PADA 1 hingga 3 Desember 2016, Foundation for International Taxation (FIT) India bekerja sama dengan International Bureau Fiscal Documentation (IBFD) mengadakan International Taxation Conference dengan tema ‘BEPS and Beyond BEPS: A Year Later’. Dari Indonesia, DDTC yang diwakili B. Bawono Kristiaji menjadi salah satu pembicara di konferensi tersebut. Berikut laporannya:
PRINSIP-PRINSIP pajak internasional tentang alokasi hak pemajakan kian usang di era ekonomi digital. Tantangan yang hadir dari meningkatnya kemajuan di bidang teknologi informasi dan komunikasi (TIK) mencakup persoalan mengenai sifatnya yang tidak berwujud, identifikasi substansi usaha, perhitungan basis pemajakan dan sebagainya. (Baca: Tantangan Perpajakan Ekonomi Digital)
Rencana Aksi 1 Program Anti-BEPS -yang membahas aspek pemajakan ekonomi digital- memang mampu mengidentifikasi model bisnis di era digital dan memetakan tantangan yang muncul. Dokumen tersebut juga memberikan tinjauan atas beberapa opsi kebijakan yang bisa dipertimbangkan.
Sayangnya, tidak ada suatu rekomendasi yang bersifat komprehensif, mampu menjawab seluruh tantangan yang ada, dan mampu dijadikan konsensus. Walau demikian, akan ada laporan lanjutan atas hal ini pada 2020 mendatang.
Opsi Kebijakan di Era Digital
SEJATINYA, tantangan dalam merumuskan kebijakan pemajakan yang tepat di era digital bermuara pada tiga hal. Pertama, mengenai nexus atau perhubungan. Absennya kehadiran fisik dalam bisnis serta hubungan komersial dengan jaringan yang semakin canggih menciptakan kesulitan untuk menentukan koneksi bisnis dengan yurisdiksi tertentu.
Kedua, peran data semakin penting dalam menentukan keberhasilan bisnis digital. Walau dirasa berperan besar dalam proses penciptaan nilai (value creation), aktivitas pengumpulan data, pengelolaan informasi, hingga penggunaannya untuk menyasar konsumen yang tepat, sulit untuk diukur.
Terakhir, mengenai karakterisasi penghasilan yang diperoleh dari model bisnis digital. Sebagai contoh, perdebatan apakah penghasilan dikategorikan sebagai pembayaran atas jasa teknis, laba usaha, ataupun royalti.
Selain mendefinisikan ulang Bentuk Usaha Tetap (BUT), terdapat empat opsi yang tersedia bagi pemangku kebijakan.
Pertama, mendefinisikan nexus baru berdasarkan kehadiran ekonomi yang signifikan seperti: (i) ditinjau dari penghasilan yang secara berkelanjutan diterima dari operasi di suatu negara dengan suatu threshold tertentu; (ii) ditinjau dari faktor digital seperti: alamat domain, platform lokal, dan cara pembayaran; serta (iii) ditinjau dari faktor pengguna seperti: data volume transaksi pengguna di suatu negara, monthly active users, dan jumlah kontrak yang disepakati; ataupun (iv) kombinasi dari cara-cara tersebut.
Kedua, alokasi penghasilan dari kehadiran secara ekonomis. Pemerintah perlu menyesuaikan atau merevisi analisis fungsional yang biasanya dipergunakan dalam mengukur remunerasi yang layak didapatkan suatu entitas. Beberapa alternatif yang tersedia adalah: menggunakan analisis bargaining process berbasis game theory, metode fractional apportionment, menggunakan metode deemed profit dengan cara mengasumsikan suatu rasio antara biaya dan penghasilan. Cara terakhir dianggap lebih mudah secara administratif dan efektif dalam meningkatkan penerimaan pajak.
Ketiga, adanya withholding tax atas bisnis digital. Dalam opsi ini, pemerintah harus mengatur secara jelas ruang lingkup (scope) dan mekanisme cara pemungutannya. Terakhir, dengan memperkenalkan equalization levy (EQL).
Equalization Levy Ala India
INDIA sendiri termasuk beberapa negara yang bereaksi cepat atas Aksi 1 tersebut. Akhir Februari tahun ini, EQL resmi dimasukkan sebagai salah satu komponen dalam Finance Bill.
Langkah yang diambil oleh India sedikit berbeda dengan apa yang sudah dilakukan oleh Jepang, Korea Selatan atau Afrika Selatan yang menggunakan mekanisme PPN untuk memajaki bisnis digital, berbeda dengan Brazil dengan mekanisme withholding tax, atau Inggris dengan pendekatan deemed profit.
EQL ala India adalah pungutan tambahan yang dikenakan atas pembayaran yang dilakukan dari residen (subjek pajak dalam negeri) atau BUT India kepada non-residen India pada jasa digital tertentu.
Aturan yang berlaku sejak 1 Juni 2016 tersebut hanya berlaku untuk jasa iklan online, jasa pemberian ruang promosi di dunia maya, fasilitas yang ditujukan untuk promosi online, serta jasa digital lainnya yang akan ditentukan kemudian.
Beberapa pemain besar di bisnis internet, mesin pencari, sosial media, perusahaan yang bergerak di wadah jual beli online, hingga pengembang aplikasi ditenggarai bakal terdampak hal ini.
Tarif pungutan tambahan ditetapkan sebesar 6% dari nilai pembayaran dengan nilai lebih dari US$1.500. Lebih lanjut lagi, EQL hanya berlaku pada transaksi bisnis ke bisnis (B2B) dan tidak mencakup transaksi yang melibatkan konsumen akhir. Kabar baiknya, non-residen yang telah terkena jenis pungutan ini tidak akan dikenakan pajak penghasilan.
India bersikukuh bahwa EQL merupakan cara terbaik dari yang opsi yang tersedia saat ini. Hal ini diungkapkan oleh Rashmin Sanghvi dan Padamchand Kincha, dua dari beberapa tokoh pajak India yang terkemuka.
Keduanya bahkan bersumbar bahwa EQL merupakan jawaban tantangan ekonomi digital, dirasa lebih cocok bagi negara berkembang, dan administrasinya tidak serumit seperti halnya Diverted Profit Tax di Inggris.
Jalan Masih Panjang
Berbeda dengan pendapat keduanya, Direktur Centre for Tax Policy and Administration OECD Pascal Saint-Amans mengkritik EQL secara implisit. “Segala penyelesaian persoalan pajak secara sepihak melalui regulasi domestik bukanlah hal yang bijak. Tantangan global harus diselesaikan dengan solusi bersama dan bersifat multilateral,” ujarnya.
Pascal memahami saat ini belum ada rekomendasi yang dijadikan konsensus bersama dan pada saat yang sama terdapat kebutuhan untuk mengatasi kebocoran pajak. Akan tetapi, bukan berarti kondisi tersebut menjadikan setiap negara mencari jalan keluarnya masing-masing.
Terkait dengan pendekatan ala Machiavelli yang memberikan kedaulatan penuh kepada masing-masing negara untuk menggunakan ‘power’ untuk mengejar pajak pemain di bisnis digital, Pascal mengajukan pertanyaan. “Apakah keberpihakan publik, parlemen, dan media atas kebijakan tersebut akan memecahkan persoalan sesungguhnya? Atau sebenarnya pemerintah hanya menggunakan hal tersebut untuk cara cepat dalam meraih penerimaan dan simpati publik?”
Seluruh peserta pun tertegun. Jalan menuju konsensus pemajakan atas bisnis digital memang masih panjang.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.