BERLIN, DDTCNews – Banyak negara G-20 telah gagal memenuhi komitmen pada tahun 2015 untuk menerapkan pengawasan terhadap Beneficial Ownership (BO) dari perusahaan cangkang. Indonesia juga menjadi salah satu negara yang gagal mengawasi transaksi BO.
Dalam laporan yang terbit 19 April 2018, Transparency International menilai tidak ada negara G-20 yang punya posisi kuat untuk menyelidiki kasus mencurigakan terkait kepemilikan perusahaan. Apalagi, negara-negara yang telah mendaftar BO pun belum melembagakan proses peninjauan untuk memastikan akurasinya.
Senior Manajer Advokasi Global Transparency International Maggie Murphy mengatakan G-20 adalah kelompok ekonomi terkemuka, tapi tampaknya kepemimpinan G-20 berjalan lambat, tampak pada penindakan penyalahgunaan badan hukum di negara anggota.
“Mereka perlu meningkatkan upayanya untuk menciptakan kerangka hukum BO, sekaligus memastikan mereka bisa menegakkan aturan hukum BO,” ungkapnya seperti dilansir Tax Notes International Vol. 90 No. 5, Senin (23/4).
Pada tahun 2015, setelah G-20 menerbitkan High-Level Principles tentang Transparansi BO, Transparency International melaporkan ada 15 negara memiliki kerangka hukum yang memadai untuk menangani perusahaan anonim.
Adapun, laporan tahun 2018 dalam identifikasi Kanada dan Korea Selatan, menunjukkan ada 11 negara masih berada dalam kisaran yang weak-to-average untuk menangani hal itu.
Sementara itu, laporan 2018 juga menyebutkan seluruh negara G-20 memiliki peluang untuk mengoptimalisasi penanganan perusahaan anonim.
Berdasar laporan tersebut, seluruh negara G-20 memiliki daftar pemegang saham meski tidak selalu mencakup informasi BO. Namun, Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang disalahkan.
Pasalnya, AS tidak membuat daftar kepemilikan BO online yang terpusat dan tidak dipublikasikan, pasalnya perusahaan terkait masih terdaftar di tingkat negara bagian.
“Kanada, AS, dan China masih tidak mengharuskan perusahaan untuk mengumpulkan dan menjaga informasi BO yang akurat dan terbaru. Informasi BO kerap hanya dianalisis dalam kerangka aturan pembiayaan anti-pencucian uang dan anti-terorisme,” demikian laporan Transparency International 2018.
Anggota G-20 seperti Brasil, Prancis, Jerman, Italia dan Inggris telah membuat daftar BP terpusat. Meski begitu, hanya Inggris yang memberi izin daftar BO tersebut untuk dipublikasikan. Sedangkan negara-negara di Eropa lainnya membatasi akses informasi terkait data BO.
Beberapa negara termasuk Argentina dan India justru mengumpulkan informasi BO saat proses pendaftaran perusahaan. Tapi informasi itu tidak disimpan dalam online database yang bisa diakses oleh semua orang.
Selain itu, ada 9 anggota G-20 seperti Australia, Brasil, Kanada, Jerman, Indonesia, Rusia, Korea Selatan, Turki dan AS mengizinkan lembaga keuangan untuk melanjutkan proses transaksi, meskipun jika pemerintah tidak bisa mengidentifikasi pemilik BO.
Untuk itu, laporan Transparency International 2018 merekomendasikan beberapa negara untuk melarang lembaga keuangan, pengacara, akuntan, agen real estate dan institusi trust, untuk tidak melanjutkan transaksi apabila pemilik BO tidak bisa teridentifikasi.
Laporan tersebut juga merekomendasikan agar pemerintah masing-masing negara bisa memastikan, setidaknya beberapa verifikasi informasi BO, seperti mengecek basis data yang dimiliki pemerintah termasuk basis data pajak, maupun melakukan inspeksi. (Gfa/Amu)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.