknya. Negara seperti Indonesia sebagai pasar besar juga akan sangat diuntungkan," katanya dalam webinar bertajuk Global Consensus Policy: A New Hope?, Kamis (15/7/2021).

Baca Juga:
Malaysia Sebut Pajak Minimum Global Berdampak Baik ke Keuangan Negara

Andrew mengatakan secara umum struktur penerimaan negara berkembang lebih rentan terhadap guncangan karena sangat bergantung pada pajak penghasilan (PPh) badan. Ketika terjadi penghindaran pajak, negara berkembang akan langsung merasakan dampaknya.

Data OECD menunjukkan penerimaan pajak korporasi di negara maju hanya berkisar 9%-10%. Di sisi lain, ada negara berkembang yang memiliki kontribusi penerimaan PPh badan mencapai 40% dari total penerimaan pajak.

Andrew menyebut OECD membutuhkan proses yang panjang untuk mencapai sebuah konsensus. Dalam prosesnya, OECD juga harus mengakomodasi kebutuhan 132 negara anggota, termasuk negara-negara berkembang.

Baca Juga:
DJP Tunjuk Amazon Jepang Hingga Huawei Jadi Pemungut PPN PMSE

Adapun mengenai global minimum tax pada Pilar 2 yang kini menjadi perhatian banyak negara berkembang, menurutnya, kebijakan itu menjadi upaya OECD untuk mewujudkan kesetaraan dan mengurangi persaingan antarnegara.

"Saya tahu banyak negara yang waspada terhadap Pilar 2 karena membatasi insentif pajak, tapi ini adalah kesempatan yang baik [untuk mengurangi persaingan]. Mungkin tidak semua orang senang dengan hal ini, tapi inilah definisi konsensus," ujarnya.

Senior Partner DDTC Danny Septriadi sependapat dengan pandangan tersebut. Danny menilai Indonesia sebagai negara berkembang akan ikut mendapat keuntungan dari konsensus karena dapat memperkecil peluang penghindaran pajak.

Baca Juga:
Pemerintah segera Umumkan Kebijakan Final Soal PPN 12 Persen

Dalam poin tersebut, dia menilai negara berkembang akan lebih diuntungkan karena potensi penghindaran pajak di negara maju sudah lebih kecil.

“Semua akan mendapat dampak [positif] karena konsensus akan menciptakan perlakuan pajak yang setara atau level playing field," katanya.

Terkait dengan upaya untuk memerangi penghindaran pajak, Indonesia pada saat ini mempunyai beberapa instrumen. Instrumen antipenghindaran pajak pada skema spesifik mencakup transfer pricing, thin capitalization, controlled foreign corporation rule (CFC Rule), dan treaty shopping.

Baca Juga:
BKF: Kurang dari 10 WP Tax Holiday yang Terdampak Pajak Minimum Global

Pada skema umum, ada instrumen general anti-avoidance rule (GAAR), alternative minimum tax (AMT), dan mandatory disclosure rules (MDR). Danny mengatakan GAAR dan AMT sudah masuk dalam pembahasan revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

"Menurut saya, jika GAAR, AMT, dan MDR terimplementasi, ketiganya akan saling mendukung satu sama lain," imbuhnya. (kaw)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Jumat, 13 Desember 2024 | 11:30 WIB PAJAK INTERNASIONAL

Majelis Umum PBB Resmi Adopsi ToR Pembentukan Konvensi Pajak

Kamis, 12 Desember 2024 | 17:55 WIB KEBIJAKAN PAJAK

DJP Tunjuk Amazon Jepang Hingga Huawei Jadi Pemungut PPN PMSE

Kamis, 12 Desember 2024 | 09:05 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Pemerintah segera Umumkan Kebijakan Final Soal PPN 12 Persen

BERITA PILIHAN
Kamis, 02 Januari 2025 | 19:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Tak Masuk di PMK 131/2024, PPN Mobil Bekas Naik Jadi 1,2 Persen

Kamis, 02 Januari 2025 | 19:00 WIB KAMUS PAJAK

Memahami Sekilas soal Tarif Efektif, Setelah PPN 12% Berlaku

Kamis, 02 Januari 2025 | 18:30 WIB PMK 63/2022

Sesuai PMK 63/2022, Tarif PPN Rokok Dinaikkan Mulai Tahun Ini

Kamis, 02 Januari 2025 | 18:00 WIB KONSULTASI PAJAK

Tarif PPN di 2025 Jadinya 11% atau 12%? Begini Ketentuan Terbarunya

Kamis, 02 Januari 2025 | 17:35 WIB KEBIJAKAN PAJAK

PPN ‘Batal’ Naik, DJP Siapkan Strategi Kejar Target Pajak 2025

Kamis, 02 Januari 2025 | 16:51 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Ada BKP/JKP yang PPN-nya Tak Pakai DPP 11/12, Perlu Aturan Lanjutan?

Kamis, 02 Januari 2025 | 16:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

PPN 12% Berlaku, Tarif Pajak atas Kegiatan Membangun Sendiri Ikut Naik

Kamis, 02 Januari 2025 | 15:33 WIB KONSULTASI CORETAX

Apakah Instansi Pemerintah Perlu Daftar Coretax? Skemanya Bagaimana?