EKONOMI DIGITAL

Ini 2 Pendekatan Pajak Minimum untuk Ekonomi Digital

Redaksi DDTCNews | Senin, 13 Mei 2019 | 10:15 WIB
Ini 2 Pendekatan Pajak Minimum untuk Ekonomi Digital

Ilustrasi. (foto: businesslive)

JAKARTA, DDTCNews – Ada dua pendekatan konsep pajak minimum yang bisa diterapkan untuk merespons ekonomi digital.

Ekonom Martin A. Sullivan mengatakan ada dua pendekatan potensial untuk memajaki laba usaha dari anak perusahaan yang berlokasi di luar negeri. Pendekatan tersebut berdasarkan cakupan pemajakannya, apakah itu luas atau terbatas, sesuai dengan tujuan.

“Konsep pajak minimum atas laba usaha luar negeri seharusnya akan sangat bergantung pada tujuan yang diharapkan,” katanya, seperti dikutip dari Tax Notes International Vol. 94 No. 6 pada Senin (13/5/2019).

Baca Juga:
Langganan Platform Streaming Musik, Kena PPN atau Pajak Hiburan?

Dalam pendekatan skala luas (broad minimum tax), penerapan pajak diberikan atas seluruh jenis laba perusahaan. Hal ini dilakukan agar netralitas ekspor modal (capital export neutrality) antara investasi domestik dan luar negeri yang dilakukan oleh perusahaan multinasional yang memiliki kantor pusat di dalam negeri dapat meningkat.

Berdasarkan versi ini, tarif pajak efektif dari negara asal perusahaan multinasional akan dirancang sedemikian rupa agar arus investasi tidak mengalir ke negara-negara dengan tarif pajak yang rendah. Pendekatan ini lebih ditujukan untuk mencegah kompetisi pajak dengan negara yang bertarif pajak rendah lainnya.

Apabila diterapkan secara global, negara asal – yang mungkin mengadopsi prinsip teritorial atau untuk menjaga netralitas impor modal (capital import neutrality) – akan memberikan batasan. Batasan itu diberikan pada perusahaan multinasional yang merupakan wajib pajak domestiknya agar tidak terlalu mendorong investasi ke luar negeri.

Baca Juga:
Meninjau Aspek Keadilan dari Konsensus Pajak Minimum Global

Dalam pendekatan skala sempit (narrow minimum tax), pajak minimum hanya dikenakan secara artifisial apabila terjadi pengalihan pendapatan ke negara sumber yang memiliki tarif pajak lebih rendah. Pendekatan ini dilandasi pemikiran reformasi arsitektur pajak internasional di masa depan akan menganut prinsip teritorial sepenuhnya.

Pendukung pendekatan ini menyatakan bahwa konsep tersebut diperlukan karena metode arm’s-length tidak dapat memberikan hasil yang memuaskan dalam mengestimasi penggerusan basis pajak dan pengalihan laba.

Menurut mereka, mendefinisikan misi dari pajak minimum tidak seharusnya membatasi capital import neutrality atau kompetisi pajak itu sendiri. Misi itu bisa didefinisikan lebih pada instrumen yang dapat mendukung antipenghindaran pajak.

Baca Juga:
Penerapan Pilar 1 Amount A Butuh Aturan yang Berkepastian Hukum Tinggi

“Lebih dari sekadar tarifnya yang lebih rendah, konsep pajak minimum sendiri juga harus berfokus pada ‘suatu hal’ yang dapat memicu implementasi pajak ini sehingga dapat memberikan alokasi hak pemajakan yang sesuai dan menjaga kedaulatan pajak negaranya,” terang Sullivan lagi.

Dalam kasus GILTI misalnya, ‘sesuatu’ tersebut adalah perbandingan yang tinggi antara laba usaha dengan aset berwujud bersih dari perusahaan. Dalam konsultasi publik OECD bertajuk ‘Tax Challenges of Digitalisation’, menyebutkan proposal atas pemajakan ekonomi digital akan memasukkan aspek ketentuan yang menyerupai GILTI walau tidak spesifik menyebutkan pajak minimum.

Seperti diketahui, GILTI merupakan kebijakan income inclusion berupa pajak minimum atas jenis penghasilan berupa laba usaha perusahaan multinasional yang berasal dari luar negeri yang dikenakan pada tingkat pemegang sahamnya.

Baca Juga:
Menginterpretasikan Laba Usaha dalam P3B (Tax Treaty), Baca Buku Ini

Pajak minimum disebut-sebut menjadi salah satu isu masa depan konsep perpajakan internasional untuk pajak atas penghasilan. OECD juga tengah menyusun rencana konsensus pemajakan digital dan menyebutkan konsep tersebut masuk Pilar 2.

“Hampir semua kalangan menilai bahwa langkah yang diambil terkait Pilar 2 mengenai kebijakan penerapan instrumen pencegahan penggerusan basis pajak akan meniru kebijakan GILTI yang diterapkan di AS,” jelas Sullivan. (kaw)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Jumat, 18 Oktober 2024 | 15:30 WIB SERBA-SERBI PAJAK

Langganan Platform Streaming Musik, Kena PPN atau Pajak Hiburan?

Rabu, 16 Oktober 2024 | 13:20 WIB BUKU PAJAK

Meninjau Aspek Keadilan dari Konsensus Pajak Minimum Global

Rabu, 09 Oktober 2024 | 16:17 WIB KONSENSUS PAJAK GLOBAL

Penerapan Pilar 1 Amount A Butuh Aturan yang Berkepastian Hukum Tinggi

Rabu, 09 Oktober 2024 | 13:45 WIB LITERATUR PAJAK

Menginterpretasikan Laba Usaha dalam P3B (Tax Treaty), Baca Buku Ini

BERITA PILIHAN
Rabu, 23 Oktober 2024 | 17:30 WIB PERPRES 132/2024

Tak Hanya Sawit, Cakupan BPDP Kini Termasuk Komoditas Kakao dan Kelapa

Rabu, 23 Oktober 2024 | 17:05 WIB KABINET MERAH PUTIH

Kabinetnya Gemuk, Prabowo Minta Menteri Pangkas Kegiatan Seremonial

Rabu, 23 Oktober 2024 | 17:00 WIB UJIAN SERTIFIKASI KONSULTAN PAJAK

Awas! Ada Sanksi Blacklist bagi Peserta USKP yang Tidak Datang Ujian

Rabu, 23 Oktober 2024 | 16:30 WIB KEMENTERIAN KEUANGAN

Daftar Lengkap Menteri Keuangan dari Masa ke Masa, Apa Saja Jasanya?

Rabu, 23 Oktober 2024 | 16:00 WIB KABUPATEN MALUKU TENGAH

Pajak Hiburan 45%, Ini Daftar Tarif Pajak Terbaru di Maluku Tengah

Rabu, 23 Oktober 2024 | 15:53 WIB PROFESI KONSULTAN PAJAK

USKP Kembali Digelar Desember 2024! Khusus A Mengulang dan B-C Baru

Rabu, 23 Oktober 2024 | 15:45 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Kabinet Gemuk Prabowo, RKAKL dan DIPA 2024-2025 Direstrukturisasasi

Rabu, 23 Oktober 2024 | 15:32 WIB SERTIFIKASI PROFESIONAL PAJAK

Profesional DDTC Bersertifikasi ADIT Transfer Pricing Bertambah

Rabu, 23 Oktober 2024 | 15:30 WIB CORETAX SYSTEM

Coretax DJP: Lapor SPT WP Badan Harus Pakai Akun Orang Pribadi