Ilustrasi. (foto: businesslive)
JAKARTA, DDTCNews – Ada dua pendekatan konsep pajak minimum yang bisa diterapkan untuk merespons ekonomi digital.
Ekonom Martin A. Sullivan mengatakan ada dua pendekatan potensial untuk memajaki laba usaha dari anak perusahaan yang berlokasi di luar negeri. Pendekatan tersebut berdasarkan cakupan pemajakannya, apakah itu luas atau terbatas, sesuai dengan tujuan.
“Konsep pajak minimum atas laba usaha luar negeri seharusnya akan sangat bergantung pada tujuan yang diharapkan,” katanya, seperti dikutip dari Tax Notes International Vol. 94 No. 6 pada Senin (13/5/2019).
Dalam pendekatan skala luas (broad minimum tax), penerapan pajak diberikan atas seluruh jenis laba perusahaan. Hal ini dilakukan agar netralitas ekspor modal (capital export neutrality) antara investasi domestik dan luar negeri yang dilakukan oleh perusahaan multinasional yang memiliki kantor pusat di dalam negeri dapat meningkat.
Berdasarkan versi ini, tarif pajak efektif dari negara asal perusahaan multinasional akan dirancang sedemikian rupa agar arus investasi tidak mengalir ke negara-negara dengan tarif pajak yang rendah. Pendekatan ini lebih ditujukan untuk mencegah kompetisi pajak dengan negara yang bertarif pajak rendah lainnya.
Apabila diterapkan secara global, negara asal – yang mungkin mengadopsi prinsip teritorial atau untuk menjaga netralitas impor modal (capital import neutrality) – akan memberikan batasan. Batasan itu diberikan pada perusahaan multinasional yang merupakan wajib pajak domestiknya agar tidak terlalu mendorong investasi ke luar negeri.
Dalam pendekatan skala sempit (narrow minimum tax), pajak minimum hanya dikenakan secara artifisial apabila terjadi pengalihan pendapatan ke negara sumber yang memiliki tarif pajak lebih rendah. Pendekatan ini dilandasi pemikiran reformasi arsitektur pajak internasional di masa depan akan menganut prinsip teritorial sepenuhnya.
Pendukung pendekatan ini menyatakan bahwa konsep tersebut diperlukan karena metode arm’s-length tidak dapat memberikan hasil yang memuaskan dalam mengestimasi penggerusan basis pajak dan pengalihan laba.
Menurut mereka, mendefinisikan misi dari pajak minimum tidak seharusnya membatasi capital import neutrality atau kompetisi pajak itu sendiri. Misi itu bisa didefinisikan lebih pada instrumen yang dapat mendukung antipenghindaran pajak.
“Lebih dari sekadar tarifnya yang lebih rendah, konsep pajak minimum sendiri juga harus berfokus pada ‘suatu hal’ yang dapat memicu implementasi pajak ini sehingga dapat memberikan alokasi hak pemajakan yang sesuai dan menjaga kedaulatan pajak negaranya,” terang Sullivan lagi.
Dalam kasus GILTI misalnya, ‘sesuatu’ tersebut adalah perbandingan yang tinggi antara laba usaha dengan aset berwujud bersih dari perusahaan. Dalam konsultasi publik OECD bertajuk ‘Tax Challenges of Digitalisation’, menyebutkan proposal atas pemajakan ekonomi digital akan memasukkan aspek ketentuan yang menyerupai GILTI walau tidak spesifik menyebutkan pajak minimum.
Seperti diketahui, GILTI merupakan kebijakan income inclusion berupa pajak minimum atas jenis penghasilan berupa laba usaha perusahaan multinasional yang berasal dari luar negeri yang dikenakan pada tingkat pemegang sahamnya.
Pajak minimum disebut-sebut menjadi salah satu isu masa depan konsep perpajakan internasional untuk pajak atas penghasilan. OECD juga tengah menyusun rencana konsensus pemajakan digital dan menyebutkan konsep tersebut masuk Pilar 2.
“Hampir semua kalangan menilai bahwa langkah yang diambil terkait Pilar 2 mengenai kebijakan penerapan instrumen pencegahan penggerusan basis pajak akan meniru kebijakan GILTI yang diterapkan di AS,” jelas Sullivan. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.