Asisten Deputi Fiskal Kemenko Perekonomian Gunawan Pribadi (tengah) berfoto bersama dengan dewan penguji dan para tamu dalam sidang pomosi gelar Doktor di Auditorium Juwono Sudarsono FISIP Universitas Indonesia.
DEPOK, DDTCNews – Faktor-faktor nonpajak ternyata menjadi pertimbangan utama investor membenamkan modal ke Tanah Air. Dengan demikian, jaringan persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B) Indonesia tidak berpengaruh signifikan terhadap masuknya modal asing ke Indonesia.
Hal tersebut menjadi simpulan Asisten Deputi Fiskal Kemenko Perekonomian Gunawan Pribadi dalam disertasinya berjudul ‘Rekonstruksi Peran Serta P3B dalam Mendorong Penanaman Modal Asing Langsung di Indonesia’.
Dengan disertasi
tersebut, Sidang Terbuka Senat Akademik Universitas Indonesia (UI) pada hari
ini, Rabu (6/11/2019), menyematkan gelar Doktor bidang Ilmu Administrasi pada
Gunawan Pribadi. Sidang pomosi gelar Doktor tersebut digelar di Auditorium
Juwono Sudarsono FISIP UI.
“Jumlah
P3B Indonesia termasuk yang terbanyak di dunia. Beberapa waktu lalu, baik
Menteri Keuangan saat ini Sri Mulyani Indrawati dan sebelumnya Bambang
Brodjonegoro menyebutkan perlunya evaluasi atas jaringan P3B Indonesia,” kata
Gunawan saat membacakan hasil penelitiannya.
Disertasi
sosok yang mengawali karier di Ditjen Pajak Kemenkeu ini membedah secara
mendalam peran P3B Indonesia dalam memikat investasi asing langsung (foreign
direct investment/FDI). Pengujian konstruksi awal jaringan P3B Indonesia
dilakukan dengan menguji pengaruh jaringan P3B Indonesia terhadap aliran masuk
FDI dari negara-negara maju ke Indonesia pada periode 2005-2017.
Berdasarkan
hasil penelitian, faktor-faktor yang menyebabkan jaringan P3B Indonesia tidak berpengaruh
signifikan pada masuknya FDI terbagi dalam tiga hal. Pertama, determinan
FDI di Indonesia secara umum. Kedua, motivasi pembentukan P3B Indonesia.
Ketiga, fitur-fitur P3B yang dimiliki Indonesia saat ini.
“Terkait
dengan determinan FDI di Indonesia, faktor-faktor nonpajak ternyata lebih
menjadi pertimbangan utama dalam keputusan untuk investasi. Investor lebih
tertarik dengan faktor-faktor nonpajak sehingga faktor P3B menjadi tidak berpengaruh
secara signifikan terhadap masuknya FDI,” kata Gunawan.
Faktor-faktor
nonpajak yang menjadi pertimbangan utama bagi FDI di Indonesia antara lain stabilitas
politik, ketersediaan infrastruktur, dan faktor pertumbuhan ekonomi. Adapun
faktor pajak pada umumnya, dan faktor P3B pada khususnya, kurang menjadi bahan
pertimbangan masuknya FDI.
Mengenai
motivasi pembentukan P3B, berdasarkan hasil penelitian, mayoritas P3B Indonesia
dibentuk dengan alasan politis. Aspek keekonomian P3B menjadi tidak terlalu
diperhatikan sehingga wajar bila jaringan P3B Indonesia tidak memberikan dampak
positif terhadap masuknya FDI.
Pengaruh
P3B dalam mendorong FDI berbeda-beda pada tiap-tiap negara
meskipun manfaat P3B
dalam menghilangkan hambatan-hambatan
dan distorsi perdagangan dan investasi
antarnegara sudah tidak diragukan dan diterima secara umum.
Adapun
terkait dengan fitur-fitur P3B yang dimiliki Indonesia saat ini, hasil penelitian
Gunawan menunjukkan konstruksi fitur-fitur P3B dapat turut memengaruhi
keputusan investasi. Konstruksi fitur-fitur P3B yang dimiliki Indonesia saat
ini tidak menggambarkan pola baku yang menarik bagi investor asing.
Berdasarkan
temuan tersebut, Gunawan menyarankan agar kebijakan P3B Indonesia secara
eksplisit menyebutkan besaran tarif pajak untuk passive income dalam
draf P3B, misalnya sebesar 10%. Besaran tarif ini mencerminkan pembagian hak
pemajakan yang adil antara negara sumber dan negara domisili karena tarif pajak
yang berlaku di Indonesia adalah 20%.
Penurunan
tarif pajak dapat dianggap sebagai konsekuensi biaya atas keikutsertaan
Indonesia dalam masyarakat perpajakan internasional (tax treaty club).
Dengan ketegasan ini, Indonesia dapat terhindar dari biaya yang lebih besar
apabila tarif pajak dimaksud menjadi lebih kecil dari 10%.
Selain itu,
jika Indonesia masih berharap untuk mendapatkan aliran masuk FDI dari negara
mitra yang tergolong negara pengekspor modal, fitur-fitur P3B Indonesia dapat
dirumuskan kembali dengan mengikuti konstruksi hasil penelitian Gunawan.
Fitur-fitur
tersebut meliputi pertama, agen manufaktur tidak dianggap sebagai bentuk
usaha tetap (BUT). Kedua, time test yang relatif panjang untuk BUT jenis
jasa. Ketiga, tidak menerapkan force of attraction rule.
Keempat,
tidak menerapkan branch
profits tax. Kelima, tarif pajak yang rendah untuk dividen atas
saham dengan tingkat kepemilikan yang substansial. Keenam, tarif pajak
yang rendah untuk bunga. Ketujuh, tarif pajak yang rendah untuk royalti.
“Dalam
konstruksi tersebut, Indonesia menunjukkan sikap yang lebih longgar dalam aspek pemajakan BUT tapi dapat
menetapkan tarif pajak untuk passive income dalam P3B sebesar 10%,” ujar
Gunawan dalam disertasinya.
Sekadar informasi,
dewan penguji dalam promosi doktor tersebut adalah Prof. Eko Prasojo (ketua),
Prof. Gunadi (promotor), Prof. Haula Rosdiana (kopromotor).
Gunawan,
dalam disertasinya, mengadopsi metode penelitian gabungan secara bertahap atau explanatory
sequential mixed method. Penelitian dilakukan secara kuantitatif melalui
teknik regresi dan diikuti dengan penelitian berbasis kualitatif melalui studi
pustaka, wawancara mendalam, focus group discussion, observasi, dan
analisis komparatif. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.