Founder DDTC Darussalam dalam talk show Jendela Negeri TVRI, Selasa (3/12/2024).
JAKARTA, DDTCNews - Pemberian fasilitas PPN dan pengaturan threshold pengusaha kena pajak (PKP) yang tinggi dinilai dapat membantu mengelola dampak kenaikan tarif PPN secara adil.
Founder DDTC Darussalam mengatakan publik perlu memahami sistem PPN secara utuh mengingat isunya bukan hanya soal tarif. Pemberian fasilitas dan pengaturan threshold PKP yang tinggi juga menjadi upaya untuk untuk mengedepankan aspek keadilan dalam sistem PPN tersebut.
"Adanya skema fasilitas PPN yang bervariasi serta batasan threshold PKP yang tinggi sudah memberikan sinyal bahwa kenaikan tarif PPN 12% akan lebih dapat dikelola dampaknya. Saya melihat pemerintah rela, ikhlas, untuk tidak mengenakan ini karena tujuannya semata-mata pembelaan kepada masyarakat berpenghasilan rendah," katanya dalam talk show Jendela Negeri TVRI, Selasa (3/12/2024).
Darussalam mengatakan pengaturan threshold PKP bertujuan mengecualikan pengusaha kecil dari kewajiban pemungutan dan administrasi PPN sehingga dapat mencegah adanya biaya kepatuhan pajak yang besar. Umumnya, batasan tersebut dipatok berdasarkan omzet dari suatu pelaku ekonomi.
Saat ini, threshold PKP di Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi di dunia, yaitu senilai Rp4,8 miliar. Data IBFD menunjukkan rata-rata threshold PKP di 92 negara pada 2020 senilai Rp1,18 miliar. Sementara pada 2024, OECD mencatat rata-rata threshold PKP di 143 negara adalah senilai Rp1,61 miliar.
World Bank bahkan menyebut threshold PKP di Indonesia mencapai 6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata di negara OECD pada 2022. Dengan batasan threshold yang tinggi tersebut, estimasi revenue forgone yang dicatat Badan Kebijakan Fiskal (BKF) pun mencapai Rp49,04 triliun pada 2022, serta diprediksi meningkat menjadi Rp52,43 triliun (2023), Rp56,54 triliun (2024), dan Rp61,22 triliun (2025).
Mengenai fasilitas PPN, Indonesia menerapkan skema pengecualian untuk barang dan jasa tertentu. Sebelum UU HPP, terdapat berbagai barang dan jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPN termasuk barang kebutuhan pokok, jasa angkutan umum, jasa pendidikan, dan sebagainya.
Darussalam memandang berbagai pengecualian tersebut pada dasarnya tidak selaras dengan tren PPN secara global yang justru berpedoman bagi perluasan basis pajak (broad-based) dan mengurangi adanya pengecualian dan perlakuan tertentu. Pasalnya, berbagai pengecualian tersebut justru dapat berdampak bagi terdistorsinya netralitas PPN dan menimbulkan tax gap.
Namun, dengan mempertimbangkan adanya keberpihakan bagi masyarakat luas dan keringanan, berbagai barang dan jasa yang sebelumnya dikecualikan, kemudian diberikan fasilitas.
"Tidak semua barang atau jasa pun itu dikenakan PPN. Ada jenis jasa atau barang yang tidak dikenakan PPN," ujarnya.
BKF mengestimasi tax expenditure atas berbagai fasilitas PPN yang berdampak bagi masyarakat luas dan adanya upaya melindungi kelompok berpenghasilan rendah masih sangat besar. Tax expenditure dari 5 jenis barang/jasa yang berdampak bagi masyarakat luas diestimasi mencapai Rp83,74 triliun pada 2022.
Estimasinya juga diperkirakan terus meningkat hingga Rp92,96 triliun (2023), Rp99,77 triliun (2024), dan Rp117,52 triliun (2025).
Dalam pengelolaan uang pajak, Darussalam menambahkan pemerintah akan mengalokasikan belanja yang manfaatnya kembali kepada masyarakat walaupun tidak secara langsung. Selain itu, pemerintah juga mengalokasikan bantuan sosial untuk masyarakat berpenghasilan rendah.
"Ketika kita membicarakan PPN, saya ingin kita berbicara secara komprehensif. Tidak dipotong atau tidak sepotong-sepotong," imbuhnya. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.