Ilustrasi. (Foto: Antara)
JAKARTA, DDTCNews - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) telah mempertimbangkan faktor ekonomi 2021 dan resiliensi industri hasil tembakau dalam menetapkan target cukai hasil tembakau (CHT) tahun 2021
Tertuang dalam RAPBN 2021, pemerintah mengusulkan penerimaan CHT naik 4,8% (yoy) menjadi sebesar Rp172,8 triliun dari target 2019 yang sebesar Rp164,9 triliun.
"Dalam menentukan target penerimaan CHT kami telah mempertimbangkan empat pilar yakni pengendalian konsumsi, penerimaan negara, serapa tenaga kerja, dan peredaran rokok ilegal," ujar Kasubdit Tarif Cukai dan Harga Dasar DJBC Sunaryo, Minggu (30/8/2020).
Dari sisi tarif CHT, Sunaryo menerangkan posisi tarif CHT pada 2020 ini sudah melewati titik optimalnya. Artinya, tarif CHT yang secara rata-rata meningkat 23% pada 2020 ini sesungguhnya tidak menghasilkan penerimaan yang optimal.
Artinya, posisi DJBC dalam meningkatkan tarif CHT saat ini telah berorientasi pada pada pengendalian konsumsi dan aspek kesehatan, bukan dalam rangka meningkatkan penerimaan semaksimal mungkin.
Dari sisi produksi, data DJBC sepanjang 2020 hingga Juli kemarin menunjukkan produksi rokok jenis sigaret kretek tangan (SKT) justru mengalami pertumbuhan hingga 12,5% (yoy).
Adapun produksi rokok jenis sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM) malah mengalami kontraksi masing-masing hingga 13,3% (yoy) dan 24% (yoy).
Melalui survei DJBC atas kondisi industri hasil tembakau, DJBC pun menemukan bahwa industri secara umum masih memiliki resiliensi dalam menyerap dan melindungi tenaga kerja, terutama industri hasil tembakau yang bersifat padat karya.
Meski masih mampu menyerap tenaga kerja, Sunaryo mengungkapkan kondisi industri hasil tembakau mengalami tekanan akibat pandemi Covid-19 sehingga kebijakan CHT pada 2021 tidak bisa terlalu eksesif dalam rangka melindungi aspek perlindungan tenaga kerja.
Lebih lanjut, target CHT dan kebijakan CHT secara umum perlu dijaga agar tetap rasional dan tetap sasaran dalam rangka mencegah peningkatan rokok ilegal akibat kenaikan tarif CHT maupun harga jual eceran (HJE) yang eksesif.
Mengutip penelitian dari Universitas Brawijaya (UB), Sunaryo mengatakan kenaikan harga rokok secara umum berpotensi menurunkan peredaran rokok legal sebesar 1% dan meningkatkan peredaran rokok ilegal sebesar 8%.
Karena itu, keseimbangan tarif perlu dijaga dalam rangka menekan peredaran rokok ilegal. "Ini yang kita jaga agar disparitas harga antara rokok legal dan ilegal makin lebar dan meningkatkan peredaran rokok ilegal. Peningkatan ini bakal berdampak pula pada prevalensi perokok," ujar Sunaryo. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.